Bertemu Jamaluddin, Si Petani Sarjana
Awalnya dicibir, tapi dia tetap kukuh. Inilah kisah Jamaluddin sang sarjana yang memilih kembali ke kampung menjadi petani alih-alih tinggal di kota dan bekerja menjadi pegawai.
“Saya sempat disebut ‘sarjana tempel koran’,” kata Jamaluddin (36) ketika mulai bercerita tentang awal mula kegiatannya yang diganjar Astra Satu Indonesia Awards tahun 2017. Jamaluddin mengaku tidak pernah menjadikan penghargaan itu sebagai tujuan ketika dia mulai merintis Rumah Koran di tahun 2014. Rumah Koran adalah sebuah usaha memberikan pendidikan dan pengetahuan bagi para petani dan anak petani di desa asalnya, Desa Kanreapia, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Melawan Arus
Jamaluddin memulai semuanya justru ketika dia sebenarnya sudah ada di titik yang mapan. Lulusan sarjana pendidikan Universitas Bosowa yang kemudian melanjutkan pendidikan S2 jurusan manajemen ini sudah menjadi seorang dosen dan guru, profesi yang sering dianggap mapan dan lebih mentereng dari pekerjaan petani yang digeluti kedua orang tuanya.
Agak berbeda dengan kebanyakan orang yang ketika berada di posisi nyaman lebih memilih bertahan, Jamaluddin malah membanting setir dengan kembali ke kampung halaman, menjadi petani.
“Saya percaya kalau menjadi petani itu juga harus berpendidikan, bukan hanya pandai bercocok tanam,” katanya.
Dia juga percaya bahwa pendidikan dan pengetahuan adalah pondasi utama. Mau apapun profesinya, kalau tanpa pengetahuan tidak akan berujung pada keberhasilan. Dan pengetahuan itulah yang ingin dibagikannya kepada petani di kampungnya.
Niat baik tidak selalu berjalan mulus. Begitu juga dengan niat baik Jamaluddin. Status sebagai seorang sarjana yang telah bekerja di kota, lalu kembali ke kampung dan menjadi petani tentu membuat beberapa orang mengernyitkan dahi.
“Sudah disekolahkan mahal-mahal sama orang tuanya, eh ternyata balik kampung juga,”
“Kalau akhirnya jadi petani, untuk apa anak saya disekolahkan jadi sarjana?”
Itu sebagian nada minor yang menyertai langkah Jamaluddin. Beruntung kata dia, orang tua dan istrinya selalu menjadi pendukung nomor satu. Mereka selalu memberikan dukungan kepada Jamaluddin untuk mewujudkan niat baiknya.
“Dukungan keluarga dan istri itu yang selalu menguatkan saya,” katanya. Mimpinya untuk memberikan pendidikan dan pengetahuan tidak surut.
Lahirnya Rumah Koran
Jamaluddin memilih rumah baca sebagai jalan untuk mewujudkan mimpinya. Namun, berbeda dengan rumah baca pada umumnya, Jamaluddin memilih metode koran dan bukan memberi buku. Buku, menurut Jamaluddin, lebih mahal, berbeda dengan koran yang relatif lebih murah dan gampang didapat.
Sebuah kandang bebek milik kedua orang tuanya yang sudah terbengkalai menjadi awal. Kandang bebek itu disulap menjadi rumah baca. Seluruh dinding bagian dalamnya ditempel koran, baik koran baru maupun bekas. Intinya adalah ada pemicu bagi pengunjung rumah baca itu untuk membaca dan menambah pengetahuan serta informasi. Rumah baca itu diberi nama: Rumah Koran.
Jamaluddin punya tiga sasaran. Pertama adalah anak petani dengan metode meminta mereka membaca berita lalu membuat ringkasan dari berita itu. Lalu, mereka diminta untuk membacakan ringkasan tulisan yang mereka buat. Tempatnya pun beragam, bukan hanya di Rumah Koran tapi bisa juga di tepi sungai. Selain membacakan hasil ringkasan mereka, anak-anak itu juga diajak membersihkan sungai. Jadi mereka sudah belajar membaca, menulis, sekaligus menjaga lingkungan.
Sasaran kedua adalah remaja petani. Buat mereka metodenya berbeda lagi, lebih kepada diskusi. Beragam topik yang sedang hangat diangkat dan didiskusikan, misalnya saja tentang bagaimana memanfaatkan media sosial dan internet untuk hal-hal yang lebih positif.
Sasaran ketiga adalah petani tua. Buat mereka, sasaran pengetahuan lebih ke soal manajemen.
Beda sasaran, beda pendekatan.
Perubahan Mulai Terlihat
Meski awalnya mendapat cibiran, tapi pelan-pelan Rumah Koran mulai terlihat hasilnya. Anak-anak petani mulai kecanduan pada sebuah kegiatan positif yang sangat bermanfaat. Orang tua mereka pun lebih tenang karena tahu anak-anak mereka ada di tempat yang benar. Para petani muda pun merasakan manfaatnya. Pengetahuan mereka bertambah, dan kepercayaan diri mereka meningkat.
Jamaluddin tidak pernah bermaksud mengajarkan mereka cara bertani, tapi lebih kepada pengetahuan baru yang mendukung kerja mereka sebagai petani. Misalnya, bagaimana memanfaatkan pupuk organik untuk meningkatkan kualitas pertanian mereka.
Pengetahuan-pengetahuan baru ini juga membuat kepercayaan diri mereka tumbuh dan menguat. Mereka tidak lagi rendah diri karena pekerjaan mereka “hanya petani.” Sekarang mereka bahkan bisa mulai dengan bangga memperkenalkan diri sebagai petani.
“Saya tekankan sama mereka, kalau bukan karena pekerjaan mereka maka orang di kota tidak tahu mau makan apa,” kata Jamaluddin.
Pengetahuan yang diberikan oleh Jamaluddin kepada warga desanya memang bukan hanya satu macam. Anak-anak diberi pengetahuan tentang lingkungan hidup, tentang pertanian, tentang alam sekitar mereka. Pemuda diajari pengetahuan tentang pertanian yang lebih modern, sementara mereka yang lebih tua diajarkan tentang manajemen dan pengelolaan keuangan. Satu paket lengkap yang pada akhirnya meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri mereka.
Pelan-pelan warga desa Kanreapia mulai sadar bahwa menjadi petani saja tidak cukup, tapi harus dibarengi dengan pengetahuan. Dengan pengetahuan yang memadai, mereka bisa mengembangkan diri dan hasil produksi pertanian mereka. Pada akhirnya, kebutuhan ekonomi pun tercukupi.
Bangga dan Berbagi
“Kita harus akui kadang jadi petani itu adalah pilihan terakhir. Orang-orang pun tidak bangga ketika dia jadi petani,” kata Jamaluddin. Dia bercerita bagaimana anak-anak muda di kampungnya tidak percaya diri bahkan untuk sekadar membagikan fotonya di depan lahan pertaniannya. Berbeda dengan ketika mereka jalan ke mall, mereka bisa dengan percaya diri dan penuh suka cita membagikan fotonya dengan latar mall.
Kondisi itulah yang ingin diubah oleh Jamaluddin lewat peningkatan pengetahuan pada para petani di kampungnya. Rumah Koran jadi pintu masuk untuk memberi pengetahuan untuk para warga desa. Pada ujungnya kepercayaan diri mereka sebagai petani pun bertumbuh.
Perjuangan panjang dari sebuah kandang bebek tidak terurus pelan-pelan berkembang menjadi sebuah sumber pengetahuan. Kelompok tani binaan lahir, begitu juga dengan lahan-lahan percontohan. Saat pandemi COVID-19 melanda, petani Desa Kanreapia bahkan bisa menginisiasi sedekah sayuran bekerja sama dengan Brimob. Mereka bisa mengumpulkan sayuran dan membagikannya ke desa lain yang terisolir.
“Sampai sekarang sedekah sayuran masih berjalan dengan sasaran panti asuhan dan pesantren,” kata Jamaluddin.
Ganjaran penghargaan Astra Satu Award tahun 2017 buat Jamaluddin adalah sebuah apresiasi atas apa yang dia rintis. Jamaluddin juga bersyukur bahwa penghargaan itu bukan sekadar seremonial, tapi juga diikuti dengan beragam pelatihan, peningkatan kapasitas, dan pelibatan dalam beragam acara. Semua jadi modal bagi Jamaluddin dan kawan-kawan untuk mengembangkan apa yang sudah dirintisnya.
Berawal dari sebuah langkah kecil yang oleh sebagian orang dicibir dan bahkan memberinya julukan “sarjana tempel koran”, Rumah Koran mulai memberi dampak positif. Warga desa beroleh beragam pengetahuan yang membuat mereka semakin percaya diri sebagai petani.
“Di kampus, saya satu-satunya yang berprofesi sebagai petani. Teman yang lain ada yang pegawai negeri, pejabat, orang bank, dan lain-lain,” pungkas Jamaluddin yang saat ini sedang menempuh program doktoral di Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar. Pendidikan dan pengetahuan telah mengubahnya menjadi petani yang percaya diri, dan itu yang ingin ditularkannya kepada petani lain di kampungnya.