Ahok dan UU ITE

Ahok dan UU ITE
Ahok dan UU ITE
Ilustrasi

UU ITE dipakai dalam kasus Ahok, sesuatu yang aneh karena terlihat seperti dipaksakan.

Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok akhirnya resmi jadi tersangka dalam kasus penistaan agama. Rabu (16/11) kemarin, keputusan itu cukup ramai dibicarakan di berbagai kanal media sosial maupun grup-grup percakapan (chatting). Maklum saja, persoalan Ahok ini memang jadi isu nasional. Meski lingkupnya hanya di DKI Jakarta, namun kalimatnya yang dianggap sebagai penistaan agama itu tentu menarik perhatian banyak warga Indonesia.

Mulut Ahok sejak lama memang sudah diprediksi bakal menjegal langkahnya sebagai seorang pemimpin. Banyak yang gerah dengan kebiasaannya yang blak-blakan dalam mengomentari sesuatu. Bukan satu dua kali saja dia terang-terangan memaki orang yang dianggapnya berseberangan atau dianggapnya menghianati kepercayaan warga DKI.

Pun dari mulutnya pernah terlontar ucapan siap mengorbankan 1000 orang demi kepentingan jutaan orang lainnya. Ucapan ini dianggap oleh Marco Kusumawidjaja (seorang arsitek dan urban planner) sebagai ucapan yang mengerikan. Bukan hanya Marco, tapi beberapa orang lainnya juga berpendapat yang sama.

Tapi sudahlah, saya tak hendak menilai atau berbicara tentang ucapan-ucapan Ahok. Sudah terlalu banyak orang lain yang menilainya. Begitu juga soal kebijakan-kebijakannya berkaitan dengan Jakarta, saya tidak punya hak untuk membincangkannya. Saya bukan orang Jakarta dan hanya sesekali ke Jakarta, jadi pandangan saya tentu sangat subyektif dan sangat bias.

UU ITE Yang Tidak Logis

Saya lebih tertarik membicangkan soal salah satu pasal yang dipakai menjerat Ahok. Jadi selain dijerat dengan pasal 156a KUHP tentang penistaan agama, Ahok juga coba dijerat dengan pasal 28 ayat 2 undang-undang no.11 tahun 2008 (atau lebih dikenal sebagai UU ITE).

Di salah satu grup percakapan yang saya ikuti, penggunaan pasal 28 ayat 2 UU ITE ini sontak jadi bahasan menarik. Pertanyaan yang muncul adalah; kenapa pasal 28 ayat 2?

Pasal 28 ayat 2 itu sendiri berbunyi:

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Nah, mari kita cermati apa yang aneh dari penggunaan pasal 28 ayat 2 UU ITE ini.

Di pasal itu dikatakan; Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak. Kalau itu diterjemahkan dalam kasus Ahok berarti mudah sekali dipatahkan. Toh bukan Ahok yang dengan sengaja mengunggah dan menyebarkan video yang diduga berisi kata-kata penistaan agama itu. Pasal itu sepertinya memang lebih tepat ditujukan kepada Pemprov DKI yang mengunggah video tersebut ke laman YouTube, atau kalau mau lebih ekstrem lagi ditujukan kepada orang yang memotong dan menyebarkan kembali video itu.

Menurut Anggara Suwahju peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang saya kutip dari laman Kompas, penetapan Ahok sebagai tersangka dengan menggunakan UU ITE ini adalah hal yang aneh. Anggara beranggapan kalau Ahok lebih pantas dijerat dengan menggunakan KUHP karena lebih fokus kepada orangnya atau yang melakukan, sementara UU ITE lebih fokus kepada proses penyebarannya.

Di laman yang sama, Direktur Executive ICT Watch, Donny BU juga berpendapat yang sama. Mas Donny juga berpendapat kalau penetapan Ahok sebagai tersangka dengan menggunakan pasal 28 ayat 2 UU ITE adalah hal yang tidak logis. Memang Ahok adalah penanggung jawab Pemprov DKI, tapi Ahok diperiksa dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitas individu, bukan sebagai perwakilan institusi Pemprov DKI.

Mas Donny malah menekankan, bila memang ingin menggunakan UU ITE sebagai jerat, maka justru orang yang memotong video dan menyebarkannyalah yang lebih pas untuk dikenai pasal yang menjerat mereka yang dengan sengaja menyebarkan konten yang memicu pertikaian bernuansa SARA.

Kenapa UU ITE?

Dua komentar dari praktisi hukum dan internet itu saya pikir sudah cukup mewakili keheranan saya akan penggunaan UU ITE sebagai jerat buat Ahok. Dalam pikiran saya yang sama sekali bukan ahli atau praktisi hukum ini, penggunaan UU ITE pasal 28 ayat 2 itu bisa dibilang salah sasaran. Dari sisi bahasa saja sudah jelas kalau pasal itu menjerat orang yang sengaja menyebarkan, bukan yang membuat. Dalam kasus ini, jelas kalau video itu bukan disebarkan oleh Ahok.

Ada beberapa asumsi yang berkembang tentang mengapa pasal 28 ayat 2 UU ITE ini yang dipakai sebagai tambahan untuk menjerat Ahok. Namun, semua itu baru sebatas asumsi, belum bisa dianggap benar sampai benar-benar terjadi.

Satu hal yang benar-benar terjadi adalah; UU ITE memang aneh! Undang-undang itu bisa dipakai sesuka hati penuntut, tanpa peduli pada konteks atau ketepatannya.

Sampai hari ini sudah 200 orang lebih yang dijerat menggunakan UU ITE, khususnya pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 1 dan 2. Dari kesemuanya, pasal 27 ayat 3 memang yang sangat absurd dan sangat mudah diinterpretasikan macam-macam. Ini juga yang banyak digunakan para pejabat untuk membungkam suara kritis di sekitar mereka.

Dan penetapan Ahok sebagai tersangka dengan mengikutkan pasal 28 ayat 2 UU ITE itu kemudian menimbulkan pertanyaan-pertanyaan susulan. Apakah itu disengaja? Atau adakah agenda lain di baik penggunaan pasal itu?

Mudah-mudahan ada yang bisa menjelaskan dengan gamblang. Tentu dengan jawaban yang logis, bukan jawaban subjektif atau malah memprovokasi.

Hal yang bisa dilakukan sekarang adalah menunggu proses pengadilan ini berjalan sambil berharap hukum benar-benar lurus dan transparan. Plus, sama-sama berdoa semoga Yusniar yang sedang menjalani penahanan dan proses pengadilan akibat absurd-nya UU ITE bisa segera dibebaskan dari tahanan.

Karena Yusniar bukan Ahok yang hanya dilarang ke luar negeri, Yusniar harus menatap dunia luar dari balik jeruji besi. Entah sampai kapan. [dG]

Baca kasus Yusniar yang jadi korban UU ITE dan kuasa yang tidak berimbang