Juventus vs AC Milan, Pertemuan Penuh Rasa Hormat

AC Milan vs Juventus
AC Milan vs Juventus

Meski tak segemerlap periode 1990an, Italia tetaplah sebuah panggung drama sepakbola tempat para seniman yang bermain indah menghibur penonton dengan sepenuh jiwa dan raga mereka. Di antaranya adalah aktor berbaju putih-hitam dan aktor berseragam merah-hitam.

28 Mei 2003, Old Trafford di kota Manchester mendapat kehormatan menggelar pertemuan dua raksasa sepakbola Italia dan Eropa kala itu. AC Milan dan Juventus untuk pertama kalinya saling bersitatap di panggung tertinggi kejuaraan Eropa, Liga Champion Eropa. Sebelumnya hanya Spanyol yang berhasil mengirim dua klubnya untuk saling membunuh di puncak partai antar klub yang paling bergengsi di tanah Eropa itu.

Di akhir cerita, Andriy Shevchenko jadi pahlawan. Pemain merah hitam bersorak riang merayakan gelar Champion mereka yang keenam. All Italian Final dimenangkan AC Milan lewat drama adu penalti.

Partai di Old Trafford itu adalah sejarah karena untuk pertama kalinya Italia diwakili dua klub terbaiknya di partai puncak. Dua-duanya adalah klub yang memang paling pantas menjadi wakil negeri pizza, tentu karena deretan tropi di lemari mereka. Juventus sudah 28 kali meraih titel juara serie A, lebih banyak 10 titel dari AC Milan. Bersama Milan ada tetangga biru-hitam Inter Milan yang juga sama-sama meraih 18 titel juara serie A. Kalah di level domestik, AC Milan bisa berbangga di level Eropa. 7 gelar Champion mereka berbanding 2 gelar milik Juventus.

Juventus dan AC Milan adalah dua raksasa Italia, tapi pertemuan mereka nyaris jauh dari kata perang. Bandingkan dengan derby della madonina antara AC Milan vs Inter Milan, atau bahkan pertemuan Juventus vs Inter Milan yang disebut sebagai derby d’Italia. Adalah jurnalis sepakbola Gianni Brera di tahun 1967 yang pertama kali mempopulerkan frasa itu.

Kala itu Serie A Italia memang dimonopoli kedua klub, Juventus dan Inter Milan sehingga tentu saja aroma persaingan sangat terasa antar keduanya. Aroma yang perlahan menjadi seperti warisan yang diturunkan ke anak-cucu hingga sekarang.

Aroma yang sama tidak ditemukan dalam rivalitas Juventus dan AC Milan. Meski periode 1990an mereka berdua saling berpacu di puncak kesuksesan sepakbola Italia, tapi mereka nyaris tidak pernah saling membenci. Sepanjang tahun Si Nyonya Tua dan Si Setan Merah kadang asyik masyuk dalam satu proyek marketing yang sama, persahabatan yang erat dan bahkan seperti berdiri di garis yang sama menghadapi Milan biru-hitam.

Beberapa bintang pun dengan sukarela bertukar kostum, dari hitam-putih ke merah-hitam, atau sebaliknya. Roberto Baggio, Filippo Inzaghi, Zlatan Ibramovic, Edgar Davids dan Gianluca Zambrotta. Bahkan paling terakhir Andrea Pirlo yang 10 tahun melayani para Milanisti dengan riang berpindah melayani Juventini. Tidak ada sakit hati, tidak ada caci maki.

Filippo Inzaghi, dari Juventus ke AC Milan
Filippo Inzaghi, dari Juventus ke AC Milan

Juventus dan AC Milan adalah dua raksasa yang saling menghormati. Persaingan mereka berdiri di atas pondasi bernama respek. Sama sekali berbeda dengan persaingan antara Juventus dan Inter Milan, atau AC Milan dan Inter Milan. Jangan lagi membandingkannya dengan persaingan AS Roma-Lazio atau Catania-Palermo yang kadang berakhir dengan darah dan nyawa melayang.

Juventus vs AC Milan hanya persaingan gengsi antar dua kota di Utara Italia yang makmur. Persaingan antar dua orang kaya yang berkeringat di lapangan hijau tapi bisa duduk manis bersama menyeruput cappucino sesudahnya. Penuh rasa hormat, tanpa ada dendam yang membekas terlalu dalam.

Minggu 6 Oktober keduanya akan bertemu lagi dengan Turin sebagai tuan rumah. Juventus akan menjamu tamu dari kota yang hanya berjarak 141 km itu. Juve yang sebagian besar pasukannya seperti prajurit Romawi yang gagah dengan rambut di rahang dan dagunya akan kedatangan tamunya dari kota mode.

Sang tamu sedang terluka, seperti sudah jadi kebiasaan 3 musim belakangan ini mereka memulai dengan langkah yang sangat berat. Musim ini jadi lebih buruk karena cedera betah berdiam di Milanello seperti pemain yang baru saja meneken kontrak panjang. Apa yang bisa diharapkan dari tim yang 13 pemain intinya menderita cidera di saat bersamaan? Semangat luar biasa dan sisanya keberuntungan.

Sementara itu Juventus tidak sedang berada di puncak, tapi mereka juara bertahan dan mereka punya pemain yang sedang segar. Mereka punya Vidal dan Pogba yang terlalu bersemangat seperti seekor kuda di musim kawin. Dan mereka punya Tevez, Argentinian yang seperti biasa: liar, liat dan kadang mengejutkan.

Lalu apakah ini berarti Juventus akan menang mudah di rumah sendiri? Mungkin iya, tapi mungkin juga tidak. Sepakbola Italia adalah panggung drama dengan pemain-pemain yang tampil serupa seniman di atas pentas. Semua masih bisa terjadi, apapun itu. Setelah 90 menit kita akan tahu siapa yang tersenyum paling terakhir. Tapi apapun hasilnya, kita tahu kalau kedua raksasa itu masih saling menghormati.

Scontro tra titani italiani, incontro con rispetto [dG]