Sudah Bisa Bahasa Papua?

Bagaimana mungkin saya bisa berbahasa Papua, kalau di pulau ini ada 250an bahasa. Lalu bagaimana menjawab pertanyaan; sudah bisa bahasa Papua?


Bahasa Mee dalam sebuah petunjuk di Paniai

ā€œJADI MAS IPUL UDAH BISA BAHASA PAPUA?ā€ Tanya seorang teman ketika kami bertemu akhir tahun lalu. Pertanyaannya itu muncul setelah saya bercerita kalau hampir sepanjang 2018 saya menetap di Papua. Mungkin pertanyaan itu basa-basi saja, mungkin juga tidak. Tapi saya yakin ada banyak orang yang mungkin saja akan bertanya seperti itu ketika tahu saya tinggal cukup lama di Papua.

Sudah bisa bahasa Papua?

Terus terang pertanyaan ini sulit saya jawab. Dulu saya juga mengira kalau orang Papua itu punya satu bahasa daerah yang umum dipakai di mana-mana. Atau mungkin paling tidak ada dua atau tiga bahasa daerah yang dipakai dalam jumlah besar. Semacam orang di Sulsel lah, ada yang berbahasa Bugis, bahasa Makassar dan Toraja.

Tapi ternyata saya salah. Di Papua ada begitu banyak bahasa daerah. Menurut beberapa catatan, di Papua (termasuk Papua Barat) ada sekitar 270 bahasa daerah. Bayangkan, 270 bahasa daerah! Berarti hampir setengah bahasa daerah di Indonesia ada di Papua. Jangankan beda kabupaten, beda kampung dan diselingi sungai saja bahasanya sudah beda. Jadi, wajar dong kalau saya bingung ketika ditanya: sudah bisa bahasa Papua?

Bahasa yang mana coba? Ha-ha-ha.


Peta bahasa di Papua (Wikipedia)

Bahasa-bahasa daerah itu kebanyakan sangat berbeda satu sama lain meski sebagian juga ada yang sama, hanya beda di beberapa detail dan logat. Misalnya bahasa Lani dan Dani. Menurut salah seorang warga Lani yang saya tanya, bahasa mereka hampir sama dengan bahasa Dani, cuma ada sedikit perbedaan saja termasuk dialeknya. Tapi buat saya, bahasa mereka terdengar sama. Kedengarannya seperti bahasa Prancis atau Arab. Kedengaran seperti muncul dari tenggorokan yang agak dalam.

*****

NAH, BAYANGKAN BAGAIMANA 270AN bahasa itu saling berkomunikasi satu sama lain? Bukankah mereka tidak saling mengerti dengan bahasa yang berbeda itu? Jawabannya tentu saja bahasa Indonesia. Yak, beruntungnya karena ada bahasa Indonesia yang jadi bahasa persatuan dan dipakai agar semua orang bisa saling memahami satu sama lain. Bedanya, bahasa Indonesia yang dipakai di Papua punya logat, dialek dan partikelnya sendiri. Sepintas mirip bahasa Melayu Maluku atau Timor.

Menurut Agustinus Wibowo di sebuah tulisannya, kemiripan ini muncul karena dulunya pemerintah Belanda yang pusing karena saking banyaknya bahasa di Papua, akhirnya mendatangkan pengajar bahasa Melayu dari Ambon dan Kei. Merekalah yang mengajar orang-orang Papua berbahasa Melayu yang mereka pakai hingga saat ini.

Walhasil, orang Papua berbahasa Melayu (sekarang disebut bahasa Indonesia) dengan dialek atau gaya yang hampir sama dengan gaya bahasa orang Maluku. Tentu dengan berbagai perbedaan mendasar. Misalnya, pada penyebutan orang pertama. Orang Maluku menggunakan kata ā€œbetaā€ sementara orang Papua menggunakan ā€œsaā€ ā€“ kependekan dari saya. Untuk orang kedua, orang Papua umumnya menggunakan ā€œkoā€ atau di beberapa tempat menjadi ā€œkamā€. Beda dengan orang Maluku yang menggunakan ā€œoseā€ atau ā€œaleā€ sebagai pengganti orang kedua.

Uniknya, orang Papua juga rajin sekali menyingkat kata. Misalnya pada kalimat; ko pi mana? Kalimat itu tidak ada hubungannya dengan kopi. Kalimat itu berarti; kamu pergi ke mana? Terus, anggaplah jawabannya adalah: sa pi makan dulu. Jangan dikira jawaban itu ada hubungannya dengan sapi. Jawaban itu artinya: saya pergi makan dulu. Unik kan? Ditanya kopi, jawabnya sapi. He-he-he.

Nah, kebiasaan menyingkat kata ini bagi sebagian pendatang ā€“ khususnya dari bagian barat Indonesia ā€“ akan sedikit kesulitan. Buat orang-orang dari timur mungkin memang tidak terlalu memusingkan, karena toh orang-orang timur memang terbiasa menyingkat kata.

Ciri khas lain dalam bahasa Melayu Papua yang paling sering ditemui adalah kata ā€œtraā€ yang artinya sama dengan ā€œtidakā€. Penggunaannya misalnya sebagai berikut; ah, sa tra tau de su datang kah belum? (saya tidak tahu, dia sudah datang atau belum?). Di kota Jayapura, saya sering menemukan orang yang menggunakan kata ā€œtaraā€ sebagai pengganti kata ā€œtidakā€. Kemungkinan kata ā€œtraā€ adalah bentuk singkat dari kata ā€œtaraā€.

Ternyata kota Jayapura cukup mengejutkan buat saya. Baca alasannya di sini.

Meski semua orang Papua menggunakan bahasa Melayu Papua sebagai bahasa persatuan, tapi saya melihat ada perbedaan antara orang pesisir dan orang gunung dalam berbahasa Melayu Papua. Orang gunung tidak terbiasa menggunakan istilah seperti ā€œkitongā€atau ā€œkitorangā€sebagai pengganti orang kedua jamak. Paling mereka hanya menggunakan ā€œtongā€ sebagai pengganti orang kedua jamak.

Di sisi kecepatan pun terasa sekali bedanya antara orang gunung yang jarang turun ke pesisir dengan orang pesisir yang memang lahir besar di pesisir. Orang gunung relatif pelan ketika berbicara, beda dengan orang pesisir yang kalau berbicara cepat sekali. Itu bisa jadi karena orang gunung lebih terbiasa hidup dengan sesamanya yang berbahasa sama, sehingga kemampuan bahasa Melayu mereka pun kurang bagus. Berbeda dengan orang pesisir yang terbiasa dengan lingkungan yang heterogen sehingga terbiasa harus berbahasa Melayu. Akibatnya, mereka tidak butuh lama untuk memproses apa yang mau diucapkannya.

Ada beberapa logika bahasa Melayu Papua yang agak menggelikan buat saya. Misalnya, suatu hari tetangga kos yang orang Papua bertanya kepada saya, ā€œMas dari mana? Lama tra kentara.ā€ Tiba-tiba saya merasa seperti Casper yang kadang tubuhnya tembus pandang dan tidak kentara. Ha-ha-ha. Atau perbedaan orang Paniai mengartikan kata ā€œbeliauā€. Bagi mereka, kata ā€œbeliauā€ sama dengan kata ā€œAndaā€. Jadi tidak heran dong kalau saya sempat bingung ketika ditanya, ā€œBeliau sampai kapan di sini?ā€ Karena setahu saya, kami sedang tidak membicarakan orang lain. Ha-ha-ha.

Baca juga bagaimana uniknya karakter orang Paniai di sini

Semakin lama bergaul dengan orang Papua, saya semakin suka mendengar mereka berbicara. Menyenangkan mendengar mereka berbicara dalam bahasa Melayu Papua, lengkap dengan ungkapan atau istilah lokal. Benar-benar sebuah bukti kekayaan Indonesia. Sebenarnya saya ingin sekali bisa berbahasa daerah salah satu suku di Papua, tapi sayangnya itu agak sulit karena saya justru hidup di lingkungan heterogen yang tidak berbahasa daerah. Tapi setidaknya saya bisa sedikit berbahasa daerah Mee, suku mayoritas di Paniai. Tapi cuma sedikit, tidak sampai 10 kata ha-ha-ha.

Nah, sebagai penutup saya kasih salah satu mop Papua yang dengan bahasa dan gaya khas Melayu Papua. Kira-kira kalian mengerti kah tidak e? [dG]

Satu kali Yaklep meter su kandas miras pu kerja jadi. De duduk di muka kompleks kah ini. Tralama Mince de lewat. Yaklep ko angkat.
Yaklep: “Ade, ko stop pake baju tali satu itu sudaah, apa lagi ko pake celana pendek ramas panta tuu… Bikin kakak traa tahan eee..”
Mince: “Ahh iyo kah kakaa?? Tra tahan knapa jadi, napsu naek di otak kaa??” (mince senyum).
Yaklep ko jawab: “Ahh tradaa, kaka traa tahan skali nii, traa tahan mo pake juga…”
Yaklep de gila kah apa..