Surprisingly Jayapura!

Surpriseeee!

Seminggu lebih di Papua dan ada beberapa hal yang mengejutkan buat saya. Sesuatu yang sebelumnya tidak saya duga.


SUDAH SEMINGGU LEBIH SAYA TINGGAL (sementara) di Jayapura. Kota yang jadi ibukota Provinsi Papua ini harus saya akrabi, karena di sinilah saya akan tinggal selama beberapa bulan. Dalam kurun waktu seminggu ini, ada beberapa hal yang membuat saya terkaget-kaget dan sedikit banyaknya membuat saya merasa benar-benat tidak tahu apa-apa soal kota ini.

Pertama kali saya ke Jayapura adalah di akhir tahun 2014. Pertama tiba saya sudah kaget kalau ternyata kota ini tidak se-terbelakang seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Dalam kepala saya, Jayapura meski adalah ibukota provinsi, ramainya mungkin sama saja seperti ramainya sebuah ibukota kabupaten di Sulawesi Selatan. Mungkin paling tidak seramai Parepare lah.

Eh, surprisingly Jayapura ternyata ramai buanget saudara-saudara!

Dari kota yang saya kira hanya seramai ibukota kabupaten, saya melihat bagaimana Jayapura ternyata tidak sekecil itu. Kota yang berada di tepi pantai dengan bukit yang tepat berada tidak jauh dari pantai itu punya banyak sumber keramaian. Ada mall yang di dalamnya juga penuh dengan toko seperti layaknya mall di kota besar. Matahari, Cinema XXI, Sport Station, Jco, Hypermart, Planet Surf, Natasha Skin Care. Pokoknya seperti selayaknya mall. Bukan mall asal-asalan.

Terus apa lagi? Jayapura punya toko buku Gramedia yang punya gedung sendiri. Ada Pizza Hut, bahkan di Sentani yang jadi ibukota Kabupaten Jayapura ada Domino Pizza, sesuatu yang bahkan di Makassar pun belum ada.

Jadi pertama ke Jayapura saya kaget. Kota ini tidak sekecil dan sesunyi yang saya bayangkan. Bahkan saya langsung bertemu kemacetan di jalan raya! Di sebuah kota di pulau Papua! Ha-ha-ha-ha. Macet adalah pertanda ramainya sebuah kota, bukan? Dan Jayapura punya itu. Memang tidak bisa kita bandingkan dengan jalanan Makassar atau Jakarta, tapi tetap saja jalanan padat oleh kendaraan termasuk angkot, sehingga perjalanan kadang harus terhambat.

Tahun-tahun berlalu dan kemudian saya kembali ke Jayapura.

Sepintas kota ini tidak terlalu banyak berubah, masih tetap ramai dan gerah seperti dulu. Kadang kami merasa matahari di atas Jayapura itu lebih dari satu, atau minimal jaraknya tidak terlalu jauh di atas kepala. Hujan agak malas untuk turun di kota ini, tidak seperti Makassar yang katanya di awal Januari ini malah sering tertutup awan.

*****

MALAM PERTAMA TIBA DI JAYAPURA, saya dan teman-teman serombongan duduk di sebuah restoran di kota Abepura. Tepatnya di lantai tiga Saga Mall. Eh, bahkan distrik (setingkat kecamatan) yang jaraknya 15an km dari kota Jayapura pun punya mall loh. Memang tidak seramai mall Jayapura, tapi tetap saja namanya mall.

Untuk sementara saya masih menginap di hotel sebelum nantinya akan jadi anak kost. Tinggal tiga bulan di Jayapura, saya pastilah harus mencari kos. Tidak mungkin menginap di hotel terus menerus.

Malam itu kami berempat. Karena malas mencari tempat makan lain, kami memutuskan makan di Saga Mall saja. Itupun karena rekomendasi seorang teman yang dulu pernah bertugas di sini. Kami direkomendasikan makan di Waroeng Pojok.

Malam itu saya memesan nasi rawon empal daging. Tidak ada alasan khusus, pokoknya dengan ekspektasi rendah saya memilih apa saja yang ada di menu. Asal makan, pikir saya. Lalu datanglah pesanan kami. Dengan datar saya menyiapkan makanan saya. Menambahkan sambal, kecap dan jeruk nipis. Lalu mulai menyeruputnya.

Surprisingly, rasanya enak!

Jauh di atas ekspektasi saya tentang makanan di Papua. Ternyata nasi rawon empal daging yang saya pesan itu enaknya nendang. Bumbunya pas, dagingnya empuk. Bahkan ketika menuliskannya saja saya bisa merasakan lidah saya basah.

Nah malam itu saya sadar kalau makanan di Jayapura (dan sekitarnya) ternyata enak juga. Keesokan harinya (dan hari-hari berikutnya) saya makin sadar kalau makanan di sini memang enak. Dimulai dari nasi kuning yang banyak beredar sepanjang jalan dari kosan ke kantor. Awalnya saya menitip ke Afdhal, lumayan buat makan siang dengan harga yang murah. Seporsi nasi kuning dihargai Rp.15.000,- ( ada juga yang Rp.20.000,-).

Rasanya? Enak! Ha-ha-ha-ha.

Ini makanan meeting, ada ikan tunanya loh hahaha

Bumbunya sangat terasa dengan nasi yang tidak terlalu lembek tapi juga tidak terlalu keras. Tapi kekuatan utamanya ada lauknya. Ada dua macam lauk penting: ikan tuna atau daging ayam. Saya pernah mencoba kedua-duanya, dan kedua-duanya enak. Sekali lagi saya kaget bahwa saya sangat meremehkan kualitas makanan di Jayapura.

Pengalaman paling terakhir yang saya ingat terkait makanan enak di Jayapura adalah ketika mencoba mie pangsit ayam di restoran Mandala. Restoran ini terletak di kompleks pertokoan Dok II yang untuk masuk ke area itu kita harus membayar Rp.2.000,- untuk roda empat dan Rp.1,000 untuk roda dua. Mungkin semacam SCBD di Jakarta.

Anyway, hari itu kami melakukan pertemuan di restoran kecil itu. Karena lapar saya memesan mie pangsit ayam. Pesanan saya datang beberapa menit kemudian, bentuknya segera mengingatkan saya pada mie yang sama di rumah makan Lagaligo, Makassar. Rumah makan ini salah satu favorit kami (saya dan Mamie), tentu karena rasa mie pangsit ayamnya luar biasa enak buat kami.

Siang itu, saya kembali kaget. Surprisingly, rasa mie pangsit ayam pesanan saya enaknya hampir sama dengan mie di Lagaligo! Saking enaknya, rasanya sayang untuk menghabiskan mie yang ada di depan saya. Mau beli lagi, sayang duitnya. Maklum, kami anak kost yang belum gajian, ha-ha-ha-ha.

Sampai di sini saya akhirnya berkesimpulan kalau makanan enak di kota Jayapura (dan sekitarnya) bukanlah hal yang sulit untuk dicari. Macam-macam makanan – yang sayangnya bukan makanan khas Papua – rasanya enak. Sama sekali jauh di atas ekspektasi saya sebelumnya. Mungkin saja ini karena saya memasang ekspektasi yang cukup rendah, tapi peduli amat! Yang penting rasanya enak!

Mungkin masalahnya hanya di soal harga, karena biaya hidup di Jayapura memang termasuk tertinggi di Indonesia.

*****

SORE MENJELANG MAGRIB, selepas acara kami mampir sejenak di Mall Jayapura. Ada beberapa keperluan yang dibutuhkan, dan sambil iseng saya ke lantai tiga. Tepatnya ke Sport Station. Saya salah membawa sepatu ke Jayapura dan karenanya saya merasa butuh membeli sepasang lagi. Tapi tidak usah yang mahal, pikir saya.

Terakhir ke sini tahun 2014 saya berhasil menemukan sepatu Reebok di Sport Station Jayapura yang saya tebus dengan harga Rp.100 ribuan. Diskon 75% membuat harganya terpotong jauh sampai semurah itu. Sekarang saya berharap hal yang sama terulang kembali.

Hari itu saya beruntung. Setelah melihat-lihat ke beberapa rak, saya akhirnya memilih sepasang sepatu Airwalk yang sedang diskon. Jumlahnya lumayan, 75% sehingga saya bisa membawa pulang sepatu itu dengan harga Rp.107.000,-. Lumayan untuk dipakai sehari-hari, kalaupun ternyata sepatu itu tidak kuat ya tak mengapa. Toh harganya cuma segitu, hi-hi-hi.

Sepatu baruuu x))

Bapak bos yang datang bersama kami bahkan lebih beruntung. Beliau bisa membawa pulang sepatu Sketcher dengan harga hanya Rp.180.000,-. Murah sekali karena sepatu itu juga diskonnya sampai 75% dari harga aslinya. Sayang saya kurang suka dengan modelnya sehingga saya tidak memilih sepatu seperti pilihan bapak boss.

Surprisingly, kita bisa juga mendapatkan barang dengan harga yang sangat murah di Jayapura. Ini tentu berbeda dengan persepsi umum tentang Papua yang barang-barangnya mahal. Sebagian besar memang seperti itu, tapi percayalah kalau kadang kita juga beruntung bisa dapat barang bagus dengan harga yang murah. Meski tentu keberuntungan itu tidak datang tiap hari.

Ah Papua ini memang rajin sekali mengejutkan. Banyak hal yang di luar dugaan di sini. Bagaimana dengan hari-hari berikutnya? Mari kita nantikan. Beberapa bulan kemudian, saya untuk pertama kalinya merasakan sedihnya menjadi korban banjir di Jayapura. [dG]