Tanpa Belanda dan Italia, piala dunia Russia 2018 jadi piala dunia yang berbeda buat saya.
SAYA MULAI MENIKMATI PIALA DUNIA SEJAK TAHUN 1990. Sebenarnya sudah sejak 1986 saya tahu apa itu piala dunia. Saya kenal nama-nama seperti Burruchaga, Rummanigge, Platini, dan tentu saja sang fenomena (waktu itu) Diego Maradona. Tapi hanya sekadar tahu, tidak pernah benar-benar mengikutinya.
Tapi tahun 1990 beda. Italia menjadi tuan rumah dan saya sudah cukup besar untuk mendapatkan ijin begadang. Italia waktu itu jadi pusat sepakbola dunia, pemain-pemain top bermain di sana dan klub-klub Italia sedang merajai Eropa. Saya jatuh cinta pada AC Milan yang dihuni trio Belanda; Gullit – van Basten – Rijkaard. Karena mereka bertiga juga saya lalu mengidolai Belanda dan tentu saja Italia, negara asal klub tempat mereka bertiga bernaung.
Saya memulai dengan pertandingan pembuka. Terkagum-kagum melihat bagaimana Maradona memainkan bola dengan bahunya ketika pemanasan. Lawannya Kamerun, negeri antah berantah dari belahan dunia lain.
“Pasti menang ini Argentina,” kata saya dalam hati. Sepertinya jutaan orang di dunia juga punya pikiran yang sama.
Tapi akhir pertandingannya beda ternyata. Maradona dan Argentina dikalahkah tim dari negeri antah berantah itu dengan skor 0-1. Kamerun bermain keras, dua pemainnya terpaksa keluar duluan terkena kartu merah. Maradona nyaris tidak pernah bisa berlari dengan tenang. Lari sedikit kakinya kena tebas, menggocek sedikit, tubuhnya terpelanting. Maradona tidak berkutik, Argentina mati kutu.
Selanjutnya saya mulai sering terpaku di depan televisi. Menantikan laga demi laga piala dunia meski tidak semua saya tonton. Ada waktu ketika saya menyerah pada kantuk, atau pada instruksi Ibu yang menyuruh saya tidur. Tapi seingat saya, hampir semua laga saya tonton. Termasuk laga dramatis Belanda vs Jerman Barat, Brasil vs Argentina, Italia vs Argentina dan tentu saja final Jerman Barat vs Argentina.
Sejak saat itu piala dunia jadi ajang yang rasanya haram saya lewatkan.
Sejak saat itu juga saya selalu berusaha untuk tidak melewatkan satupun pertandingan piala dunia. Dan hampir selalu sukses. Paling banyak hanya satu-dua pertandingan yang saya lewatkan ketika ajang ini digelar. Piala dunia benar-benar menarik atensi saya, hingga nyaris saya tidak memikirkan hal lain selain piala dunia ketika ajang ini digelar.
Sepanjang itu juga saya selalu menambatkan kecintaan pada dua tim; Belanda dan Italia. Meski kadang penampilan mereka tidak bagus-bagus amat, bahkan Belanda kadang tidak ikut gelaran final piala dunia. Tapi, kecintaan yang tertanam sejak kecil tidak pernah bisa dihilangkan begitu saja.
Dua negara itu jadi favorit utama, bagaimanapun jeleknya penampilan mereka. Di belakangnya kadang saya juga berganti-ganti jagoan. Ada Rumania dan Swedia di USA 94, Kroasia dan Perancis di France 98, Turki dan Jerman di Korea-Jepang 2002, dan Jerman di 2014. Tapi mereka sekadar “cadangan” saja atau minimal penyempurna biar saya tetap semangat menonton piala dunia.
*****
LALU TIBALAH MIMPI BURUK ITU.
Russia 2018 digelar tanpa kehadiran Belanda dan Italia, dua tim kesayangan saya. Ketegangan piala dunia secara drastis menurun dalam diri saya. Suhunya tidak sepanas piala dunia sebelum-sebelumnya yang saya tonton. Tidak ada rasa ingin tahu lebih banyak untuk mencari berita dan persiapan kedua tim itu. Tidak ada ketegangan menantikan kapan kedua tim itu turun ke lapangan. Semua nyaris datar, bahkan ketika kick off pertama makin mendekat.
Ada atau tidak ada Belanda dan Italia, piala dunia tetap digelar. Russia membuka jalan dengan menempeleng Arab Saudi lima gol tanpa balas. Lalu pertandingan-pertandingan lainnya berturut-turut digelar. Fans Belanda dan Italia seperti saya mau tidak mau harus memilih menambatkan hati pada tim lain agar tidak terlalu sakit hati. Toh, saya bukan warga negara kedua negara itu. Saya hanya pecinta sepakbola yang kebetulan mendukung mereka, jadi saya tidak punya kewajiban untuk meninggalkan piala dunia hanya karena mereka berdua tidak tampil.
Tapi tetap saja ada yang kurang. Ada yang beda.
Apalagi kalau bukan rasa tegang itu, rasa yang membuncah ketika pemain Belanda atau Italia mencetak gol. Perasaan galau ketika harus mencari alasan menghadapi rundungan dari pendukung tim lain ketika kedua tim itu kalah. Sekarang semua datar-datar saja. Saya tidak merasa perlu bersedih atau mencari pembenaran ketika tim sebesar Jerman misalnya, kalah melawan Meksiko. Biasa saja.
Seingat saya baru semalam saya berteriak kencang, ketika Jepang membobol gawang Kolombia untuk kedua kalinya. Meski saya bukan fans Jepang, tapi kedekatan sebagai sesama orang Asia membuat saya mendukung mereka. Apalagi mereka adalah cahaya Asia dan saudara tua kita #halah.
Putaran pertama sudah selesai, hasil-hasilnya sudah kita tahu semua. Tapi buat saya tidak ada yang penting untuk diingat. Hambar saja, lepas seketika setelah peluit ditiup. Tidak untuk dikenang.
Meski begitu saya akan tetap menonton piala dunia sampai habis, sampai partai puncak.
Piala dunia yang beda, tapi mudah-mudahan tetap menarik meski tidak semenarik kalau Belanda atau Italia ikut. [dG
Somehow Messi kebawa beban banget sama Argentina. Ronaldo walaupun punya beban yang kira-kira sama tapi kelihatannya ya kuat-kuat aja. Apakah memang beban sebagai next “Maradona” memang sebuah kutukan.
Di luar itu, handball Kolombia di menit ke 6 memang berkah untuk Jepang. DAI NIPPPON! haha
Piala dunia tahun ini tidak seribut gelaran tahun 2010 lalu, mulai dari kampanyenya, iklan dimana-mana, suara nyaringnya vuvuzela, maskotnya zakumi yang unyu keren, si bola licin jabulani, dan tentunya semangatnya orang africa karena saat itu adalah pertama kalinya benua africa jadi tuan rumah piala dunia. Jujur saya tidak begitu heboh di piala dunia tahun ini. Jangankan tahu jadwalnya, nama-nama negara yang mengisi grup pun tidak kutahu karena kurasa kurang wah. Sekarang saya cuman dukung tim debutan dan tim kuda hitam saja di piala dunia ini soalnya dilihat dari segi penampilan lumayan dan permainannya sukar ditebak. Jagoan tetap islandia yang punya suporter paling ribut dengan clapsnya, Maroko dengan pemain mudanya, senegal yang punya semangat spartan, dan jepang karena saudara paling dekat dengan indonesia.
Waktu semifinal Euro 2000 BELANDA VS ITALIA kita pegang Tim apa?? Saya ITALIA…??