Pilkada dan Anehnya Orang Sulsel
Awalnya saya pesimis, berpikir orang Sulsel akan memilih pemimpin berdasarkan nama besarnya, kekuatan partai dan uang. Eh ternyata, orang Sulsel aneh!
SEJAK 27 JUNI KEMARIN, perasaan senang sekaligus takjub menyusup ke dada saya. Oke, ini kedengarannya lebay, tapi saya serius. Perasaan ini menyusul hasil perhitungan cepat (quick count) hasil pemilihan kepala daerah Sulawesi Selatan. Hasil pemilihan itu yang bikin saya takjub dan senang bersamaan.
Jadi buat yang belum tahu, 27 Juni kemarin Sulawesi Selatan menggelar pemilihan kepala daerah untuk mencari pengganti Syahrul Yasin Limpo yang sudah 10 tahun memimpin Sulsel. Ada empat pasang calon gubernur yang berlaga dalam ajang demokrasi level provinsi ini.
Ada pasangan Nurdin Halid – Aziz Qahar Muzakkar di urutan pertama, lalu pasangan Agus Arifin Nu’mang – Tanribali Lamo di urutan kedua, Nurdin Abdullah – Sudirman Sulaiman di urutan ketiga dan terakhir pasangan Ichsan Yasin Limpo – Andi Muzakkar di urutan keempat.
Dari keempat calon itu, nama Nurdin Halid, Nurdin Abdullah dan Ichsan Yasin Limpo jadi calon kuat. Kuat karena dukungan partai besar, dana dan kinerja mereka di level kabupaten. Kalian pasti kenallah nama Nurdin Halid, bukan? Sudah lama wara-wiri di level nasional dengan kasus hukumnya dan kepemimpinannya di PSSI, tentu membuat namanya tidak asing untuk orang Indonesia. Belum lagi di belakangnya ada partai Golkar yang begitu besar di Sulsel.
Terus dua nama lainnya, Nurdin Abdullah dan Ichsan Yasin Limpo sama-sama pernah menjadi bupati di dua kabupaten. Nurdin Abdullah di Bantaeng dan Ichsan YL di Gowa. Dua-duanya memimpin dalam jangka waktu yang sama; 10 tahun alias dua periode. Itu waktu yang cukup lama untuk menanamkan pengaruh di daerah mereka.
Satu calon lagi yaitu Agus Arifin Nu’mang relatif tidak diperhitungkan dari awal. Mungkin karena muncul belakangan, plus selama ini Agus Arifin Nu’mang “hanya” seorang wakil gubernur yang seolah-olah tenggelam di bawah bayang-bayang Syahrul Yasin Limpo.
Jadi bolehlah dibilang kalau pilkada kali ini adalah pertarungan tiga pasang calon dan satu pasang lagi sebagai pemecah suara.
*****
DENGAN BERAGAM PERTIMBANGAN ITU, awalnya saya memprediksi pasangan Nurdin Halid – Aziz Qahar yang akan menjadi pemenang.
Alasan saya sederhana; kekuatan partai dan uang.
Mereka diusung partai Golkar yang adalah partai terbesar di Sulsel, punya mesin partai yang jejaringnya sungguh luas, plus punya pelumas berupa dana yang nyaris tak berseri. Kekuatan mereka massif, bisa dilihat dari betapa jor-jorannya mereka melakukan sosialisasi. Baik itu lewat materi kampanye cetak, menembus media sampai iklan yang aduhai biayanya.
Tapi, bukankah nama Nurdin Halid pernah buruk karena kasus hukum?
Buat kita mungkin iya, tapi buat orang yang tinggal di pedesaan mungkin itu tidak ada artinya. Mau dia mantan koruptor atau bahkan masih sedang diterungku, asal ada uangnya dan namanya populer orang tidak akan peduli. Terima uangnya, dan coblos gambarnya.
Itu yang ada dalam pikiran saya.
Baca juga: Dua Nurdin Menuju Sulsel 01
Jadi sejak bergulirnya tahapan pilkada Sulsel saya sudah bergumam soal kemenangan pasangan itu. Perih sebenarnya, karena itu artinya sebagai orang Sulsel saya harus siap menjadi korban perundungan nasional. Dirundung orang-orang se Indonesia karena memilih mantan koruptor menjadi gubernur. Ini yang saya takutkan.
Tapi, saya berusaha relistis melihat kenyataan di lapangan selama ini. Uang di atas segalanya! Plus di belakang Nurdin Halid ada pak ustad Aziz Qahar yang tentu juga punya basis massa besar. Seorang ustad yang buat provinsi yang masih lumayan relijius seperti Sulsel tentu masih sangat dipandang dan didengar suaranya.
Jadilah saya dengan suara lemah kerap berucap; menang ini nanti NH. Pokoknya sudah menyiapkan batin untuk jadi korban rundungan nasional.
Di sisi lain saya juga melihat akselerasi kampanye pasangan Nurdin Abdullah – Sudirman Sulaiman seperti loyo. Adem ayem, kata orang Jawa. Tidak terlihat agresif dan jor-joran. Kalah jauhlah dengan agresivitas pasangan Nurdin Halid atau bahkan Ichsan Yasin Limpo.
Padahal, dua pasang itu yang sangat saya hindari untuk menjadi pemenang. Kalau Nurdin Halid tidak usah ditanya kenapa, kalian pasti tahu alasannya. Sementara Ichsan Yasin Limpo, sebagai orang Gowa saya sedikit banyak tahulah kapasitasnya selama menjadi bupati. Tidak cukup untuk menunjukkan kalau dia bisa jadi gubernur yang baik. Jauh di bawah kapasitas kakaknya, Syahrul Yasin Limpo. Lagipula, setelah 10 tahun di bawah klan Yasin Limpo, saatnya Sulsel bebas dan mencari calon lain yang tidak datang dari klan tersebut.
Baca juga: Jalan Berat pak Prof di Atas Banteng
Jadi pilihan saya sebenarnya antara Nurdin Abdullah atau Agus Arifin Nu’mang. Cuma ya begitulah, melihat realitas di lapangan selama ini saya agak ragu salah satu dari dua calon itu menjadi pemenang.
*****
EH TAPI TERNYATA SAYA BENAR-BENAR hanya pengamat politik abal-abal sodara-sodara!
Beberapa jam setelah waktu pencoblosan berakhir, satu per satu lembaga survey besar nasional merilis hasil hitung cepat mereka. Hasilnya sungguh di luar dugaan saya! Pasangan Nurdin Abdullah – Sudirman Sulaiman menjadi jawara dengan perolehan suara 40% lebih. Mulai dari LSI, SMRC, Indo Barometer dan Indikator semua kompak menempatkan pasangan itu sebagai pemenang pilkada Sulsel versi hitung cepat dengan prosentase 40% lebih.
Sungguh luar biasa!
Hasil ini memang belum final, masih menunggu penetapan dari KPU di awal Juli nanti. Tapi setidaknya ini pertanda baik, karena jarang sekali ada hasil hitung cepat yang berbeda jauh dengan hasil penetapan KPU. Apalagi selisihnya tidak sedikit, nyaris 20an %.
Kenyataan ini yang membuat saya begitu kagum pada masyarakat Sulsel yang sebelumnya sudah saya pandang enteng.
Orang Sulsel ternyata bisa memilih dengan rasional, tidak sekadar berlandaskan pada mesin partai, nama besar dan uang semata. Kalau dasarnya tiga itu maka tentu saja Nurdin Halid yang akan jadi pemenang. Dia kurang apa coba? Namanya terkenal, partainya besar, uangnya banyak. Soal dia pernah jadi pesakitan di depan hukum, itu kan masa lalu yang bisa ditutupi dengan banyak hal lain.
Tapi ternyata orang Sulsel tidak senaif itu. Orang Sulsel cerdas untuk memilih pemimpin berdasarkan kapasitas personal. Memang Nurdin Abdullah bukan pemimpin tanpa cela, dia tidak sempurna dan pasti ada kekurangan. Tapi, buat saya dia adalah the best of the worst. Jauh lebih mending daripada calon lain. Hal itu juga yang mungkin dilihat oleh warga Sulsel lain yang kemudian menjatuhan pilihan kepada beliau.
Kata teman saya; warga Sulsel lolos tes kecerdasan. Hahahaha benar juga, kata saya dalam hati.
Di waktu yang sama, di Tulungagung seorang tersangka KPK malah unggul telak dalam pilkada. Sungguh sebuah ironi bukan?
*****
SELAIN PILGUB YANG HASILNYA DI LUAR DUGAAN saya itu, ada satu pilkada di Sulsel lagi yang membuat saya kagum. Tepatnya pilkada kabupaten Sidrap.
Saya sebenarnya tidak mengikuti perkembangan pilkada ini, jadi saya hanya tahu sedikit. Saya hanya tahu kalau istri bupati Sidrap dua periode maju untuk menggantikan suaminya. Semacam pindah tongkat estafet lah ya. Lawannya adalah wakil bupati yang oleh pendukung si istri bupati dijuluki “Pak Tua”.
Dua periode menjadi bupati dengan harta pribadi yang melimpah adalah modal besar untuk mendorong istrinya menjadi penggantinya. Kalau berpikir dengan “pikiran Indonesia” harusnya si istri bupati menang dong. Kejadian seperti ini sudah beberapa kali terjadi di Indonesia, bukan? Istri atau anak petahana maju menggantikan menjadi pejabat daerah. Misalnya saja di Bantul, ketika istri bupati sebelumnya naik menggantikan suaminya. Atau di Kendari, ketika anak walikota sebelumnya naik menggantikan bapaknya.
Tapi sekali lagi Sulsel memang aneh.
Hasil pilkada Sidrap ini berbeda dari “biasanya”. Istri petahana ternyata keok! Minimal sejauh ini menurut perhitungan cepat selepas pilkada. Pasangan Dollah Mando – Mahmud Yusuf menang dengan angka 60,35% atas pasangan Fatmawati Rusdi – Abdul Majid yang hanya mampu meraih angka 39,65%. Lumayan jauh, bukan?
Okelah ini belum final, tapi sekali lagi ini adalah indikasi baik bagi pasangan Dollah Mando – Mahmud Yusuf. Sekaligus juga indikasi baik bahwa tidak selamanya kekuasaan dan uang bisa membeli suara rakyat.
*****
DUA BUKTI DI ATAS BUAT SAYA sungguh menggembirakan karena memberi indikasi adanya kedewasaan berpolitik di Suawesi Selatan. Pemilih tak lagi terpaku pada nama besar partai, popularitas semu dan uang, tapi mampu menggunakan akal sehatnya dalam menentukan pilihan.
Mungkin ini kesimpulan yang terburu-buru dan tidak patut dipercaya, mengingat saya adalah pengamat politik abal-abal yang justru salah memprediksi dari awal. Tapi, tolong biarkan saya berasumsi seperti itu sampai ada bukti yang membantahnya.
Untuk saat ini saya bangga menjadi orang Sulsel yang bisa dibilang “orang aneh”. Hahahaha [dG]
NB: kenapa saya tidak membahas soal pilkada kota Makassar yang berdasarkan hasil perhitungan cepat memenangkan kolom kosong? Karena oh karena….
saya juga punya perasaan yang sama #eh
wkwkwkwk maksudku ya sama ki dumba2ta soal pilgub kemarin
adrenalin terpacu pas liat quick count yang begitu cemerlang dan berkualitasssss
ahahahahahah membuktikan kalau sulsel memang anehhhhhhh anehhhhhhh kerennn!!!
bangga ka!
hahaha toss!
Kalo saya dari awal memang sudah memprediksi Nurdin Abdullah menang. Ada banyak alasan yg melatarbelakangi ditambah progress sosialisasi paslon 2 bulan menjelang pemilihan menunjukkan pertumbuhan yg positif.
oh mungkin karena 6 bulan ini saya di luar Makassar, makanya nda pernah tahu perkembangan
jadi kesannya adem ayem saja
Yudi Ikut Bahagia Daeng.. paling tidak di pemilu presiden kedepannya akan menjadi semakin menarik
hahaha ini menarik karena konteksnya sangat lokal
kalau pilpres kan konteknya terlalu nasional
ini orang Sulsel aneh teriak aneh :p
ga bisa komen apa-apa daeng, saya ga suka politik jadi cukup nyimak artikelnya aja.
semoga di pemilu presiden 2019 mendatang, daeng udah pulang ke Makassar ya jadi bisa ikutan milih hihi
hahaha amin yaaa