Mengenal Sepintas Karakter Orang Paniai

Wajah keras dan tatapan tajam, khas orang Paniai

Agak berbeda dengan orang Lanny Jaya, orang Paniai relatif lebih keras dan kritis. Mereka tidak akan langsung menebarkan senyum ketika bertemu. Butuh waktu untuk mengenal mereka.


“KALAU MEMANG CUMA DUA BULAN, lebih baik tidak usah saja!” Kalimat itu dilontarkan seorang pria bernama Martinus. Nadanya agak tinggi, seperti kesal. Pria itu tidak terlalu tinggi namun badannya kekar, lengannya yang keras terlihat jelas karena dia hanya menggunakan rompi. Wajahnya dipenuhi brewok, kepalanya ditutup kupluk dengan asesoris taring babi di atasnya.

Pagi itu saya sedang berada di dalam sebuah bangunan kelas di sebuah kampung bernama Kugapa, distrik Bibida, Kabupaten Paniai. Distrik ini kira-kira berjarak 15an km dari kota Enarotali, ibukota Kabupaten Paniai. Bersama tim dari BaKTI, kami mendampingi para peserta pelatihan untuk melakukan praktik lapangan, presentasi di depan warga.

Ada puluhan warga yang memadati ruangan. Dua kelas yang disatukan berukuran total kira-kira 6×12 m berlantai papan disulap jadi ruang pertemuan. Bagian depan diisi ibu-ibu, sebagian membawa anak balita dan bahkan anak bayi mereka. Sisanya di bagian belakang diisi para lelaki, baik yang masih muda maupun yang sudah tua.

Para peserta berdiri di depan, mempraktikkan ilmu yang sudah mereka dapat sejak dua hari sebelumnya, bercerita tentang program yang akan dilaksanakan. Satu sesi pemaparan selalu diakhiri dengan sesi tanya jawab. Di sesi tanya jawab inilah, pria bernama Martinus itu menumpahkan kekesalannya.

Martinus hanya satu dari beberapa penanya, sebagian besar adalah laki-laki. Pertanyaan mereka seputar pelaksanaan program, dari hal teknis sampai hal-hal lain yang berkaitan dengan program tersebut. Pertanyaan mereka saya anggap sangat kritis, tajam dan tidak sekadar bertanya. Sebagian disampaikan dengan nada tinggi, nada yang buat orang yang tidak biasa akan dianggap sebagai ancaman atau gertakan.

Tapi sebenarnya tidak.

Orang Paniai dari yang saya tahu memang punya karakter yang keras. Keras dan kritis. Dari beberapa kesempatan ke Paniai, saya bisa merasakan sendiri bagaimana mereka adalah orang-orang yang tidak segan untuk bertanya ketika mereka merasa ada yang tidak beres atau ada yang mengganjal. Ditambah dengan nada yang tinggi atau suara yang berat, kita bisa merasakan bagaimana kerasnya karakter mereka.

Tanda kerasnya orang Paniai sangat bisa dirasakan di pasar Enarotali, ibukota Paniai. Pasar ini selalu sesak oleh manusia mulai pagi sekira pukul enam. Ratusan orang dari berbagai daerah sekitar Enarotali akan tumpah ruah di pasar yang tak seberapa besar ini. Jalanan yang hampir semuanya becek dan berlumpur akan penuh dengan manusia, menyulitkan kendaraan untuk melintas.

Di sisi kanan dan kiri, mama-mama Papua menggelar dagangan mereka di tanah beralaskan kain atau karung. Ada ubi, petatas, sayur, ikan air tawar dan udang serta hasil bumi lainnya. Mereka menggelar dagangan di depan kios-kios milik pendatang, kios yang umumnya berisi sembako, daging, toko kelontong sampai bahan bangunan dan alat pertukangan.

Pasar Enarotali sebelum benar-benar ramai

Melintasi pasar Enarotali di waktu puncak keramaian berarti kita akan bertemu dengan wajah-wajah keras mereka yang berkumpul di pasar itu. Utamanya para lelaki di sana.

Kontur wajah yang tegas dengan tulang pipi yang tinggi, wajah penuh dengan brewok, tatapan tajam dan kulit yang legam. Terasa agak mengintimidasi, apalagi terkadang tatapan itu seperti tatapan curiga, khususnya pada para pendatang baru yang bisa dengan cepat teridentifikasi dari cara berpakaiannya.

Ah saya hampir lupa. Cara berpakaian para lelaki Paniai di pasar Enarotali itu sebenarnya sangat menawan. Mereka terlihat sangat modis dengan jaket tebal, kupluk atau topi yang menutupi kepala, celana pendek dan kadang sepatu semi boot atau sandal gunung. Beberapa lelaki menutup kepala mereka dengan hoodie dari jaket yang mereka kenakan. Terlihat sangat serasi dengan wajah keras mereka. Sangat berkarakter dan sangat macho, menurut saya. Mbak Febi, salah seorang teman seperjalanan – malah menggambarkan suasana pasar Enarotali itu sebagai daerah Bronx di Amerika sana.

*****

“PAPUA ITU MEMANG HARUS MERDEKA!” Kata Yosep Zonggonau, kepala suku Moni dari distrik Bibida sambil mengisap dalam-dalam rokok kreteknya di suatu pagi yang sejuk di kota Madi, salah satu kota terbesar di Kabupaten Paniai.

Saya agak terkesiap dan canggung mendengar ucapannya itu. Kami sedang bercengkerama di depan kantor Bappeda Paniai, sebelum acara dimulai. Saya canggung karena saya hadir di acara itu sebagai mitra pemerintah, utamanya pemerintah Provinsi Papua. Obrolan tentang “Papua merdeka” menurut saya bukan obrolan yang tepat untuk acara seperti itu. Meski itu dilontarkan di luar acara, tetap saja saya merasa canggung.

Untung saja, pak Yosep yang berbadan tegap di usia yang sudah tidak muda itu melanjutkan. “Tapi, merdeka dari diri sendiri dulu. Merdeka dari kebodohan, kekurangan gizi. Orang Papua harus bisa mengatur hidup sendiri dulu. Kalau merdeka dalam bentuk negara itu gampang, bisa nanti saja,” pungkasnya sebelum kembali mengisap dalam-dalam rokok kreteknya.

Saya menghela napas. Ah, ternyata tidak seburuk yang saya bayangkan. Malah, kalimat dari pak Yosep itu terdengar menyejukkan.

Merdeka dari kebodohan.

Pak Yosep yang jadi salah satu peserta pelatihan adalah sosok yang menonjol. Tubuhnya gempal dan tegap, tidak terlalu tinggi. Saya taksir mungkin tingginya hanya kira-kira 160 cm. Usianya mungkin lebih 60 tahun, guratan dan keriput menghiasi wajahnya. Sebagian rambutnya yang keriting dan selalu ditutupi topi sudah nampak beruban. Suaranya dalam dan berat, aura penuh wibawa langsung terasa setiap kali suaranya bergema.

pak Yosep Zonggonau, sang kepala suku Moni dari Bibida

Ketika berada di dalam ruangan kelas bersama puluhan warga, pak Yosep menunjukkan wibawanya. Ada momen ketika suasana mulai tidak terkendali. Para pria yang duduk di bagian belakang mulai ribut, mereka kasak-kusuk satu sama lain dalam bahasa Moni yang tidak saya mengerti. Ketika suasana semakin kacau dan seperti mulai sulit dikendalikan, pak Yosep maju dan angkat suara dalam bahasa Moni.

Entah apa yang diucapkannya, tapi dengan suara yang berat, dalam dan besar serta gerakan tangan yang tegas dengan telunjuk mengarah ke kerumunan, pak Yosep dapat menenangkan suasana. Para lelaki yang tadi sibuk kasak-kusuk itu langsung terdiam. Tak berani lagi bersuara.

Seperti umumnya semua daerah di Papua, peran kepala suku masih sangat dihargai. Orang-orang seperti pak Yosep masih sangat didengarkan. Baik dalam mengambil keputusan-keputusan penting, maupun untuk sekadar urusan sehari-hari dalam lingkup komunitas mereka. Bersama pemuka agama, kepala suku menempati posisi lebih penting daripada pejabat negara. Bahkan terkadang pejabat negara harus meminta bantuan dua elemen itu agar bisa didengar oleh warga.

Soal kehidupan komunitas, orang Paniai juga punya tradisi komunal yang kuat. Sama rata, sama rasa adalah prinsip yang dipegang teguh dalam sebuah komunitas, utamanya yang berasal dari marga yang sama.

Sebuah rumah honai biasanya diisi oleh lebih dari satu keluarga, bisa dua-tiga atau bahkan lebih. Semua kepala keluarga yang tinggal dalam rumah tersebut punya kewajiban yang sama untuk memastikan semua penghuni rumah bisa makan dan memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Misalnya, salah seorang dari penghuni rumah itu punya rejeki berbentuk uang, dia akan membagikan secara rata uang itu kepada seluruh penghuni rumah. Meski itu berarti besok dia sudah tidak punya uang lagi. Tidak masalah, asal semua penghuni rumah bisa merasakan rejeki yang sama.

Hal yang sama juga terjadi apabila anak salah satu anggota komunitas itu akan melanjutkan sekolah di kota. Seluruh anggota komunitas merasa punya kewajiban untuk menyumbangkan apa saja agar si anak bisa bersekolah. Pokoknya sama rata, sama rasa.

*****

KEMBALI KE SOAL KARAKTER KERAS ORANG PANIAI.

Kebetulan sekali, sebelum ke Paniai saya mengunjungi Lanny Jaya, daerah di pegunungan tengah Papua tapi berada di bagian timur, sementara Paniai berada di bagian barat. Harus ditempuh dengan perjalanan panjang 7 jam dari Nabire ke Paniai. Karakter khas dua daerah ini menurut saya berbeda meski sama-sama berada di pegunungan tengah.

Perbedaan paling terasa di karakter mereka. Orang Lanny Jaya relatif lebih ramah kepada pendatang. Bukan hal yang sulit mendapatkan sapaan dari warga Lanny Jaya ketika bertemu di jalan. Ketika melihat mobil kita melintas pun, mereka dengan sukarela memberikan senyuman, bahkan lambaian tangan. Minimal itu yang saya rasakan di sekitar wilayah Tiom.

Paniai berbeda. Kita tidak mudah menemukan senyum warga di tepi jalan, lambaian tangan atau sapaan ramah. Warga yang ada di tepi jalan ketika melintas hanya memasang wajah dingin dan keras, memandang tajam ke arah kita. Tapi, mereka toh tetap membalas kalau kita lebih dulu menyapa mereka. Mereka bisa jadi ramah ketika mereka sudah mengenal kita.

Ini saya buktikan ketika di hari kedua pelatihan saya mulai akrab dengan beberapa peserta yang orang Paniai. Saya bisa bercanda dengan mereka, tertawa, atau sekadar menyapa dengan seyum lebar. Mereka bukan lagi orang yang dingin dan menatap tajam seperti di hari pertama.

Orang Paniai bisa jadi orang yang ramah, meski butuh waktu. Tidak seperti orang Lanny Jaya yang bisa langsung ramah. Orang Paniai dengan sifatnya yang keras dan kritis memang sepertinya tidak terlalu mengerti basa-basi. Mereka bukan tipe orang yang ketika bertemu kita akan langsung menyapa, mereka lebih senang menganalisis dulu siapa orang baru ini. Namun, ketika mereka sudah percaya, maka mereka bisa berubah jadi orang yang hangat dan menyenangkan.

Begitulah uniknya Papua. Meski sama-sama orang Papua, datang dari provinsi yang sama, tapi karakter tidak musti sama. Hal-hal inilah yang buat saya begitu menyenangkan ketika berada di Papua. Belajar banyak hal, belajar menghilangkan stigma dan belajar untuk tidak menelan mentah-mentah apa yang dikatakan media. Karena Papua itu unik. Orang Paniai itu unik [dG]