Makassar, Seburuk-buruknya Kota Untuk Jatuh Cinta
Sebuah pertanyaan tentang alasan untuk bertahan di kota Makassar yang saya rasa harus saya jawab panjang lebar.
Tulisan ini akan saya buka dengan pertanyaan, wajarkah kita mempertanyakan alasan untuk bertahan di suatu kota atau di suatu tempat? Jawabannya terserah Anda, dan saya yakin pasti akan berbeda-beda. Buat saya sendiri, wajar orang mempertanyakan tentang itu. Tentang alasan kenapa dia bertahan di suatu tempat, tinggal begitu lama meski dia sadar tempat itu tidak nyaman buatnya.
Saya pernah berkunjung ke sebuah kampung yang jauh dari mana-mana. Butuh waktu, tenaga, dan keberanian hanya untuk sekadar sampai ke sana. Jalanan berliku di punggung bukit, tidak beraspal, licin di waktu hujan, dan yang paling penting tepat di tepi jurang. Tak ada listrik di sana, tak ada sinyal telepon seluler. Tapi ada puluhan rumah, ada puluhan atau mungkin malah ratusan orang yang bertahan tinggal di sana. Jauh dari peradaban, jauh dari hiruk-pikuk kota.
“Kenapa bapak mau tinggal di sini? Di sini kan jauh dari mana-mana” tanya saya.
“Kami lahir di sini, darah kami tumpah di sini. Tidak ada alasan untuk pergi dari sini,” jawabnya.
Sesederhana itu.
Wajarkah?
Kenapa saya memulai dengan pertanyaan itu dan kisah seperti di atas? Jawabannya karena sebuah kicauan di Twitter. Kalian bisa membacanya di gambar di bawah ini.
Sebuah pertanyaan yang menohok dan segera ramai dibahas di Twitter. Lumayan ramailah. Sebuah pertanyaan yang dibalas dengan beragam cerita yang seolah membenarkan alasan di balik pertanyaan itu.
Keramaian itu yang membuat saya bertanya-tanya, wajarkan mempertanyakan alasan untuk bertahan di suatu tempat? Dan buat saya jawabannya sederhana: wajar. Kenapa tidak? Justru pertanyaan itu penting sebagai alasan untuk melihat realita meski mungkin tidak akan benar-benar objektif. Tapi setidaknya itu akan lebih “aman” ketimbang mempertanyakan alasan untuk tinggal di kota orang lain.
Benarkah?
Sekarang kita pindah ke bagian pertanyaannya. Apa yang dicari orang-orang di kota yang panasnya naudzubillah, macetnya sampai ke lorong-lorong, transportasi publik yang gak jelas, dan tata kotanya yang buruk?
Sebelum menjawab, mungkin saya akan memulai dengan menguji pertanyaan itu.
Kota yang panasnya naudzubillah. Benarkah? Hmmmm, sayangnya saya harus bilang iya. Benar. Sebagai kota yang terletak di tepi pantai, Makassar tentu akrab dengan udara panas yang naudzubillah. Gerah dengan tingkat kelembaban yang tinggi. Itu lalu diperparah dengan kurangnya ruang terbuka hijau dan semakin rajinnya orang Makassar membeton jalan, alih-alih membuat taman di depan rumah. Hasilnya, ya panaslah.
Makassar memang tidak akrab dengan taman, karena orang Makassar – dan pemerintah kotanya – lebih senang menyulap tanah kosong menjadi ruko. Lebih menghasilkan. Mungkin ini selurus dengan karakter sebagian besar orang Bugis-Makassar yang punya urat dagang yang kencang. Lebih baik memanfaatkan setiap jengkal tanah kosong menjadi ruang usaha daripada taman yang tidak menghasilkan.
Macetnya sampai ke lorong-lorong. Benarkah? Hmmmm, sayangnya saya kembali harus bilang iya. Benar. Makassar adalah kota yang sangat dinamis, diisi oleh sebagian besar orang yang sangat terbuka menerima hal-hal baru yang moderen, dan tentu saja mengutamakan penampilan. Hasilnya, kendaraan baru hadir setiap hari. Bahkan ada orang-orang yang sampai rela mengutang hanya demi bisa membeli kendaraan baru. Demi gengsi bos!
Lalu, pemerintah kota juga tidak punya niat untuk memperbaiki transportasi umum agar orang punya opsi naik transportasi umum daripada beli kendaraan. Kata teman, Makassar dibangun agar lebih ramah pada mesin, bukan pada manusia.
Paragraf di atas sekaligus membenarkan pertanyaan berikutnya tentang transportasi publik yang tidak jelas. Makassar hanya bergantung pada pete-pete, dan pete-pete jelas tidak bisa dikategorikan transportasi publik. Pemerintah Provinsi Sulsel punya Bus Mamminasata yang menghubungkan Makassar-Maros-Gowa. Lumayan membantu meski tidak terlalu banyak, apalagi karena kehadirannya sempat diprotes oleh para supir pete-pete.
Kegagalan menghadirkan transportasi publik ini juga sekaligus menandakan tata kota yang buruk. Daerah resapan air diubah menjadi area komersil, laut ditimbun, dan ini jadi alasan mudahnya air menggenang setiap kali hujan datang.
Seburuk Itukah?
Deretan pertanyaan itu menggelitik saya pada suatu pertanyaan; seburuk itukah kota Makassar? Kalau membaca blog ini, sebenarnya saya juga sudah sering mempertanyakan hal-hal terkait perkembangan kota ini. Tentang pemerintah kota yang seperti tidak punya arah yang jelas dalam membangun kota selain ini menjadi “yang pertama di dunia” atau “satu-satunya di dunia.”
Hanya mengejar pengakuan semu dengan jargon maha dahsyat tanpa berusaha melihat akar masalahnya. Sesederhana seperti melegalkan balapan liar tanpa berusaha mencari tahu lebih dalam kenapa ada balapan liar.
Ah tapi sudahlah, saya bisa kebablasan curhat panjang lebar soal kota ini. Lebih baik fokus ke pertanyaan: seburuk itukah?
Saya agak sulit untuk objektif dalam menjawab pertanyaan ini. Karena saya lahir dan besar di kota ini, hanya beberapa tahun hidup di kota lain sebelum kembali ke Makassar. Jadi sepertinya akan sangat bias dalam menjawab pertanyaan itu. Jadi percuma saja saya jawab. Sekali lagi, karena saya pasti tidak objektif.
Tapi saya akan jujur mengakui kalau kota ini memang buruk, bila patokannya kemacetan, udara panas, transportasi publik, dan tata kota. Beruntung karena di soal keamanan, kota ini sudah jauh lebih baik dibanding bertahun-tahun lalu ketika begal merajalela. Pantai Losari pun sudah jauh lebih nyaman, jauh dari para pengemis dan tukang palak meski semakin dekat pada bau comberan akibat air laut yang terjebak dan drainase kota yang berujung di sana.
Tapi kalau bicara soal jargon, kota ini nomor satu. Pertama di dunia. Satu-satunya di dunia. Kota lain baru merencanakan, Makassar sudah menuju kota metaverse. Yah, walaupun untuk mengurus KTP yang hilang tetap harus bawa foto kopi Kartu Keluarga.
Setidaknya itu masih bisa kita banggakan sebagai orang Makassar. Sisanya yah, pasrah saja.
Oh iya, kalau menurut index pembangunan manusia (IPM) Makassar ada di urutan 11 di Indonesia. Silakan menerjemahkan sendiri tentang urutan itu ya.
*****
Sebagai orang Makassar, saya harus mengakui kalau saya tinggal di kota ini karena cinta. Cinta itu tidak bisa didebat, atau bahkan sekadar dipertanyakan. Saya sudah pernah melihat tempat yang lebih buruk, dan orang masih bertahan untuk tinggal. Alasannya apalagi kalau bukan karena cinta. Begitu juga dengan saya. Saya mencintai kota ini, meski udaranya tambah panas, macetnya semakin panjang, genangannya semakin sering, dan beragam hal-hal buruk lainnya. Hampir tidak ada alasan untuk meninggalkan Makassar.
Meski katanya kota ini seburuk-buruknya kota untuk jatuh cinta, tapi saya sudah terlanjur jatuh cinta. Bagaimana dong?[dG]
Ternyata pengamatan suami saya soal Makassar tidak jauh beda dengan ini. Hanya saja dia selalu rindu balik ke sana membawa anak dan istrinya sekadar liburan.
Meski panas tetap saja dia bilang kangen bisa di sana minimal 10 hari.
Satu kenangan buruknya yang selalu dia ingat, ketika para pembawa jenazah yang tak sabar dan harus marah-marah ketika jalannya dihalangi, padahal lampu merah. Maunya bersikap biasa saja tidak usah arogan karena toh semua paham itu jenazah yang dibawa.
Meski begitu, dia tak pernah jera mau balik ke sana.
Dari kemarin saya tunggu tanggapan ta’ soal ini tweet hahaha, eh sampe dibikinkan postingan, yuhuuu what a treat.
Kalau panas sih memang okelah, namanya juga kota di pinggir pantai. Cuma betul yang kita bilang, sayangnya nda diimbangi sama taman dan ruang terbuka hijau.
Soal tata kota, pertanyaan na anak-anaka yang selalu berulang, “sebenarnya ada ji kah roadmapnya ini kota mau ke mana?”.
Tranportasi massal jangan mki bahas deh ka ditau mi semua bagaimana wkwkwk.
Saya aminkan paragraf penutup ta’, daeng. Cinta. Tahun keempatku mi merantau ke kotanya orang, dalam hati masih ada harapan untuk pulang dan menua di Makassar.
Kalau panasnya kata teman saya, Makassar itu mataharinya tujuh, terbit bersamaan terbenam satu demi satu….
Sepanas-panasnya tanah kelahiran, di situ tetap terasa nyaman ahahhahaha. Entahlah, pokoknya begitu
Aslina kalau tata kota, ada IMB tapi tdk ada pengawasan pembangunan. Pondasi naik meninggalkan jalanan, menutup akses air ke got, hujan sebentar? Air berkumpul di jalan mereka bingung harus bermuara kemana
Apa alasannya mau tetap tinggal di Makassar? Karena CINTA seperti yg Daeng Ipul bilang.
Apa orang jatuh cinta perlu alasan? Tidak juga, selama cinta itu buta sekalipun masih bisa membedakan antara yg naik motor dengan yang naik mobil pribadi, eh. ?
Kota yang mengajarkanku akan hidup mandiri jauh dri orang tua..kota yang selalu ku rindukan untuk berkunjung..Salam Rindu dari Maluku Kota daeng?
Bantu baca blog kuliner aku ya kak