Kisah-Kisah Para Penjaga Masa Depan


Hutan adalah paru-paru bumi. Tanpa hutan, bumi akan mati. Berikut adalah kisah para penjaga hutan, penjaga masa depan.


Lelaki itu membentangkan sebuah kertas putih berukuran A1 ke atas lantai kayu. Di atas kertas itu garis-garis bertautan membentuk sebuah peta. Beberapa bagian diberi beberapa warna, sebagian lagi dibiarkan berwarna putih. “Peta ini jadi senjata kami. Mereka sekarang tidak bisa seenaknya lagi,” kata Markus Ilun, pria kelahiran 1961 yang membentangkan peta itu. Markus Ilun adalah ketua adat suku Dayak Punan yang mendiami Desa Punan Adiu di Kecamatan Malinau Selatan Hilir, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara.

Kami menghabiskan waktu tiga malam di desa itu, berinteraksi dengan warga di sana termasuk dengan Markus Ilun sang ketua adat. Pria bertinggi kira-kira 160an cm itu berbadan tegap dengan rahang tegas dan tulang pipi yang tinggi. Sepintas wajahnya mengingatkan saya pada orang-orang suku Toraja di Sulawesi Selatan.

Sebenarnya tidak salah juga karena orang Dayak Punan dan orang Tana Toraja masih memiliki akar yang sama. Nenek moyang mereka datang dari dataran Tiongkok, daerah Yunan di selatan Tiongkok yang masuk ke wilayah Indochina dan kemudian menyeberang ke pulau Kalimantan. Dari Kalimantan sebagian menetap, sebagian menyeberang ke Sulawesi Selatan dan sebagian lagi menyeberang ke Sumatera. Jadi wajar kalau secara fisik mereka mirip.

Peta yang dibawa Markus Ilun adalah peta hutan adat Punan Adiu. Di atas kertas itu tergambar wilayah hutan adat mereka yang seluas 17.000 ha. Peta itu muncul berkat pendampingan beberapa LSM lokal dan internasional hingga akhirnya warga Punan Adiu bisa mendapatkan pengakuan atas hutan adat mereka. Pemerintah Kabupaten Malinau pun ikut memberikan pengakuan atas hutan adat sejak tahun 2012 lewat terbitnya Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat Kabupaten Malinau.


Peta hutan adat Punan Adiu

“Dari dulu hutan kami sudah diincar banyak orang,” kata Markus Ilun yang juga pernah menjadi kepala desa selama 16 tahun.

Suatu hari di tahun 2013, camat yang adalah atasannya saat itu datang bersama tiga orang wakil dari tiga perusahaan sawit berbeda. Mereka datang di kala malam sudah turun dan kampung tanpa aliran listrik PLN itu sudah gelap. Tujuan mereka satu, membujuk Markus Ilun agar memberi ijin kepada mereka mengelola hutan adat menjadi kebun sawit.

“Sawit akan mendatangkan banyak keuntungan buat warga di sini.” Kata salah seorang wakil perusahaan. Lalu dari mulutnya menyembur kalimat-kalimat manis yang menjanjikan betapa perkebunan sawit akan mengubah desa yang belum dialiri listrik itu menjadi desa yang lebih permai dan sejahtera. Listrik akan mengalir, warga akan punya mata pencaharian baru. Bekerja di perusahaan sawit.

Markus Ilun bergeming. Dia tetap bertahan pada keputusannya untuk tidak melepaskan hutan adat yang sudah turun temurun menjadi warisan mereka. Bahkan ketika secara tersirat sang camat memberi ancaman, Markus Ilun tetap bergeming.

“Saya sudah biasa diancam,” kata Markus Ilun. Menurutnya, pak camat waktu itu sempat mengeluarkan kalimat bahwa siapapun yang menolak perintahnya akan dipecat. “Saya bilang sama pak camat, kalau saya mau dipecat ya silakan saya dipecat. Saya siap dipecat kapan saja,” lanjut Markus Ilun.


Markus Ilun, sang ketua adat Punan Adiu

Bagi Markus Ilun, hutan adalah ibu mereka. Hutan yang menghidupi mereka, memberi semua yang mereka butuhkan untuk hidup. Karena itu, mereka menjaga hutan seperti menjaga ibu mereka. Tidak membiarkan ada yang merusaknya. Sama seperti manusia yang menjaga ibu mereka sepenuh hati.

Hutan Adat, Dijaga Adat

Pagi masih basah di Desa Rantau Kermas. Tanah basah oleh embun, kabut menyelimuti bumi, matahari masih enggan bersinar. Saya menghirup udara pagi yang segar sekuat-kuatnya, mengisi paru-paru dengan udara yang bersih sambil mengatupkan jaket mengusir dingin yang masih memeluk.

Di ujung desa, sebuah baliho besar berdiri. Di dalamnya berisi tulisan tentang aturan adat terkait hutan, lengkap dengan dendanya.  Warga dilarang untuk menebang pohon secara sembarangan di wilayah hutan adat, dilarang membuka lahan atau menggarap lahan yang berada dalam wilayah hutan adat, tidak memasuki dan memanfaatkan potensi hutan tanpa ijin pemerintah desa atau pemangku adat, tidak boleh menjual atau menjaminkan hasil hutan adat, serta tidak boleh membuang sampah yang susah diurai secara sembarangan.

Larangan itu lengkap dengan aturan denda bagi pelanggarnya. Dendanya berupa satu ekor kambing, beras 20 gantang dan uang tunai sebesar Rp. 500.000,-


Larangan hutan adat desa Rantau Kermas
foto: Daeng Ipul / Yayasan BaKTI

Larangan itu dibuat atas kesepakatan pemangku adat yang disebut Depati. Khusus untuk Desa Rantau Kermas, pemangku adat mereka bergelar Depati Payung yang dijabat oleh seorang lelaki 50an tahun bernama M. Taqwin atau akrab disapa Ne’ Ca. Bersama dengan perangkat desa setempat, mereka menciptakan aturan adat yang menjaga hutan adat mereka.

Desa Rantau Kermas yang masuk ke wilayah Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin, Jambi adalah salah satu bagian dari Komunitas Adat Marga Serampas. Komunitas ini terdiri dari lima desa; Rantau Kermas, Renahalai, Lubuk Mentilin, Tanjung Kasri dan Ranah Kemumu. Kelima desa itu punya akar yang sama sebelum dipisahkan secara administratif. Total mereka memiliki luas hutan adat sebesar 130Ha.

Hutan adat ini sudah mendapatkan pengakuan dari pemerintah Indonesia. Tanggal 30 Desember 2016 Presiden Joko Widodo memberikan pengakuan pemerintah pada hutan adat milik sembilan komunitas masyarakat adat di Indonesia. Salah satunya adalah Komunitas Adat Marga Serampas. Dengan pengakuan tersebut, warga adat Marga Serampas semakin memiliki kekuatan untuk menjaga hutan adat mereka lewat beberapa peraturan yang mereka buat.

Pengakuan itu bukan hal mudah karena mereka sendiri dibantu beberapa LSM lokal sudah mulai merintisnya sejak tahun 2001. Ada beberapa syarat yang harus mereka penuhi, salah satunya adalah syarat bahwa ada kepastian hutan adat tersebut bisa dijaga oleh masyarakat. Ini bukan syarat yang sulit karena sejak turun temurun warga memang sudah punya hukum adat yang dipatuhi bersama untuk menjaga kelangsungan hutan adat di sekitar kampung mereka.


Desa Rantau Kermas di pagi hari
foto: Daeng Ipul / Yayasan BaKTI

“Wilayah hutan adat kami terdiri atas dua bagian,” kata Ne’ Ca yang kami temui di rumahnya. Menurutnya, kawasan hutan adat di Marga Serampas terbagi atas Tanah Ajun dan Tanah Ara. Tanah Ajun adalah wilayah yang bisa dibuka untuk pemukiman, sedang Tanah Ara adalah wilayah yang bisa dibuka untuk berladang. Penggunaan kedua wilayah itu tidak mudah, harus ada persetujuan dari dewan adat atau para Depati.

Untuk kawasan Tanah Ara, ada tiga kawasan yang sama sekali tidak boleh disentuh, yaitu: lereng bukit, kawasan mata air dan ladang batu. Kawasan lainnya boleh tapi tetap harus melalui persetujuan dari dewan adat.

Denda material untuk pelanggaran hukum adat tersebut mungkin tidak terlalu besar, tapi sanksi sosialnya yang benar-benar membebani. Para pelanggar akan menanggung malu yang sangat besar, pun mereka akan merasakan perlakuan berbeda dari warga lainnya. Karena itu, mereka benar-benar berpikir dua kali saat akan melanggar aturan adat.

Hukum adat ini dibuat bukan tanpa sebab. Mereka benar-benar paham akan fungsi hutan sebagai penyedia air bersih dan pelindung kehidupan. Karena itu, mereka tidak mau bermain-main dengan keberadaan hutan.

Adopsi Hutan dan Memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu

“Awalnya ya kami tidak mau waktu disuruh mengurus HKm. Kami pikir, jangan sampai HKm ini hanya merusak hutan,” kata Saparudin (40 thn), ketua Kelompok Tani Hutan Desa Aik Bual, Kecamatan Kopang, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Desa Aik Bual adalah salah satu desa di kaki Gunung Rinjani. Hutannya tentu saja jadi salah satu penopang keberadaan Taman Nasional Rinjani.

Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan melibatkan masyarakat, selain Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat. Sayangnya, beberapa pengelola HKm justru menyalahgunakan kebijakan tersebut. Saparudin memberi contoh di desa tetangganya. Ketika mereka mendapatkan hak HKm, ekonomi memang meningkat, tapi hutan justru rusak.

Itulah alasan kenapa Saparudin dan warga Aik Bual awalnya menolak ketika diminta untuk mengurus ijin Hutan Kemasyarakatan.

Butuh waktu sebelum Saparudin dan warga Aik Bual akhirnya mau mengurus HKm untuk desa mereka. Salah satunya adalah berkat pendampingan dari beberapa LSM. Pendampingan itu memberi pemahaman kepada warga bahwa mereka bisa tetap mendapatkan hasil dari hutan tapi tidak merusak hutan.


Hutan Kemasyarakatan desa Aik Bual
foto: Daeng Ipul / Yayasan BaKTI

Terkadang masalah menjaga hutan ini cukup pelik karena warga sekitar hutan hanya diminta untuk menjaga hutan, tapi mereka tidak merasa mendapatkan keuntungan materi dari usaha menjaga hutan itu. Seidealis apapun manusia, kebutuhan hidup dari materi tetap dibutuhkan. Karena itu pula, kadang idealisme bentrok dengan urusan perut dan kebutuhan sehari-hari hingga akhirnya kadang idealisme yang harus mengalah.

Warga desa Aik Bual bisa mengambil jalan tengah dari persoalan itu. Mereka bisa tetap melestarikan hutan, tapi mereka juga tetap diberi kesempatan mengelola kawasan HKm untuk menanam buah. Buah-buahan itulah yang menjadi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang menjadi salah satu pemasukan bagi kehidupan mereka. Khusus untuk warga Aik Bual, tanaman buah yang menghasilkan buat mereka datang dari durian, alpukat, dan manggis.

Tapi ada hal lain yang menarik. Warga mendapatkan tambahan penghasilan dari menjual karbon dan adopsi hutan. Sebelumnya, ini adalah hal yang asing buat warga Aik Bual atau bahkan warga lain di Indonesia.

Sederhananya begini, warga Aik Bual lewat bantuan sebuah lembaga melakukan penghitungan karbon dari hutan yang mereka jaga. Penghitungan karbon ini dilakukan dengan cara  mengukur diameter batang pohon yang kemudian dikalikan dengan alometrik tertentu sesuai jenis pohon. Hasil akhirnya inilah yang kemudian dijadikan patokan untuk menentukan nilai karbon yang mereka jual. Selain itu, mereka juga mendapatkan bantuan para adopter atau lembaga yang mau memberikan dana untuk menjaga hutan atau pohon di kawasan desa Aik Bual.

Salah satu perusahaan yang sudah menjadi pembeli karbon mereka adalah British American Tobacco (BAT) yang setiap tahunnya mengeluarkan uang sebesar Rp.50 hingga Rp.100 jutaan. Uang ini dibagi rata oleh warga sesuai luas lahan yang dirawat. Sisanya masuk ke kas desa.

Untuk mendukung program adopsi hutan itu, warga dibantu oleh LSM lokal menggunakan aplikasi khusus yang bernama SMART Patrol. Setiap pohon diberi barcode yang bisa dipindai dengan telepon pintar. Setiap barcode itu menyimpan informasi jenis pohon, keadaan, dan lokasinya. Warga akan berkeliling ke area yang mereka rawat untuk memutakhirkan data tentang pohon tersebut. Para adopter atau pembeli karbon akan diberi informasi terakhir tentang kondisi pohon yang mereka adopsi.


Aplikasi SMART Patrol untuk memantau kondisi hutan
foto: Daeng Ipul / Yayasan BaKTI

“Ini sudah seperti penjualan gaib karena barangnya tidak kelihatan,” kata Saparudin sambil tertawa. Meski sudah menerima hasil dari penjualan karbon dan adopsi hutan tersebut, namun bagi warga Aik Bual ini hanya semacam insentif saja, tidak menjadi tujuan utama. Tujuan utama mereka tetap menjaga hutan yang lestari. Kalaupun ada keuntungan finansial yang mereka rasakan, maka itu adalah bonus.

*****

Dari pedalaman Kalimantan, ke satu titik di Jambi, hingga di kaki Rinjani, selalu ada orang-orang yang bertahan menjaga hutan. Orang-orang yang merasa hutan adalah ibu mereka, hutan adalah sumber kehidupan mereka, hingga hutan adalah sahabat mereka. Mereka menjaga hutan dengan kearifan lokal, hingga mereka yang berhasil mencari titik tengah antara menjaga hutan dan melanjutkan kehidupan.

Mereka ini adalah para penjaga masa depan. Tanpa orang-orang seperti mereka, hutan tentu akan sulit dijaga. Padahal, hutan adalah paru-paru bumi. Hutan adalah sumber kehidupan. Tanpa hutan, entah apa jadinya bumi kita ini. Tidak ada kehidupan, tidak ada air bersih, tidak ada udara bersih. Menakutkan sekali.



Kita juga bisa seperti mereka, ikut menjaga hutan meski kita tidak hidup di sekitar hutan. Salah satunya adalah dengan mengikuti program Adopsi Hutan yang diluncurkan bersamaan dengan Hari Hutan Indonesia. Kita bisa mendonasikan beberapa rupiah untuk ikut menjaga keberadaan hutan Indonesia. Menjaga paru-paru bumi, menjaga masa depan.

Langkah besar selalu dimulai dengan langkah kecil. Para penjaga masa depan sudah memulainya, dan kita bisa mengikutinya. [dG]