Cerita Coto

coto
Coto Lamuru, idola baruku

Coto Makassar, makanan khas dari Makassar ini jadi salah satu ikon kuliner kota Makassar. Tak lengkap rasanya bila berkunjung ke Makassar tanpa menikmati hidangan berisi daging dan jeroan ini. Tapi, tahukah anda kalau coto juga punya ragam rasa? Inilah sedikit cerita tentang ragam rasa coto Makassar, saya coba tuliskan dengan singkat.


Anda pernah berkunjung ke Makassar tapi belum sempat menikmati coto? Ah, berarti anda belum menyempurnakan kunjungan ke ibukota propinsi Sulawesi Selatan ini. Coto adalah kuliner paling terkenal dari kota Makassar selain kuliner lainnya macam konro, sop saudara, pallubasa, pisang ijo atau ikan bakar dan sederet kuliner lainnya.

Tapi kalau anda punya riwayat tekanan darah tinggi, asam urat atau kolesterol maka wajar saja kalau anda melewatkan sesi makan coto, karena makanan ini memang penuh dengan beragam bahan yang dijamin mampu membuat tekanan darah meningkat, kadar kolesterol jahat bertambah dan persendian perih karena asam urat. Isinya apa saja? Ada usus, jantung, hati, limpah, paru dan tentu saja daging. Hmm..pokoknya bagi para penderita penyakit yang saya sebut di atas, coto bolehlah dicoret dari daftar kuliner yang akan diembat.

Di seputaran Makassar ada banyak warung coto bertebaran. Beberapa di antaranya begitu terkenalnya sampai jadi tujuan khusus bagi para pesohor atau public figure yang kebetulan mampir di kota Makassar. Sebut saja coto Paraikatte Jl. Andi Pangerang Pettarani , coto Ranggong atau coto gagak Jl. Gagak. Ketiga warung coto itu bisa dibilang warung coto paling top di seputaran Makassar, setidaknya mereka sudah pernah nangkring di halaman koran lokal dan bahkan diliput televisi nasional.

Setiap koki biasanya punya resep rahasia dalam meramu coto jualannya. Di samping bumbu standar macam bumbu bawang merah, bawang putih, sereh, laos, ketumbar, jintan, garam halus, daun salam, kacang, dan jeruk nipis, biasanya para koki menambahkan bumbu khusus yang sifatnya rahasia. Bumbu khusus inilah yang kemudian membuat coto yang dijajakan menjadi khas dan mengundang selera.

Untuk ukuran kekentalann pun ada perbedaan. Ada coto yang kuahnya begitu kental, ada yang sedang dan ada juga yang encer dengan warna kuah yang tidak lagi coklat tapi agak putih. Kuah yang encer ini biasanya disebut kuah air beras karena memang menggunakan air rendaman beras sebagai tambahan.

Beberapa orang menyukai coto dengan kuah yang kental. Tidak jauh dari kantor saya ada warung coto bernama Coto Manggala. Mangkuk kecilnya berisi potongan daging dan jeroan yang kira-kira sebesar dua ruas jari orang dewasa. Kuahnya juga kental, sangat kental malah. Saya mengistilahkannya sebagai “porsi buruh” tentu saja karena ukuran potongan daging dan jeroannya yang tergolong besar itu. Untuk ukuran seporsi saya masih bisa, tapi untuk masuk ke porsi atau mangkuk kedua terus terang saya sudah ampun-ampunan. Selain karena porsinya yang besar, kekentalan kuahnya juga bikin eneg.

Lain lagi dengan coto di ujung jalan Abdullah Dg. Sirua ( saya lupa namanya ) coto di sana encer dan berwarna agak putih. Saya bisa menghabiskan dua mangkok coto bersama dengan 3 atau 4 biji ketupat sebesar kepalan tangan anak kecil. Selain karena potongan dagingnya yang kecil, kuahnya yang encer itu juga tidak sampai bikin eneg.

Baru-baru ini saya menemukan warung coto baru yang sangat menggoda. Thank to Mamie Lily yang memperkenalkan saya dan teman-teman ke warung coto Jl. Lamuru. Pada sendokan pertama saya bisa merasakan rasa bumbu yang begitu menggoda, plus lagi jenis kuahnya yang encer meski warnanya tetap coklat. Slurrrppp, mantap pokoknya. Sayangnya karena alasan “tahu diri” dengan kondisi tubuh yang tidak seperti dulu lagi, saya hanya menghabiskan semangkuk saja waktu itu. Tapi perkenalan pertama itu membuat saya jatuh cinta dan pasti akan kembali lagi ke sana suatu hari nanti.

Baca juga cerita kuliner lain khas Makassar, Sop Saudara di sini

Nah, coto itu baru lengkap kalau dimakan bersama ketupat. Tanpa ketupat, coto akan seperti pizza tanpa topping, bisa dimakan tapi tetap saja rasanya kurang. Ketupatnya sendiri ukurannya beragam, ada yang sebesar kepalan tangan anak kecil, ada juga yang sebesar kepalan tangan orang dewasa (orang Indonesia dewasa, orang bule tidak termasuk). Bungkus ketupatnya juga beragam, dari yang menggunakan daun kelapa sampai yang menggunakan daun pandan. Khusus untuk yang menggunakan daun pandan, rasanya jadi tambah lezat karena aroma daun pandannya yang meresap ke dalam ketupatnya.

Teman akrab yang lain bagi coto adalah: jeruk nipis tentu saja. Seperti yang pernah saya bilang, makanan khas Sulawesi Selatan itu pasti dan harus menggunakan jeruk nipis. Tanpa jeruk nipis maka rasanya akan hambar. Sambel untuk coto juga sebagai pelengkap dan jenisnya juga beragam.

Kuah coto selalu dimasak dalam kuali tanah liat, kalau daging sih cukup dengan panci aluminium biasa. Kenapa harus kuali tanah liat? Katanya ini supaya bumbunya lebih meresap dibanding bila menggunakan panci alumunium. Warung coto Jl. Ranggong bahkan menggunakan kayu bakau sebagai bahan bakarnya. Entah apakah ada hubungan langsungnya dengan rasa kuah coto atau tidak tapi konon itu sudah jadi kebiasaan mereka selama bertahun-tahun.

Hmmm, saat menuliskan postingan ini entah kenapa mulut saya terasa basah oleh liur. Terbayang nikmatnya semangkuk coto Jl. Lamuru seperti yang saya cerita di atas. Oh ya, coto juga paling nikmat bila disantap pagi hari antara jam 7-11 atau sebelum makan siang, meski tentu saja tidak ada larangan menyantap coto di luar jam itu. Beberapa warung coto bahkan ada yang sampai buka 24 jam atau lazim disebut Coto Bagadang.

Nah, kalau memang anda berkunjung ke Makassar sempatkanlah menyambangi salah satu warung coto yang saya sebut di atas. Selesai menyantap coto,silakan berjalan ke kasir dan bilang : dua empat. Itu adalah kode berapa jumlah coto dan ketupat yang anda habiskan.

Jadi? kapan makan coto? [dG]