VAR; Yey or Ney?
Sejak digunakannya VAR di Russia 2018, akurasi keputusan wasit memang bertambah secara siginifkan. Tapi, di sisi lain humanisme dalam sepakbola jadi berkurang.
HARI ITU PASTI TIDAK AKAN MUDAH dilupakan warga Inggris, utamanya Frank Lampard. Hari itu, tim nasional Inggris menghadapi lawan berat, salah satu musuh bebuyutan mereka di ranah sepakbola; Jerman. Putaran kedua piala dunia Afrika Selatan 2010 baru saja dimulai, 27 Juni 2010 Inggris harus bertemu Jerman.
Pertandingan berjalan 37 menit dan Inggris sudah ketinggalan 1-2. Di menit ke-39, Frank Lampard melepaskan tembakan keras ke gawang Jerman, bola mengenai mistar bagian bawah, memantul ke tanah dan segera direbut Neuer. Lampard bersorak, seisi stadion bergemuruh. Gol itu jadi gol penyeimbang dan jelas akan mengangkat moral pemain Inggris.
Tapi tunggu dulu! Wasit ternyata berpikir berbeda. Lentingan bola itu tidak dianggap sebagai gol. Wasit merebut kegembiraan pemain dan fans Inggris. Padahal di tayangan ulang, jelas-jelas bola sudah melewati garis gawang dan harusnya dihitung sebagai gol. Tapi keputusan wasit tidak bisa diganggu gugat.
Frank Lampard memegang kepalanya tidak percaya. Hasil akhirnya Inggris harus takluk 1-4 dari Jerman. Seandainya saja gol itu tidak dianulir mungkin hasilnya akan berbeda. Mungkin.
Bagi Jerman, kejadian itu ibaratnya pembalasan atas apa yang mereka derita di final Piala Dunia 1966. Gol Geoffrey Hurst sampai sekarang masih jadi misteri. Apakah itu gol? Atau bukan? Jelasnya gol itu jadi salah satu gol dalam skor 4-1 yang memenangkan Inggris di final tersebut.
*****
KESALAHAN-KESALAHAN MANUSIA ITU yang membuat FIFA kemudian berpikir untuk memanfaatkan teknologi, mengeliminir kesalahan manusia. Bagaimana pun wasit juga manusia, punya hati punya rasa, jangan samakan dengan belati. Manusia tempatnya salah, apalagi dalam pertadingan bertekanan tinggi seperti piala dunia.
Empat tahun kemudian di Brazil 2010, teknologi Goal Line Technology disertakan ke lapangan. Sejak saat itu tidak ada lagi keputusan kontroversial seputar bola yang melewati garis gawang. Wasit akan mendapatkan kabar apakah bola sudah melewati garis atau belum.
Bisa dibayangkan bagaimana dongkolnya Lampard ketika tahu teknologi itu sudah diberlakukan.
Tapi campur tangan teknologi tidak berhenti di situ. Empat tahun kemudian di Russia 2018, teknologi lain ikut disertakan. Kali ini namanya Video Assistant Referee atau VAR. Dengan teknologi ini, wasit punya kesempatan untuk mengecek sebuah kejadian lewat rekaman video sebelum memutuskan apakah kejadian tersebut diganjar kartu atau penalti.
Wasit di lapangan sekarang dibantu dengan wasit lain di ruang terpisah yang sepanjang pertandingan memandangi televisi dan alat-alat komunikasi. Televisi tersebut disambungkan ke puluhan kamera di lapangan yang merekam aksi-aksi yang terjadi. Mata mereka pasti sangat awas melihat detik demi detik yang terjadi di lapangan. Lalu ketika dibutuhkan, mereka akan mengirimkan rekaman tersebut ke pinggir lapangan agar wasit bisa menontonnya dan memutuskan sesuatu.
Di Russia 2018 ini, VAR sudah terasa khasiatnya. Dari 16 pertandingan penyisihan grup, sembilan penalti tercipta. Sebagian penalti itu diputuskan setelah wasit menggunakan VAR untuk meninjau kejadian di dalam kotak penalti. Penalti terakhir yang menggunakan VAR adalah penalti Australia ketika menghadapi Denmark 21 Juni kemarin.
Beberapa jam kemudian, VAR beraksi lagi merebut kegembiraan Iran. Gol Iran ke gawang Spanyol dibatalkan wasit setelah melihat VAR. Pemain Iran sudah terperangkap offside walaupun pada saat kejadian, asisten wasit di tepi lapangan tidak mengangkat bendera. Sia-sialah teriakan penuh kegembiraan pendukung Iran dan selebrasi para pemain di lapangan. Rasanya pasti sangat mengecewakan.
*****
FIFA MENGKLAIM PENGGUNAAN VAR ini meningkatkan akurasi wasit hingga 98% dari angka sebelumnya, 92%. Peningkatan yang signifikan dan mendekati sempurna. Ini juga yang jadi alasan kenapa FIFA berkeras menggunakan VAR meski di musim sebelumnya liga seperti Liga Italia sudah lebih dulu mengadopsinya.
Tapi di sisi lain VAR juga dianggap sebagai dementor, pengisap kegembiraan. Coba tanyakan pada penggemar Iran atau Denmark yang merasa dirugikan oleh VAR. Age Hareide, pelatih Denmark bahkan terang-terangan menuduh VAR mengisap sebagian pesona sepakbola.
VAR dengan segala kecanggihannya itu memang menjadikan sepakbola menjadi nyaris sempurna, tapi di sisi lain membuatnya jadi terkesan sangat kaku. Kesalahan-kesalahan humanis yang jadi penyedap dalam sebuah laga sepakbola bertekanan tinggi perlahan jadi hilang. Semua jadi seperti robot, terukur dan rapih.
Sepakbola- apalagi piala dunia – selalu akrab dengan drama. Gol Lampard misalnya, atau gol Geoffrey Hurst atau yang paling fenomenal gol tangan tuhan Diego Maradona. Bagaimanapun, kejadian-kejadian itu adalah kesalahan manusia yang di sisi lain justru membuat piala dunia jadi semakin menarik.
Kritik lainnya soal VAR adalah perihal penentuan kapan wasit akan menggunakan VAR. Menurut aturan, asisten wasit di ruang khusus itu akan mengirim informasi ke wasit di lapangan untuk memberitahukan apakah VAR perlu digunakan atau tidak. Wasit di lapanganlah yang akan menentukan, apakah dia akan menggunakan atau tidak. Berarti penggunaan VAR ini tetap bergantung pada keputusan wasit alias objektifitas pengadil di lapangan.
Dalam pertandingan Portugal vs Maroko, berkali-kali ofisial Maroko meminta wasit menggunakan VAR untuk meninjau sebuah kejadian di lapangan. Tapi permintaan itu tidak dikabulkan.
Selain itu, penggunaan VAR akan menunda pertandingan beberapa jenak. Penundaan ini berakibat pada alur pertandingan yang otomatis akan terhenti. Bayangkan bagaimana tidak enaknya mood yang terpotong tiba-tiba karena wasit harus meninjau VAR. Adrenalin yang sudah terpacu harus diredam dulu sekian lama dan ini bisa berpengaruh pada penampilan selanjutnya. Apalagi waktu yang dibutuhkan wasit untuk menengok VAR tidak sebentar.
Tapi dari semuanya, Iran mungkin yang paling merasa dirugikan oleh VAR. Mereka sudah melakukan selebrasi sekian detik, lalu tiba-tiba harus menunggu dengan harap-harap cemas karena wasit harus menonton rekaman pertandingan sebelum akhirnya kecewa karena gol tersebut dianulir. Biasanya, gol dianulir dalam hitungan detik setelah terjadi, tapi dengan VAR anulir itu tertunda sekian menit. Sekian menit yang tidak mengenakkan.
Suka atau tidak suka, VAR sudah jadi bagian piala dunia. Suka atau tidak suka, teknologi moderen nan canggih akan semakin merasuk ke dalam pertandingan sepakbola. Lama kelamaan sisi humanis yang biasanya jadi bumbu drama akan hilang. Pada saatnya nanti, sepakbola akan jadi pertandingan mesin dengan mesin. Terlalu sempurna.
Jadi, VAR ini yey atau ney? [dG]