Sepuluh Jam di Amsterdam

Sebagai bagian akhir dari perjalan ke Bogota, mampir di Amsterdam dan berdiam di sana selama 10 jam adalah sebuah pengalaman baru.

Sekitar pukul 10:25 pagi waktu Amsterdam, pesawat KLM KL741 mendarat dengan mulus di bandara Schipol Amsterdam. Perjalanan 10 jam dari Bogota dan mampir sebentar di Cartagena baru saja berakhir. Selama penerbangan saya duduk di lorong di deretan tengah. Sengaja memang memilih kursi itu biar nyaman dan bisa bolak-balik toilet tanpa mengganggu penumpang lain.

Sepanjang perjalanan saya kebanyakan tidur. Terima kasih untuk Antimo yang sangat membantu saya untuk bisa tidur dengan nyenyak.

Ditemani Opa dan Oma

Meski tidak senyaman Qatar Airways, pesawat KLM juga bisa dibilang cukup nyaman. Kursinya enak, hiburannya cukup, dan pelayanannya bagus. Meski sebagian besar pramugari dan pramugaranya sudah cukup berumur. Saya agak kaget melihat kalau sebagian besar awak pesawatnya kira-kira sudah di atas 40 atau bahkan 50 tahun. Berbadan besar, tidak seperti pramugari maskapai Indonesia yang ramping dan muda-muda.

Saya bahkan membayangkan mereka-mereka ini sebagai orang VOC yang datang ke Indonesia dan menjajah kita ratusan tahun lalu hahaha.

Tapi meski sudah cukup berumur, mereka lumayan ramah. Lebih ramah dari awak pesawat Iberia yang membawa saya dari Madrid ke Bogota. Awak pesawat Iberia punya standar ramah yang rendah. Mukanya datar, nada bicaranya juga tidak mendayu-dayu. Mereka melayani nyaris tanpa seyum dan basa-basi. Untungnya mereka perempuan latino yang tahu sendirilah bagaimana penampilan mereka yang enak dipandang.

Maskapai KLM
Pesawat KLM punya Belanda

Kembali ke KLM. Awak pesawat yang sudah berumur itu membuat saya bertanya-tanya, apakah memang peminat untuk jadi pramugari-pramugara di Belanda itu kurang? Sampai-sampai awak pesawat yang sudah berumur masih dipekerjakan. Atau, mungkin mereka yang muda-muda ini bekerja di rute yang tidak terlalu panjang dulu atau rute domestik, nanti setelah dianggap cukup umur dan pengalaman baru dipekerjakan di rute yang panjang? Entahlah.

Oh ya, ada yang menarik dari maskapai KLM ini. Awak pesawatnya tidak henti-hentinya mengingatkan kepada penumpang untuk menghormati privasi penumpang lain ketika akan mengambil foto dan video. Harus memastikan orang yang ada di dalam foto atau video tidak keberatan untuk didokumentasikan. Ini kali pertama saya mendengar ada pengumuman seperti itu di atas pesawat.

Ada kejadian lucu. Waktu dari Bogota ke Cartagena, kru pesawat membagikan waffle yang enak pakai banget. Nah, dari Cartagena ke Bogota kembali kru pesawat membagikan sesuatu dalam kemasan. Suasana waktu itu sudah mulai gelap, jadi pandangan saya kurang awas. Kemasan itu saya buka, isinya ternyata benda hangat warna putih dan tergulung rapi. Dalam pikiran saya itu kue, jadi tanpa basa-basi benda itu saya masukkan ke mulut. Hap! Eh, koq tidak ada rasa kuenya? Ternyata, benda itu adalah handuk hangat! Hahahaha. Untung bapak sebelah tidak melihat kelakuan norak saya.

Masuk ke Terminal

Keluar dari pesawat kami diperiksa petugas imigrasi. Saya menyodorkan paspor dan boarding pass yang langsung diperiksa oleh petugas. Cuma diperiksa sejenak sebelum dikembalikan.

Saya berjalan menyusuri lorong bandara lalu masuk ke bandara menuju ruang tunggu. Karena tidak harus keluar dari bandara jadi sama sekali tidak butuh visa. Lagipula saya masih terbang dengan maskapai yang sama ke Indonesia, jadi tidak ada adegan check in ulang. Boarding pass dari Bogota akan terpakai sampai di Indonesia.

Waktu akan melewati x-ray saya berhenti mau mengeluarkan laptop dari tas, seperti standar biasa di bandara. Seorang perempuan petugas bandara berucap, “No. It is okay sir, you can keep it in your bag,” katanya.

Oh, tidak harus dikeluarkan ya. Baiklah mbak.

Saya melewati pemindaian dengan lancar, tidak ada hambatan sama sekali. Dari bagian pemindaian saya berbelok ke kanan lalu turun ke lantai satu. Saat itu saya tidak sendirian tapi bersama Celest, kawan dari Filipina. Kami satu pesawat dari Bogota, tapi akan berpisah di Schipol beberapa jam lagi. Dia berangkat lebih dulu, sementara saya masih akan menunggu sampai 10 jam. Pesawat ke Indonesia baru akan terbang pukul 20:00 waktu Belanda.

Sayang saya tidak punya visa Schengen, jadi saya tidak bisa kemana-mana. Padahal waktu 10 jam harusnya bisa saya pakai jalan-jalan ke kota Amsterdam ya. Apalagi katanya dari bandara ke pusat kota gampang, tinggal naik kereta. Tapi apa mau dikata, tidak ada visa bos! Artinya tidak bisa keluar dari bandara.

Istirahat di Schipol

Turun dari area pemindaian, saya langsung bertemu dengan ruang tunggu bandara Schipol. Sebelah kanan-kiri sudah langsung terlihat area istirahat. Ada kursi-kursi selonjoran yang bisa dipakai untuk istirahat. Beberapa orang malah sudah terlihat tertidur di kursi-kursi itu. Saya dan Celest mencari area istirahat yang masih kosong dan kami berhasil.

Di sebelah kiri tangga ada area istirahat yang masih kosong. Walaupun bukan kursi selonjoran, tapi kursi-kursi seperti sofa yang nyaman. Ada juga meja lebar yang sangat nyaman dipakai bekerja. Di satu bagian bahkan ada piano dan pesan kalau siapa saja yang bisa main piano boleh menggunakan fasilitas itu. Saya sempat melihat penampilan seseorang yang sepertinya penumpang, memainkan lagu klasik di piano itu. Selesai satu lagu, penumpang lain bertepuk tangan.

Ada juga area perpustakaan yang berisi buku-buku yang boleh dibaca di tempat. Pokoknya cukup nyaman walaupun besarnya tidak wah.

Di area istirahat, kami duduk santai di sofa yang empuk. Saya sekalian membuka laptop. Saya mulai menuliskan artikel untuk blog ini sebagai pengingat perjalanan ke Bogota. Sementara Celest duduk santai sambil membaca buku.

Bandara Schipol lumayan ramai. Tidak henti-hentinya orang lalu-lalang. Ada yang santai, ada yang terburu-buru. Jauh lebih ramai dari bandara Madrid yang sebelumnya saya datangi. Mungkin karena Schipol memang salah satu bandara yang jadi gerbang Eropa. Banyak penerbangan dari dan ke berbagai kota di berbagai benua. Bergantian kota-kota di Afrika, Asia, Amerika, dan Australia disebut di pengeras suara. Sebagai bukti kalau Schipol memang jadi gerbang ke berbagai kota di dunia.

Rijks Museum
Rijsk Museum di bandara Schipol yang lebih mirip toko sebenarnya

Bandara Schipol cukup besar, mungkin sama dengan Terminal 3 Soekarno-Hatta walaupun tidak sebesar bandara Doha. Banyak toko dan restoran besar di dalam kawasan bandara, bahkan ada museum juga walaupun lebih mirip toko. Satu-satunya yang tidak ada di Schipol adalah tempat merokok. Dari websitenya dijelaskan bahwa Schipol sangat ketat pada larangan merokok. Bahkan merokok di parkiran pun dilarang. Hiks, setelah perjalanan 10 jam dari Bogota saya ternyata harus lanjut puasa merokok sampai nanti tiba di Indonesia. Lebih dari 20 jam, dan ini rekor baru! Hahahaha.

Menunggu Sambil Belanja

Ketika jam makan siang tiba, saya dan Celest bergantian mencari makanan. Saya duluan. Saya berjalan ke salah satu sudut bandara di dekat terminal F, lalu naik ke lantai dua. Di atas sudah ada beberapa restoran, tapi saya memilih salah satu restoran cepat saji yang sudah terkenal di mana-mana.

Saya masih punya Euro yang saya ambil waktu di Madrid, dan dengan Euro tersisa itu saya membeli makan siang. Masih cukup, tidak perlu ambil ulang. Saya balik ke tempat kami beristirahat, lalu gantian Celest yang keluar beli makan. Tidak butuh waktu lama sebelum makan siang kami selesai.

Perut kenyang, ngantuk pun datang. Apalagi badan rasanya masih ada sisa capek setelah perjalanan 10 jam dari Bogota. Saya tidur selonjoran di sebuah sofa yang nyaman. Dan tanpa terasa tiba-tiba saya sudah “lenyap”. Tidak terlalu lama, tidak sampai sejam. Ketika membuka mata saya lihat Celest juga tidur sambil duduk. Mungkin dia juga seperti saya, kekenyangan dan kecapean.

Kami masih bersama di tempat istirahat itu sampai sekitar pukul 4 sore. Setelahnya kami berpisah, Celest ke terminal tempat pesawatnya akan membawa dia ke Manila. Rencananya dia akan berangkat sekitar jam 6 sore, 2 jam lebih dulu dari saya.

Sepeninggal Celest saya lebih bebas. Bebas mau jalan-jalan ke bagian mana tanpa harus sungkan. Ini alasan kenapa saya lebih sering suka jalan sendiri, tidak harus berkoordinasi dengan orang lain kalau mau jalan-jalan.

Saya berjalan ke arah Terminal F, mendatangi beberapa toko oleh-oleh yang sebelumnya sudah saya incar waktu mencari makan siang. Tadinya saya berniat beli kopi dan roti, sudah masuk juga ke satu toko seperti Indomaret, tapi batal. Ternyata tokonya tidak menerima cash sementara saya belum yakin kartu ATM saya bisa terpakai. Masih ada sisa Euro di kantong, dan itu yang mau saya habiskan. Jadi batal dulu, uangnya saya pakai membeli oleh-oleh saja.

Di salah satu kios kecil saya bertanya duluan, apakah mereka bisa menerima cash atau tidak? Ketika dijawab: bisa, mulailah saya mencari apa yang bisa saya beli. Beberapa tempelan kulkas dan gantungan kunci berpindah tangan dengan halal. Lumayan buat penanda kalau sudah pernah ke Amsterdam, walaupun baru di bandaranya.

Dari kios kecil itu saya berjalan makin ke dalam dan bertemu sebuah toko yang lebih besar. Barang-barangnya sangat menarik, dan saya memutuskan untuk mencoba belanja di sana dengan menggunakan kartu ATM. Uang tunai Euro sudah habis, jadi mau tidak mau harus pakai kartu. Beruntung semua lancar, saya bisa membayar belanjaan pakai kartu ATM Mandiri berlogo Visa.

Karena sekali sudah berhasil, jadi kita lanjut! Hahahaha. Masih dua kali lagi saya berbelanja menggunakan kartu ATM. Ada belanja barang, ada juga belanja kopi dan roti. Tentu tidak lupa aplikasi kalkulator di handphone terus aktif. Jadi setiap ada barang yang mau dibeli, saya pasti melakukan kalkulasi dulu untuk tahu harganya dalam rupiah. Indonesia banget ya?

Akhirnya Mendengar Bahasa Indonesia

Sekitar dua jam sebelum boarding, saya bergerak ke gate F tempat saya akan naik pesawat. Di luar matahari masih terang, saya cek aplikasi Sajda ternyata baru masuk waktu asar. Magrib baru jam 22:00 malam. Saya baru sadar kalau ini lagi musim panas di Eropa, jadi wajar kalau siangnya jadi panjang.

Di ruang tunggu depan gate saya mulai merasa dekat dengan kampung. Beberapa orang di sekitar saya bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia. Sebagian lain bahkan bercakap-cakap dalam bahasa Jawa. Tiba-tiba saya merasa sudah sangat dekat dengan rumah. Memang di ruang tunggu ini ada banyak orang yang wajahnya Indonesia banget. Mereka juga sepertinya sedang bersiap untuk balik ke Indonesia. Sebagian lagi saya dengar percakapan bahasa Melayu. KLM yang akan menuju Cengkareng memang akan mampir satu jam di Kuala Lumpur setelah penerbangan sekitar 12 jam.

Meninggalkan Amsterdam

Sekitar pukul 20:00 waktu Belanda, satu per satu penumpang naik ke pesawat. Termasuk saya. Ada rasa senang sekaligus sedih. Senang karena sebentar lagi akan tiba di tanah air, tapi sekaligus sedih karena perjalanan yang sangat berkesan ini akan segera berakhir. Benar-benar sebuah perjalanan yang berkesan dan pastinya tidak akan mudah saya lupakan. [dG]