Kondisi sungai di depan perumahan kami

Sebuah kondisi luar biasa ketika kawasan perumahan kami kesulitan air bersih. Kondisi yang membuat pengelola kawasan pun seperti bingung dan gagap.

Beberapa orang berkumpul di dekat sebuah pipa air yang berujung dengan beberapa keran. Selain mereka ada juga beberapa ember dan botol air besar yang kerap disebut “galon”. Hari sudah malam, jarum jam sudah menuju pukul 22:00 WITA. Seharusnya orang-orang itu tinggal di rumah bersama keluarga, atau paling tidak berkeliaran di luar bersama teman-teman. Bukan berkumpul di dekat sumber air. Apalagi ini perumahan yang bisa dibilang cukup mewah di kota Makassar.

Tapi sepertinya mereka tidak punya pilihan lain selain mengantri air, mengisi tempat-tempat air yang mereka punya. Demi memenuhi kebutuhan air bersih.

Antri air di pagi hari

PDAM Ngambek

Saya masih di Medan ketika mendengar kabar bahwa aliran air bersih di rumah terhenti. Saya pikir itu hanya masalah biasa, seperti yang kadang terjadi ketika PDAM mengalami masalah. Hal seperti itu kerap terjadi, dan biasanya pengelola kawasan Bukit Baruga punya solusinya.

Sepengetahuan saya yang pernah menjadi bagian dari pengembang dan pengelola kawasan itu, Bukit Baruga punya sumur sendir, lebih dari satu. Bahkan sebelum PDAM mengalirkan airnya ke Bukit Baruga, mereka sudah lebih dulu melayani kebutuhan air bersih warga lewat sumur-sumur yang mereka punya. Jadi ketika PDAM ngambek seharusnya itu tidak jadi masalah.

Tapi ternyata kali ini berbeda.

PDAM benar-benar ngambek. Air tidak mengalir sama sekali. Alasan resmi yang diberikan oleh PDAM adalah karena kadar chlorine dalam air di penampungan mereka yang tinggi dan karena debit sumber airnya yang sangat sedikit sehingga air tidak bisa disalurkan. Beberapa kecamatan terdampak, salah satunya kecamatan tempat saya bermukim.

Biasanya, ketika PDAM sedang bermasalah maka pengelola Bukit Baruga mengambil alih. Mereka masih punya sumur dan bisa mengalirkan air bersih ke warganya, walaupun mungkin kualitasnya tidak sebaik kualitas air PDAM. Itu biasanya, tapi ini tidak biasanya.

Maka mulailah warga perumahan yang katanya salah satu perumahan terbaik di kota Makassar, yang selalu menawarkan keasrian alam dan suasana segar ini masuk ke dalam fase “kesulitan air bersih”.

Pertama Kalinya

Saya tinggal di kawasan ini sejak 1982, jauh sebelum perumahan Bukit Baruga hadir. Saya kemudian menjadi bagian dari pengembang perumahan ini di tahun 1997, lalu menjadi warga perumahan di tahun 2015. Sudah berpuluh-puluh tahun.

Inilah kali pertama saya mengalami yang namanya kesulitan air bersih. Sebelumnya saya tidak pernah menemukan situasi ketika saya harus berpikir keras bagaimana menghadirkan air ke rumah.

Situasi ini jelas situasi yang luar biasa. Kekeringan melanda berbagai daerah di Indonesia, Makassar – dan Sulawesi Selatan – salah satu korbannya. Debit air menurun drastis, berdampak pada beberapa layanan, mulai dari listrik yang dipasok PLN hingga air bersiih yang dipasok PDAM.

Tanaman pun kekeringan

Bertahun-tahun lalu, Eko Rusdianto – seorang kawan yang juga adalah jurnalis Mongabay – pernah bilang kalau Makassar terancam kekeringan. Prediksi itu dia dapatkan dari hasil membaca jurnal dan wawancara dengan beberapa ahli. Sekarang, kata-katanya jadi kenyataan. Ancaman kekeringan itu seperti tidak pernah diantisipasi oleh mereka yang punya kuasa yang seharusnya mendengarkan kata para ahli.

Kalau mau lebih gampang kita bisa saja menyalahkan el nino yang katanya jadi penyebab kekeringan panjang ini. Tapi, apakah manusia benar-benar tidak punya kuasa untuk melawan? Atau minimal memprediksinya lalu mengantisipasinya?

Warga Bantu Warga

Nasi sudah jadi bubur, mending ditambah suwiran ayam biar sekalian jadi bubur ayam. Begitu juga dengan kekeringan yang mulai melanda ini. Warga tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi pengelola kawasan Bukit Baruga juga tidak bisa berbuat banyak. Mereka memang menyediakan tempat pengambilan air bersih dan memfasilitasi dengan mengisi tangki dan menyebarkan ke beberapa titik. Selebihnya biar warga sendiri yang berusaha.

Dan itulah yang terjadi. Beruntung kami – saya dan beberapa warga lain – berada tidak jauh dari sebuah bak penampungan, jadi setidaknya kami bisa mulai dari situ.Salah satu warga berinisiatif membeli selang air sepanjang 70 meter yang lalu disambungkan ke bak penampungan tersebut. Tidak hanya itu, beliau juga membeli satu pompa air untuk membantu mendorong air dari penampungan ke selang yang sudah dipasang.

Dari bak penampungan, air dialirkan ke rumah beliau yang berada sekitar 50 meter dari bak penampungan. Dari sana air kemudian dibagi ke warga yang membutuhkan. Minimal mendekatkan warga untuk mengisi bak penampungan. Tidak perlu mengangkat ember atau alat penampungan lain dari sumber air, cukup menarik selang ke rumah mereka. Sangat membantu.

Lalu, apakah pengelola kawasan hadir dalam usaha ini? Oh tentu saja! Mereka hadir dalam bentuk dukungan moral. Setidaknya mereka tidak merecoki usaha warga ini. Kalau dukungan lain, tentu saja tidak ada. Ini murni inisiatif warga. Warga bantu warga.

Kondisi ini hampir sama dengan kondisi negeri kita yang kadang seperti berjalan auto pilot. Kondisi ketika pemerintah tidak hadir dalam masalah warga sehingga kadang warga harus berusaha sendiri, mencari solusi, bahu membahu. Sekali lagi, warga bantu warga.

*****

Kondisi ini memang luar biasa. Belum pernah terjadi sebelumnya dalam rentang puluhan tahun saya tinggal di kawasan ini. Mungkin ini juga alasan kenapa pengelola kawasan perumahan yang katanya perumahan mewah ini sampai gagap dan bingung mengambil tindakan. Mereka tetap berusaha, tapi tidak cukup sehingga selebihnya wargalah yang berusaha sendiri.

Entah sampai kapan kondisi ini akan bertahan. Mungkin ketika hujan benar-benar sudah menyambangi Makassar dan Sulawesi Selatan, air PDAM akan kembali mengalir. Warga kembali senang, pengelola kawasan pun akan kembali menarik iuran yang tidak sedikit itu. Mungkin ya. [dG]