Demi Kepentingan Sendiri


Kadang-kadang ada juga orang yang lebih memikirkan diri mereka, asal urusan mereka lancar peduli setan dengan urusan orang lain. Bahkan mungkin dia malah mempersulit orang lain.


Di samping masjid ada jalan kecil buat jamaah. Biasanya di sekitar situ juga ada banyak orang yang memarkir motornya, utamanya ketika jumatan tiba. Karena beberapa motor yang terparkir mengganggu jalan jamaah maka pengurus masjid memasang tanda larangan parkir di depan jalan kecil itu, supaya jalur jalan jamaan tidak terganggu.

Siang itu, sebuah motor Nmax berhenti di depan jalan kecil itu. Posisi ban depannya menutup setengah jalur pejalan kaki itu. Seorang bapak turun dengan santainya sambil melepas jaket. Sepertinya dia juga jamaah yang akan ikut solat jumat.

“Pak, jangan parkir di situ. Menutup jalan,” kata seorang satpam perumahan yang bertugas di dekat masjid.

Saya tidak mendengar jawaban si bapak karena saya terus berjalan ke arah masjid. Saya sudah melewati jalan kecil itu, si bapak dan motornya ada di belakang saya. Saya hanya sempat menoleh dan melihat posisi motor itu memang menutup jalan kecil menuju masjid.

Jumatan selesai. Ratusan orang bubar jumatan bersamaan. Sebagian keluar lewat jalan utama di depan, sebagian lagi lewat jalan kecil di samping masjid, termasuk saya. Saya jalan sambil mengobrol dengan seorang bapak tetangga ketika sadar kalau motor itu ada di sana, menutupi jalan keluar jamaah di samping masjid.

Motor itu jelas menghambat jalan jamaah yang bubar jumatan. Posisinya membuat alur perjalanan jamaah jadi terhambat, akibatnya jamaah menumpuk di jalan kecil itu. Si pemilik motor ada di sana, memasang jaket sambil mengobrol dengan seorang sales motor yang memang biasa membagikan brosur kepada jamaah jumat yang baru bubar.

“Pak, minta tolong lain kali motornya jangan diparkir di sini. Menghalangi jalan jamaah,” kata bapak tetangga yang jalan bersama saya.

“Oh iya pak. Maaf,” si pemilik motor menjawab.

“Padahal tadi sudah dikasih tahu sama satpam jangan parkir di sini,” kali ini saya yang ngomong.

“Ah tidak ada pak, mungkin bukan saya,” si pemilik motor menyangkal. Dia lelaki mungkin berusia 50an awal. Badannya agak gempal.

“Halah,” saya mendengus kesal sambil menjauh. Saya yakin dia yang ditegur satpam tadi. Motornya sama, jaketnya sama. Bisa-bisanya dia menyangkal.

*****

Dalam bayangan saya, meskipun tidak ditegur satpam dia harusnya bisa menggunakan nalarnya. Sudah jelas itu jalan kecil, jalur jamaah. Kalau memarkir motor di situ pasti alur jalan jamaah pasti terganggu, merugikan orang banyak. Di situ juga sudah ada tanda larangan parkir. Masak iya dia tidak bisa membaca?

Sebenarnya tidak butuh kemampuan membaca untuk bisa berpikir kalau parkirnya bisa menghambat alur jalan orang lain. Hanya butuh empati dan nalar. Tapi mungkin dua itu yang dia tidak punya.

Bukan hal yang aneh sebenarnya kalau banyak orang seperti si bapak itu. Orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan alpa memikirkan orang lain.

“Yang penting saya bisa parkir enak, tidak perlu jalan jauh. Persetan dengan orang lain,”

Maka dengan tebal muka dan empati yang wafat, dia seenaknya memarkir motor di situ. Tidak peduli nanti orang akan terhambat jalannya, yang penting dia nyaman dan kepentingannya terpenuhi.

Saya membayangkan betapa bahayanya bila orang seperti dia diberi kekuasaan. Tentu dia hanya akan berpikir sebatas keinginan dan kemauannya, tidak peduli orang lain akan susah atau bahkan menderita.

Ada satu pesan yang selalu saya ingat dan berusaha untuk selalu saya terapkan, yaitu: permudah urusan orang maka Allah akan memudahkan urusanmu. Dalam banyak hal saya berusaha mengingat pesan itu. Paling sederhana misalnya ketika parkir. Saya selalu memikirkan orang yang parkir duluan di depan saya, apakah dia akan terhambat? Apakah dia bisa keluar dengan nyaman kalau misalnya dia akan keluar duluan? Jangan sampai mereka malah kesusahan ketika harus keluar tapi kendaraan saya malah menutupi jalur mereka.

Atau hal lain. Beberapa tahun belakangan ini saya sedang sering menerima permintaan wawancara atau pengumpulan data dari mahasiswa yang melakukan penelitian atau tugas akhir. Sebisa mungkin saya akan membantu melancarkan proses itu. Asal kebutuhan administrasi dengan tempat saya bekerja sudah selesai, saya akan dengan senang hati membantu mereka agar urusan mereka lancar jaya. Pikiran saya sederhana, saya punya anak yang sebentar lagi juga akan membuat tugas akhir. Kalau saya melancarkan urusan anak orang, Insya Allah urusan anak saya juga akan dilancarkan orang lain.

Buat saya, melancarkan urusan orang itu harga mati. Mungkin saya termasuk people pleaser. Entahlah, tapi saya merasa nyaman dengan memikirkan bagaimana orang lain bisa beraktivitas dengan nyaman atau urusan mereka tidak terhambat. Soal nanti urusan saya juga dilancarkan, itu bonus. [dG]