Kolombia 6: Jetlag!
Perbedaan waktu 12 sampai 13 jam dengan Indonesia memang lumayan membuat saya menemukan kesulitan di hari pertama. Ini yang namanya jetlag. Cerita sebelumnya bisa dibaca di sini.
Pernah nda kalian berada dalam posisi habis begadang semalaman, kurang tidur, tapi kayak belum ngantuk atau malah tidak bisa tidur? Rasanya kayak melayang, lemas, mungkin sedikit pusing. Mau tidur, tapi tidak bisa. Bahkan ngantuk pun tidak. Pernah tidak?
Perasaan itulah yang saya rasakan di hari pertama di Bogota sekitar jam 3 sore waktu Bogota.
Berasa capek, kurang tidur, tapi tidak ngantuk. Berasa agak melayang, berdiri sedikit langsung berasa pusing. Sungguh perasaan yang susah diterangkan.
Pagi Pertama di Bogota
Jam 7 pagi saya masih berusaha untuk tidur. Acara baru akan dimulai jam 12 siang, jadi masih ada waktu. Siapa tahu saya bisa tidur barang 1-2 jam. Saya takut tepar kalau sama sekali tidak tidur atau kurang tidur. Seperti yang saya bilang, semalam saya hanya tidur sekitar 2 jam dan itu tentu saja tidak cukup. Tepar atau sakit di kampung sendiri saja sudah repot, apalagi di kampung yang jauh dari rumah. Jangan sampai ya.
Setelah lama memaksakan diri, akhirnya memang saya bisa tidur. Saya tidak tahu jam berapa saya tertidur, tapi ketika bangun saya lirik jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Mungkin lebih dari sejam saya tertidur. Sudahlah, mudah-mudahan itu cukup. Sekarang waktunya untuk sarapan.
Saya turun ke lantai 1 tempat restoran berada. Sarapan masih tersedia sampai pukul 10 pagi. Ada beragam menu yang sebagian besar saya tidak tahu apa. Saya hanya memilih telur, kentang, dan empanada. Empanada ini makanan adalah roti isi atau pastri panggang atau goreng di banyak negara di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan sebagian Asia Tenggara. Pokoknya daerah yang pernah dijamah oleh orang Spanyol. Di Sulawesi dikenal dengan nama panada. Mungkin masuk lewat Manado yang dekat dengan Filipina yang pernah dijajah Spanyol.
Rasanya sebenarnya lumayan, Bogota juga berada dekat dengan garis khatulistiwa jadi sebagian makanannya memang tidak beda jauh dengan Indonesia. Begitu juga dengan buah-buahannya yang sebagian besar adalah buah tropis. Jadi sebenarnya tidak terlalu masalah di lidah.
Selepas sarapan saya beranjak ke bagian depan hotel untuk merokok. Udara dingin langsung menyergap tubuh. Mungkin lebih tepatnya udara sejuk, walaupun untuk orang pesisir seperti saya lebih ke dingin.
Sambil merokok, saya melihat seorang pemuda duduk merokok juga di sebuah bangku taman agak jauh dari hotel. Jadi di depan hotel ada trotoar yang sangat lebar, mungkin sekitar 10 meter. Sangat menyenangkan untuk berjalan, ditambah beberapa pohon yang berdiri. Pemuda yang saya sebut itu cukup menarik perhatian saya. Rambutnya keriting, di lehernya ada headphone tanpa kabel. Dia berkaos dan bercelana pendek. Dia duduk santai di bangku taman sambil merokok. Entah kenapa saya menebak dia juga datang untuk acara yang sama dengan saya.
Saya memutuskan mendekati dia.
Dia menoleh dan tersenyum ramah ketika saya sudah ada di dekatnya. Saya duduk di sampingnya, sama-sama mengisap rokok dan saya memulai percakapan.
“Are you Colombian?” Tanya saya membuka percakapan.
“No. I am Palestinian, but I lived in Tunisia,” jawabnya. Oh ternyata dia orang Palestina yang tinggal di Tunisia. Menarik.
“How about you?” Dia balas bertanya.
Saya jelaskan bahwa saya dari Indonesia, dan ternyata kami ada di sana untuk kegiatan yang sama. Kami sama-sama peserta. Benar tebakan saya. Pemuda bernama Haitam itu juga peserta kegiatan yang sama dengan saya.
Kami mengobrol cukup lama dengan beragam topik. Dia sangat enak diajak ngobrol dan obrolan kami nyambung. Sama seperti saya, bahasa Inggris juga bukan bahasa utamanya jadi kami bisa bercakap-cakap dalam bahasa Inggris yang tidak cepat.
Kami berpisah setelah lewat jam 10 pagi. Udara terasa makin dingin, dan kami akan bersiap untuk kegiatan hari pertama.
“Kamu Capek Gak?”
Acara dimulai dengan makan siang. Saya salah kostum saudara-saudara. Saya sudah rapi dengan batik lengan panjang yang ditutup jaket tebal. Saya kira acaranya akan sedikit formil dengan nuansa makan siang yang juga formil. Ternyata saya salah. Sebagian besar peserta hanya berkaos oblong dengan jaket dan celana jins. Hanya beberapa yang lebih rapi dengan kemeja dan celana bahan.
Kami awalnya bertemu di ruang meeting, berkenalan satu sama lain. Ada dua peserta yang membagikan perjalanan mereka. Satu dari Taiwan, satu dari Uganda. Rata-rata mereka terbang sekitar 20-an jam dari rumah mereka ke Bogota.
“How about you?” Tanya seseorang kepada saya ketika mereka tahu saya dari Indonesia.
“Yaaah sekitar 37 jam dari Jakarta. Tapi saya tidak tinggal di Jakarta, jadi tambahkan sekitar 6-8 jam lagi termasuk transit dari kampung saya,” jawab saya.
“Wooow! We’ve got the winner here!” Kata si penanya sambil tertawa. Teman-teman yang lain juga tertawa sambil geleng-geleng kepala.
Bukan bermaksud mengadu nasib atau mendang-mending ya, tapi ternyata memang di antara teman-teman yang lain saya yang jarak perjalanannya paling jauh. Makanya mereka sampai geleng-geleng kepala.
“Are you tired?” Tanya salah satu panitia.
“Of course,” jawab saya. “Tapi mungkin karena saya excited jadi saya tidak terlalu capek. Masih bisa saya nikmati,” sambung saya.
Saya melanjutkan, “But, if you ask me to do it again in next 3 or 6 months then I will say ‘let others do it’. Maybe next year,”
Kalau disuruh ulangi 3 atau 6 bulan ke depan, kayaknya gak dulu deh. Orang lain saja dulu, tahun depan bolehlah. Hehehehe.
Beratnya Hari Pertama
Acara dimulai sekitar jam 13:00 waktu Bogota. Perjuangan pun dimulai. Ada rasa mengantuk karena kurang tidur, dicampur rasa capek sisa perjalanan puluhan jam. Tapi mata seperti tidak bisa terpejam. Biasanya rasa ngantuk datang dibarengi dengan mata yang sulit terbuka, tapi ini tidak. Ngantuk, tapi mata tidak berat. Kepala terasa agak ringan, melayang-layang.
Tantangan lainnya, semua materi dibawakan dalam bahasa Inggris yang artinya saya butuh tenaga lebih untuk bisa fokus. Jadilah kepala sudah berat, harus fokus pula. Akhirnya saya mencobat mencatat di buku sebisa mungkin, hanya supaya saya bisa fokus.
Di samping saya seorang pria kulit putih yang juga terbang puluhan jam dari Taiwan. Wajahnya terlihat memerah dengan mata yang terlihat berat.
“How are you?” Tanya saya ketika coffee break tiba.
Dia menggeleng seperti melawan kantuk, lalu menjawab, “I am little bit sleepy. I only have 2 hours sleep last night.”
Oh ternyata kami sama, sama-sama kurang tidur. Di negaranya sudah dini hari, sama seperti saya. Makanya tidak heran kami berdua sama-sama kesulitan melewati hari pertama. Kami sama-sama jetlag.
Saya sampai Googling, mencari tahu cara melawan jetlag. Seorang kawan di Indonesia juga memberi saran lewat chat. Sebuah saran yang sepertinya sangat masuk akal. Toh dia juga sudah punya pengalaman jetlag di negara yang berbeda 12 jam lebih dengan Indonesia.
Akhirnya Bisa Tidur
Kegiatan selesai pukul 17:00 sore. Saya balik ke kamar dan merasakan mata berat, sepertinya saya benar-benar butuh tidur. Segera saya naik ke ranjang dan mumpung ngantuk, jangan dibiarkan lepas. Alhamdulillah saya bisa tertidur sekitar 1 jam lebih. Saya terbangun ketika di luar sudah gelap. Saya cek jam, ternyata sudah jam 6 lebih. Lumayanlah, bisa tidur sedikit dan saya merasa lebih segar. Mumpung masih magrib, jadi saya salat magrib dulu.
Karena sudah malam, saya memutuskan untuk mencari makan malam. Saya keluar, merapatkan jaket dan berjalan ke arah kiri hotel, arah yang belum pernah saya lewati sebelumnya. Angin dan udara dingin benar-benar membuat saya harus merapatkan jaket.
Jalanan sudah sepi, padahal baru jam 7 malam. Sebagian besar toko juga sudah tutup. Hanya ada satu-dua yang buka. Mungkin karena dingin, jadi sebagian besar orang Bogota lebih memilih tinggal di rumah ketika malam daripada berseliweran di jalan.
Saya jalan cukup jauh, mungkin sekitar 1 km. Sebenarnya di jalan yang saya lewati ada beberapa restoran, tapi sepertinya itu semacam restoran yang fancy dengan harga yang cukup mahal. Sayang duitnya, kata saya dalam hati.
Akhirnya saya memilih restoran cepat saji yang minimal sudah saya kenal – walaupun belum pernah saya kunjungi. Namanya Subway. Sebenarnya di depan Subway ada juga pedagang street food yang berjualan burger, tapi untuk saat ini saya memilih Subway saja.
Dengan keterbatasan bahasa, saya berhasil memesan satu menu Subway. Saya tidak tahu apa namanya, pokoknya kayak burger dengan roti, daging, dan sayur. Minumnya Pepsi Cola. Harganya sekitar COP25.000,- atau sekitar Rp.100.000-. Mahal! Hahahaha.
Selepas makan saya berjalan pulang dan mencoba rute berbeda, memutar agak jauh. Sekadar ingin melihat kota Bogota lebih banyak lagi. Menyenangkan karena trotoarnya lebar, bahkan di depan sebuah supermarket bentuknya sudah seperti lapangan. Lebar dan luas. Beberapa orang berlalu-lalang meski tidak terlalu banyak. Saya berhenti cukup lama di lapangan itu, sekadar mengamati orang yang lalu lalang.
Di seberang jalan ada beberapa lelaki membongkar tempat sampah. Mereka ini pemulung yang katanya adalah orang Venezuela. Sejak Venezuela terkena krisis keuangan parah dan resesi ekonomi, banyak dari warga mereka yang menyeberang ke Kolombia dan mencoba peruntungan di sana. Sebagian berhasil bekerja di tempat yang nyaman, tapi banyak juga yang menjadi pemulung dan pengemis.
Saya beberapa kali didatangi pengemis ketika merokok di depan hotel. Mereka biasanya akan memulai dengan menyapa dulu, lalu berceramah panjang-lebar sebelum meminta uang. Saya baru tahu belakangan ketika teman dari Kolombia menjelaskan. Sebelumnya, setiap kali mereka mulai berceramah saya sudah dululan bilang, “Sorry, I can not speak Spanish,” dan mereka akan menjauh.
Sekitar pukul 9 malam saya tiba kembali di hotel. Saya membuka laptop dan mengerjakan beberapa hal. Perbedaan waktu sampai 12-13 jam dengan Indonesia memang jadi kendala untuk bekerja. Indonesia baru siap bekerja, Bogota sudah mau tidur. Sebaliknya, Bogota baru siap bekerja, Indonesia sudah mau tidur. Susah mencari waktu yang pas.
Sambil bekerja saya memutar YouTube di televisi, menonton siaran podcast kesukaan. Sampai tahu-tahu saya menguap. Saya lirik jam, pukul 23 lewat. Wah, tumben ini ngantuk, pikir saya dalam hati. Karena tidak mau melewatkan sensasi ngantuk yang datang, saya meninggalkan pekerjaan, cuci-cuci, sikat gigi dan naik ke ranjang.
Tidak butuh waktu lama saya tertidur. Lelap sekali, hanya sekali bangun untuk buang air kecil. Sampai tahu-tahu alarm berbunyi, pukul 05:30. Wow! Saya sudah sembuh dari jetlag! Hahahaha [dG]
Tulisan berikutnya bisa dibaca di sini.
Saya saja yang cuma beda 5-6 jam jetlagnya bisa 2 hari, bagaimana rasanya jetlag kalau beda waktunya 12 jam ya. Ampungka hahaha
Senangnya blog ini nambah isi lagi. Ditunggu postingan postingan selanjutnya
Deh asli nah hahaha
Daeng, kenapa kita’ tahu pengemis itu ceramah padahal kita’ ndak tahu bahasanya? Pengemis ceramah tentang apa biasanya?
Ndak enak sekali dih hari pertama di negara yang perbedaan waktunya 12-13 jam dari tempat ta’, aslinya mi terbalik jam biologis. Yang biasanya sudah harus tidur malah harus beraktivitas.