Bogota 8: Menengok Simon Bolivar

Hari ketiga saya memaksakan diri untuk menengok Plaza de Bolivar. Setidaknya ada satu landmark kota ini yang saya datangi. Lanjutan dari tulisan sebelumnya yang bisa dibaca di sini.

“Malam ini kita makan bareng ya. Kami yang traktir, tapi kalau kalian minum miras bayar sendiri ya,” demikian pengumuman dari panitia. Pengumuman itu sekaligus mengubah rencana saya yang tadinya berencana mengunjungi Plaza de Bolivar selepas kegiatan di hari kedua. Mau tidak mau saya akan bergabung dengan mereka. Sosialiasi dengan teman-teman lintas negara penting bro, siapa tahu besok diundang lagi hehehe.

Jadi ke Plaza Bolivar kita tunda, masih ada besok.

Sarapan di Indomaret Bogota

Hari ketiga dibuka dengan jalan kaki sekitar hotel. Biasanya jalan kaki sekitar hotel di Indonesia saya lakukan dengan kostum celana pendek, kaos olahraga dan sandal jepit kalau bukan sepatu jalan. Tapi di Bogota berbeda. Saya keluar dengan jaket tebal dan celana panjang plus sepatu kets. Bukan ide yang bagus bercelana pendek di pagi sedingin 9 derajat celcius.

Saya berjalan sekitar 2 blok dari hotel sebelum memutuskan untuk membeli arepa di sebuah gerobak pinggir jalan. Dalam perjalanan pulang saya mampir ke Oxxo, Indomaretnya Bogota dekat hotel yang sudah lumayan saya akrabi.

Saking akrabnya, kasirnya sudah kenal. Dia tahu saya tidak bisa berbahasa Spanyol, dan dia tahu saya selalu memesan yang sama. Kopi americano ukuran kecil. Saking kenalnya, dia sampai sok tahu. Keesokan harinya saya mau coba kopi yang lain, saya pesan latte. Kebetulan yang menerima saya orang berbeda, tapi yang biasa melayani saya ada di depan mesin kopi. Dia melihat saya dan mungkin berpikir; ah pesanannya pasti sama. Saya memesan latte, tapi yang saya terima americano dan saya baru sadar ketika meninggalkan Oxxo. Idih, sok tahu juga si embak itu.

Pagi itu saya duduk di teras Oxxo yang terlindungi tanaman. Menikmati segelas americano, arepa, dan tentu saja Gudang Garam Filter.

Sarapan di Oxxo

Pandangan saya tidak lepas dari orang yang mondar-mandir, lebih banyak dari arah kiri atau dari arah halte TransMilenio. Sepertinya mereka sedang bergegas ke kantor. Matahari mulai meninggi, tapi sejuknya Bogota masih memaksa saya mengetatkan jaket. Sungguh, ini benar-benar pengalaman yang paling saya rindukan dari Bogota. Menikmati pagi hari yang sibuk tapi sejuk, menikmati pemandangan laki-laki dan perempuan dengan penampilan menawan dan stylish. Sampai tidak sadar, hampir satu jam saya di Oxxo.

Saya kembali ke hotel dan memutuskan tidak sarapan di hotel lagi. Sarapan di pinggir jalan, di teras Indomaretnya Bogota itu lebih menyenangkan.

Makan Malam di Roof Top

Saya mandi dan memulai aktivitas hari itu. Semua lancar, hingga sore harinya bergabung dengan rombongan yang makan malam bersama. Kami makan malam di sebuah roof top hotel sekitar 2 km dari hotel kami. Pemandangan dari roof top itu cukup menawan. Kita bisa melihat sebagian besar Bogota dari sana karena kebetulan hotelnya pun berada di daerah ketinggian.

Satu-satunya pemandangan yang tidak menawan adalah harga makanannya. Untungnya kami ditraktir, tapi pesannya ramai-ramai dan saling mencicipi saja makanan yang datang. Teman-teman yang lain memesan liquor yang artinya mereka harus bayar sendiri. Saya cukup memesan kopi dan air putih.

“Marc, saya tadi pesan kopi dan air putih. Itu saya bayar sendiri juga?” Tanya saya ke panitia.

“Oh it’s okay. We can pay for that,” kata si Marc.

Syukurlah hahaha.

Obrolan cukup seru, kami berbagi banyak cerita terutama kondisi atau apa yang khas dari negara kami. Saya juga banyak bertanya tentang negara mereka, utamanya Paraguay, Uruguay, dan Tunisia.

Sekitar jam 8 malam kami berpisah. Sebagian masih melanjutkan obrolan di roof top, sebagian lagi termasuk saya memilih untuk pulang ke hotel.

Naik Uber Menguber Waktu

Keesokan harinya, begitu kegiatan selesai saya buru-buru bersiap untuk ke Plaza de Bolivar. Plaza de Bolivar adalah sebuah lapangan luas yang dikelilingi bangunan-bangunan tua. Salah satunya adalah katedral pertama yang dibangun di Kolombia, sekitar tahun 1539. Di sekitarnya ada banyak lagi bangunan lain yang berdiri, semuanya dari abad pertengahan.

Plaza de Bolivar terletak di kawasan Candelaria atau kawasan tuanya Bogota. Jaraknya sekitar 8 km dari kawasan Chico tempat kami menginap. Saya memilih menggunakan Uber yang bekerjasama dengan taksi untuk bisa ke sana. Biayanya COP25.000,- atau sekitar Rp.100.000,-

“Kalau naik Uber kamu harus duduk di depan, samping pak supir yang sedang bekerja supaya tidak ketahuan kalau itu Uber. Soalnya supir taksi lokal tidak suka sama Uber,” kata Andres menjelaskan.

Wah berisiko juga ya, kata saya. Tadinya saya bahkan mau mencoba Uber Moto, sejenis Gojek kalau di Indonesia. Tapi dari hasil penelusuran di Google katanya itu belum resmi, jadi masih berisiko. Saya akhirnya memilih Uber tapi yang tipe taxi alias kerjasama dengan taksi lokal. Lebih aman, walaupun harganya lebih mahal sedikit. Tak apalah, kata saya. Sebenarnya saya mencoba mencari alternatif supir yang bisa bahasa Inggris karena katanya kita bisa request. Tapi saya cari opsinya koq tidak ada ya? Jadi ya sudahlah, pakai apa adanya saja.

Taksi saya datang, sebuah Hyundai apalah itu. Saya masuk ke kursi belakang. Supirnya seorang anak muda yang necis. Bercelana bahan, kemeja putih dan rambut klimis. Sudah seperti orang kementerian saja rupanya.

Taksi di Bogota
Beginilah penampakan taksi dan supirnya yang necis

“Can you speak English?” Tanya saya

“No. senor. I only can speak Sundanese,” katanya. Tapi tentu saja itu bohong.

Ya sudahlah. Sulit kali rupanya mencari supir yang pandai bahasa Inggris di sini. Padahal kan maksudnya ingin mengobrol dan tanya ini-itu soal Bogota. Taksi melaju ke arah selatan Bogota, melewati jalan menurun yang tidak terlalu ramai. Di kiri – di arah sebaliknya – terlihat kalau jalanan ramai dan sedikit macet. Maaf koreksi, perlambatan. Ini yang disebut Andres sebagai “macet parah”.

Mudah-mudahan saya tiba di Plaza de Bolivar tidak kemalaman.

Menengok Simon Bolivar

Sekitar setengah jam kemudian taksi berhenti tidak jauh dari Plaza de Bolivar.

“Sudah sampaino senor,” kata si supir taksi.

Saya membayar argo dan turun dari sisi kanan. Di seberang jalan Plaza de Bolivar sudah terlihat jelas. Lapangan luas yang ditutupi batu seperti umumnya lapangan-lapangan di Eropa yang saya lihat di foto. Di tiga sisi lapangan berdiri bangunan-bangunan megah arsitektur abad pertengahan. Plaza de Bolivar berada di kawasan pemerintahan Kolombia. Di sekitarnya kantor-kantor pemerintahan yang sebagian besar adalah bangunan tua berdiri kokoh. Plaza de Bolivar ini semacam Monas kalau di Jakarta. Di tengah lapangan berdiri sebuah patung yang saya taksir adalah patung Simon Bolivar.

Plaza de Bolivar
Suasana Plaza de Bolivar di sore hari

Simon Bolivar dijuluki El Libertador atau pembebas. Dia lahir tahun 1819 di wilayah yang sekarang masuk ke dalam negara Venezuela dan menjadi salah satu orang yang memperjuangkan pembebasan daerah Amerika Selatan dari penjajahan Spanyol. Wilayah yang dia bebaskan sekarang termasuk dalam negara Kolombia, Venezuela, Ekuador, Peru, Panama, dan Bolivia. Makanya namanya sangat diagungkan di negara-negara itu, bahkan Bolivia terinspirasi dari nama besar Simon Bolivar.

Di tengah lapangan berdiri patungnya dengan bendera Kolombia yang dililitkan di bagian lehernya. Sayangnya patung ini penuh dengan coretan vandal yang sangat mengganggu. Coretan-coretan vandal itu juga bisa ditemui di beberapa dinding katedral. Bahkan parahnya lagi, seorang cowok dengan santainya mepet ke dinding pagar katedral dan kencing di sana. Air kencingnya mengalir di atas lantai batu. Buset dah!

Sore itu Plaza de Bolivar tidak terlalu ramai. Mungkin ada puluhan orang yang duduk santai menikmati sore. Beberapa di antaranya adalah turis, terlihat dari aksi mereka yang memotret sana-sini dan berfoto di sana-sini. Termasuk saya tentunya.

Beberapa muda-mudi berpasang-pasangan juga duduk santai di tangga katedral menghadap ke patung Simon Bolivar. Sesekali mereka berciuman dengan lembut dan cenderung panas. Ah, sa ae lu tong! Tidak ada segan-segannya sama Simon Bolivar.

Di satu sisi ada beberapa polisi yang berjaga. Pemandangan polisi di tempat umum gampang dilihat di Bogota. Entah karena situasi yang tidak aman atau justru mereka mau memastikan situasi aman.

Sebelum ke Plaza de Bolivar, saya sudah diwanti-wanti sama Andres kalau harus hati-hati menjaga barang. Banyak copet, katanya. Dia juga menyarankan kalau ambil foto atau video jangan pegang handphone terlalu lama. Pesan itulah yang saya pegang. Saya mendokumentasikan kegiatan di Plaza de Bolivar seadanya saja. Saya lebih senang duduk berlama-lama di tangga bersama pengunjung lain sambil menikmati matahari yang pelan-pelan kembali ke peraduan.

Udara dingin memeluk, tapi saya benar-benar menikmati suasana sore di Plaza de Bolivar. Sayup-sayup terdengar suara musik dari gerobak pedagang kaki lima yang banyak bertebaran di bagian timur laut Plaza de Bolivar. Mereka menjajakan merchandise kecil seperti gantungan kunci, tempelan kulkas, dan kaos. Ada juga orang yang menarik llama atau alpaka, hewan khas Amerika Selatan. Mereka menawarkan pengunjung untuk naik alpaka atau minimal berfoto bersama alpaka. Saya tidak tahu berapa harganya, tapi saya tidak tertarik. Saya masih memilih untuk duduk santai sambil menahan rasa ingin kencing karena udara yang semakin dingin.

Belanja Oleh-oleh

Malam mulai turun, sekitar Plaza de Bolivar mulai gelap. Saya harus bergerak biar tidak kemalaman. Tujuan berikutnya adalah Artesanías – Tesoro Artesanal yang berjarak sekitar 400 meter sebelah timur laut dari Plaza de Bolivar. Tempat ini adalah pusat penjualan craft atau kerajinan tangan. Rencananya saya mau cari oleh-oleh.

Artesanías – Tesoro Artesanal ini berisi deretan kios-kios kecil dalam satu gedung. Isinya ya pedagang yang menjajakan barang-barang kecil untuk oleh-oleh. Gantungan kunci, tempelan kulkas, gelang, tas, kaos, baju, dan banyak lagi. Bahkan ada yang menjajakan canabis untuk obat. Sepertinya canabis atau ganja di Bogota dilegalkan kalau untuk keperluan pengobatan. Area ini tidak terlalu besar, tidak sebesar Bugis Street di Singapura misalnya.

Pusat penjualan oleh-oleh

Saya masuk ke dalam area ini, mencoba meneliti kira-kira kios mana yang mau saya sambangi. Tapi hanya berjalan sebentar saya sudah sampai di ujung, tidak terlalu besar. Akhirnya saya memilih satu kios yang dagangannya terlihat ramai. Penjaganya seorang perempuan muda dengan tato dan tindik, cukup menarik perhatian.

“Buenos dias,” kata dia menyambut saya.

Saya membalas sapaannya dan langsung mendekalarasikan diri tidak bisa berbahasa Spanyol. Percakapan kami selanjutnya berlangsung dengan bantuan kalkulator. Saya tahu kata “quenta” yang berarti “berapa?” Awalnya saya menggunakan kata itu untuk memulai percakapan ketika ingin tahu harga satu barang, tapi setelah itu penjualnya biasanya akan membalas dengan bahasa Spanyol yang saya tidak tahu artinya apa. Jadi mending kita bernegosiasi dengan kalkulator saja ya.

Saya membeli beberapa barang kecil di kios itu, lalu beranjak ke kios lain. Polanya sama, si penjaga kios tidak bisa berbahasa Inggris dan saya tidak bisa berbahasa Spanyol, jadi kami bicara lewat kalkulator saja. Oh iya, beberapa kali juga kami berbicara dengan perantara Google Translate. Saya atau si pedagang berbicara ke handphone lalu menunjukkan hasil terjemahannya. Lumayan membantu.

Total saya memasuki empat kios dan membawa cukup banyak oleh-oleh buat teman dan keluarga di Indonesia. Harganya menurutku agak mahal, entah memang harganya mahal atau saya yang kena scam. Tapi selama masih masuk anggaran ya sudah, dibeli saja.

Menjelang jam 7 malam, kios-kios mulai tutup. Bahkan saya harus keluar melaui pintu yang sudah ditutup setengah. Benar-benar Bogota ini, jam 7 sudah pada siap tidur mereka.

Saya pulang ke hotel menggunakan Uber taksi lagi. Sepanjang jalan memang terlihat kalau jalanan sudah sepi. Toko sebagian besar sudah tutup dan jalanan sudah sepi. Di atas jam 8 malam, kehidupan nyaris berhenti di Bogota. Entahlah, mungkin karena cuaca dingin atau memang mereka yang hidup sehat, tidak berkeliaran di luar rumah di malam hari. Soal hidup sehat, sepertinya orang Bogota memang punya kebiasaan soal itu. Salah satunya adalah makan buah. Mereka senang sekali makan buah dan minum jus buah. Selama di sana, saya minum jus buah tanpa gula sampai tiga kali sehari. Belum lagi makan buah hampir di tiap kesempatan. Pantas saja berak saya jadi lancar selama di Bogota, hahahaha.

Pukul delapan malam lebih saya sudah di kamar hotel. Saya keluar sebentar mencari makan di restoran yang belum tutup, lalu kembali ke kamar, mengerjakan yang bisa saya kerjakan lalu tidur sekitar jam 11 malam. Besok masih ada kegiatan, mari beristirahat! [dG]