Lika-liku Energi Baru dan Terbarukan

Ilustrasi

Energi konvensional kita semakin menipis, waktunya berpindah ke energi baru terbarukan. Pemerintah sudah mulai membangun, tapi masalah masih mengikuti


MATAHARI SIANG DI ATAS PULAU SUMBA terasa menyengat, titik-titik peluh membanjiri kening dan hampir sekujur badan. Untung saja angin bertiup lembut, membantu menguapkan peluh yang membasahi kaos yang saya pakai. Sejauh mata memandang hanya ada perbukitan hijau yang seperti berdiri bersisian di mana-mana. Tegak, tak beraturan namun seragam dalam warna hijau yang menyegarkan.

Di antara sekian banyak bukit yang tegak bertonjolan itu, salah satunya nampak berbeda. Di atas puncaknya, 25 tiang dengan baling-baling di ujungnya tegak menantang angin. Baling-baling itu nyaris tidak pernah berhenti berputar karena embusan angin. Kedua puluh lima tiang berbaling-baling itu nampak kontras dengan suasana hijau di sekelilingnya. Bukan pepohonan yang berdiri tegak di ujung bukit, tapi dua puluh lima tiang berbaling-baling.

Tiang berbaling-baling itu adalah kincir angin pembankit listrik tenaga angin atau yang disebut Pembagkit Listrik Tenaga Angin Skala Mikro (PLTASM). Letaknya di salah satu bukit di desa Kamanggih, Kecamatan Lewa, Sumba Timur,  Nusa Tenggara Timur.

Pembangkit listrik itu dibangun sejak 2013 dan akhirnya bisa digunakan sejak tahun 2014. Dana pembagunannya berasal dari corporate social responsibility (CSR) PERTAMINA bekerjasama dengan Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA). Selain di Kamanggih, di Desa Kaliuhu juga dibangun PLTASM dengan jumlah 20 kincir, sementara di Desa Tanarara 44 unit. Semuanya dalam kecamatan dan kabupaten yang sama.

Kincir Angin di PLTSAM Kamanggih
Kincir Angin di PLTSAM Kamanggih

PLTASM itu mengikuti Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTMH) yang sudah ada sejak tahun 2011. Lokasinya juga masih di desa yang sama. PLTMH tersebut bahkan sudah dikelola secara profesional oleh Koperasi Jasa Peduli Kasih milik warga Kamanggih. Tahun 2013 mereka bahkan sudah menjual listrik kepada PLN. Sejak itu pengelolaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab PLN.

Dua pembangkit listrik memanfaatkan sumber daya alam non mineral itu berhasil memenuhi kebutuhan listrik warga Kamanggih yang sebelumnya hanya disuplai oleh PLN. Itupun dulu tidak semua penduduk bisa menikmati listrik dari PLN.

Listrik Dari Limbah Kelapa Sawit

DESA RANTAU SAKTI, KECAMATAN TAMBUSAI UTARA, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Sebuah reaktor berdiri di tengah perkebunan sawit. Reaktor ini adalah reaktor pembangkit listrik tenaga bio gas (PLTBg) yang memanfaatkan limbah kelapa sawit (pome). Sebuah bangunan berukuran 80m x 90m dengan penutup dari bahan karet berwarna hitam berdiri tegak dan langsung menarik perhatian.

Di dalam bangunan itulah limbah kelapa sawit ditampung. Limbah itu menghasilkan gas methana yang kemudian dialirkan ke reaktor dan akhirnya menghasilkan listrik. Listrik itu lalu dialirkan ke rumah-rumah warga. Sampai saat ini PLTBg Rantau Sakti sudah bisa melayani 2.232 Kepala Keluarga di bulan April 2016.

PLTBg yang memanfaatkan limbah kelapa sawit itu lahir dari usulan Pemkab Rokan Hulu ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di tahun 2010. Pengajuan itu berdasarkan pada dua hal, pertama; tingkat elektrifikasi di Kecamatan Tambusai Utara masih sangat sedikit, berada di bawah angka 60%. Itupun dengan tegangan yang kadang tidak sampai 100 volt. Kedua; Tambusai Utara pada khususnya dan Rokan Hulu pada umumnya punya banyak potensi kelapa sawit. Tercatat setidaknya ada 34 perusahaan kelapa sawit (PKS) di Rokan Hulu dengan kapasitas produksi 30 ton/jam.

PLTBg Rantau Sakti, Riau
PLTBg Rantau Sakti, Riau

Dua alasan itulah yang menjadi dasar pengajuan proposal pembangunan PLTBg memanfaatkan limbah kelapa sawit di Rokan Hulu. Pengajuan itu baru mendapat persetujuan di tahun 2013. Di tahun itulah, PLTBg di Desa Rantau Sakti dibangun. Desa Rantau Sakti dipilih sebagai lokasi karena kesungguhan dan komitmen mereka untuk mengawal pembangunan PLTBg tersebut.

Pilot project tersebut akhirnya bisa dinikmati setahun kemudian. Desa Rantau Sakti dan desa-desa lainnya tidak lagi berada dalam kegelapan. Listrik mengalir ke rumah-rumah, merangsang pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan warga.

Energi Baru Pengganti Energi Mineral.

KEBUTUHAN ENERGI, utamanya energi listrik di masa moderen tentu saja terus bertambah. Jumlah penduduk yang terus bertambah berbanding lurus dengan jumlah kebutuhan energi listrik yang tidak sedikit. Meski begitu, usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut ternyata memang tidak mudah. Sampai tahun 2016 pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) memprediksi tingkat elektrifikasi masih mencapai angka 87,5%. Masih ada belasan ribu desa yang belum dialiri listrik sama sekali.

Angka konsumsi listrik di Indonesia diperkirakan berada di angka 914 KWh per kapita dan diprediksi akan meningkat menjadi 1.200 KwH per kapita di tahun 2019. Peningkatan itu ironisnya dibarengi dengan semakin berkurangnya sumber daya energi mineral.

Sampai tahun 2014, penggunaan energi dari minyak bumi di Indonesia masih menjadi yang tertinggi dengan prosentase 41% diikuti oleh energi dari batu bara sebesar 30%. Sisanya adalah energi dari gas bumi (23%) dan energi terbarukan (6%).

Elektrifikasi di Indonesia
Elektrifikasi di Indonesia
energi mineral indonesia
Kondisi energi sumber daya alam di Indonesia

Hal ini ironis karena melihat kondisi bahwa cadangan energi mineral Indonesia semakin menipis. Diperkirakan cadangan minyak Indonesia akan habis dalam 13 tahun, sementara cadangan gas alam akan habis dalam 34 tahun. Indonesia masih dianggap kaya dengan sumber daya mineral, padahal faktanya Indonesia berada di urutan ke-27 sebagai negara penghasil sumber mineral bumi. Jauh di bawah negara-negara seperti Saudi Arabia, Venezuela, Russia dan Kanada.

Kondisi ini tentu saja memprihatinkan sekaligus mengkhawatirkan. Bagaimana kalau cadangan energi dan mineral kita benar-benar sudah habis? Apakah kita akan menjadi negara yang 100% mengimpor dari negara lain? Siapkah kita?

Kondisi ini mendorong pemerintah untuk memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan. Sumber energi tersebut seperti angin, tenaga surya, mini hidro dan bio gas.  Potensi untuk energi ini masih sangat besar, utamanya di Indonesia bagian timur. Daerah-daerah yang berada di Indonesia bagian timur mencakup Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua punya banyak potensi untuk membangun pembangkit listrik menggunakan energi baru dan terbarukan.

Daerah-daerah tersebut juga termasuk daerah-daerah dengan jumlah desa tak teraliri listrik yang besar.

Di daerah-daerah tersebut, banyak sungai dengan arus yang deras mengalir. Angin berhembus nyaris sepanjang waktu, pun dengan matahari yang terasa lebih panas dari daerah di bagian barat Indonesia. Potensi inilah yang bisa dikembangkan sebagai sumber energi baru dan terbarukan.

Masalah dan Tantangan.

BICARA ENERGI BARU DAN TERBARUKAN sepertinya memang gampang. Tapi, realisasinya tidak mudah.

Pemanfaatan energi baru dan terbarukan masih dianggap lebih mahal dari energi konvensional. Ini bisa dimaklumi karena energi baru dan terbarukan masih dianggap barang baru sehingga alat-alat pendukungnya belum diproduksi massal. Itupun sebagian besar masih dari luar negeri. Meski begitu, ada juga beberapa kelompok kecil warga yang berhasil memproduksi energi baru dan terbarukan dengan dana yang minim. Salah satunya adalah pemanfaatan aliran sungai menjadi tenaga listrik di Mamasa, Sulawesi Barat.

Bila dalam skala besar, energi baru dan terbarukan ini memang butuh banyak biaya. Seperti yang ada di Kamanggih, Nusa Tenggara Timur dan Rokan Hulu, Riau. Warga tentu akan kesulitan untuk menyediakannya sendiri tanpa bantuan pihak lain.

Sayangnya, pemerintah juga tidak bisa sepenuhnya mendukung pembangunan energi baru terbarukan itu.

EBT Indonesia
Peluang dan Tantangan EBT di Indonesia

Pemerintah lewat BAPPENAS memprediksi antara 2016 hingga 2025 setidaknya dibutuhkan dana sebesar 153,749 juta USD. Dana sebesar ini tentu saja tidak bisa ditanggung sendirian, dibutuhkan bantuan dari pihak swasta. Baik dari program CSR maupun sebagai investor.

Tapi tantangan tidak berhenti sampai di sini. Pelibatan swasta berarti mengikutkan aspek legal dan regulasi dari pemerintah. Sayangnya, aspek ini belum sepenuhnya beres. Koordinasi antar pihak-pihak yang terlibat seperti kementerian, DPR dan pemerintah daerah kadang masih belum lancar betul sehingga proyek yang sudah selesai bisa saja terombang-ambing dalam ketidakjelasan status.

Hal tersebut terjadi di PLTBg Rantau Sakti. Proyek yang menggunakan dana dari Kementerian ESDM ini sempat bermasalah di pengelolaan. Regulasi tidak memungkinkan proyek miliaran rupiah itu bisa diserahkan begitu saja kepada pemerintah daerah apalagi koperasi tanpa persetujuan Presiden. Sementara meminta persetujuan Presiden tentu bukan hal yang mudah, ada jalur birokrasi panjang yang harus dilalui.

Akibatnya, pengelola PLTBg Rantau Sakti berjalan dengan kekhawatiran. Bagaimana posisi mereka nantiya? Bagaimana jika ada alat berbiaya mahal yang rusak? Siapa yang akan menanggung biayanya?

“Mungkin di awal proyek ini memang tidak diharapkan bisa jalan. Mungkin dikiranya akan mangkrak di tengah jalan,” terang salah seorang pengelola PLTBg Rantau Sakti. Praduga itu muncul melihat betapa rumitnya urusan legalitas dan regulasi dari PLTBg yang sudah dirasakan betul manfaatnya oleh warga itu.

Masalah yang sama juga dirasakan oleh pengelola PLTASM di Kamanggih. Biaya besar penggantian baterai yang mencapai angka Rp.96.000.000,- untuk 24 buah baterai jadi kekhawatiran tersendiri.

“Kami mau ambil uang di mana buat mengganti baterai nanti?” Tanya Umbu Hinggi Panjanji, ketua Koperasi Jasa Peduli Kasih.

Hal lain yang jadi kendala adalah, PLTASM yang berada di puncak bukit sebenarnya bisa memenuhi kebutuhan banyak rumah, sayangnya kondisi rumah di sekitarnya berjauhan. Satu rumah dengan rumah lainnya tepisah oleh bukit. Menarik kabel ke rumah yang ada di bukit sebelah tentu akan memakan biaya banyak. Belum lagi dari sisi teknis itu juga tidak menguntungkan karena daya yang sampai ke rumah tentu lebih sedikit.

“Ya sekarang cuma ada 23 rumah yang bisa pakai. Rumah lain kan jauh di bukit sana,” kata Umbu Hinggi lagi.

Entah apakah pembangunan PLTASM itu dulunya dibangun dengan memperhitungkan letak geografis antar rumah atau tidak? Lalu bagaimana nasib PLTASM itu nanti jika tiba masanya baterainya harus diganti? Siapa yang akan menanggung biaya penggantian baterai?

Listrik Untuk Masa Depan.

TIDAK BISA DIPUNGKIRI, listrik memang jadi kebutuhan primer manusia jaman sekarang. Bukan hanya yang tinggal di perkotaan, namun juga yang tinggal di pedesaan. Listrik bukan hanya sebatas penerangan, tapi juga memicu pertumbuhan di sektor lainnya seperti ekonomi dan pendidikan.

Di sektor ekonomi, kehadiran listrik membuat warga bisa mengembangkan kreativitasnya dengan mengerjakan banyak hal yang bisa membantu ekonomi mereka. Di sektor pendidikan, anak-anak tentu bisa belajar dengan tenang dan nyaman ketika listrik sudah mengalir.

“Di sini sejak ada listrik, ekonomi berkembang. Warga sudah banyak yang buka usaha, termasuk bengkel dan sevice AC,” kata Suryadi, kepala desa Rantau Sakti.

Sayangnya karena sampai hari ini, kebutuhan listrik nasional belum bisa dipenuhi 100%. Padahal di saat bersamaan, cadangan energi bumi semakin menipis. Pilihan terbaik untuk memenuhinya adalah dengan memanfaatkan energi baru dan terbarukan. Pilihan ini pun masih ada rintangannya. Dari segi biaya, pelibatan pemangku kepentingan hingga regulasi.

Pemerintah sebagai garda terdepan tentu dituntut untuk memberi solusi terbaik, membuka keran kerjasama dengan semua pihak dan membuat perencanaan yang matang sambil mempermudah birokrasi dan regulasi. Demi Indonesia yang 100% terang.

Jalan menuju pemanfaatan energi baru dan terbarukan yang diharapkan menjadi 30% di tahun 2025 memang masih panjang. Beragam tantangannya harus dipikirkan secara serius oleh pemerintah, utamanya jika memang ingin mendorong keterlibatan pihak swasta. Perbaikan di sisi regulasi dan kemudahan birokrasi adalah jawabannya. Tidak ada jalan lain, pemerintah akan kesulitan bila harus bekerja sendirian. Di sisi lain, pemerintah juga harus mendorong dan memberi insentif pada warga yang sudah berhasil memanfaatkan energi baru dan terbarukan untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka.

Karena bagaimanapun, listrik akan jadi kebutuhan semua orang. Listrik jadi salah satu hal yang menjamin masa depan yang lebih baik. Bagi semuanya. [dG]