Kisruh European Super League vs EUFA


Kisruh European Super League lawan UEFA meramaikan dunia sepak bola pekan ini.


Awal pekan ini, sepak bola tanah Eropa tiba-tiba menjadi ramai. Penyebabnya bukan persaingan antara klub-klub papan atas Eropa, tapi persaingan antara beberapa pemilik klub besar Eropa dengan UEFA, organisasi sepak bola Eropa. Semua gara-gara 12 pemilik klub papan atas Eropa yang mengumumkan berjalannya liga Eropa perjuangan bernama European Super League.

Klub-klub besar itu adalah Real Madrid, Barcelona, Atletico Madrid, Juventus, Inter Milan, AC Milan, Manchester United, Liverpool, Arsenal, Manchester City, Chelsea, dan Totenham Hotspur. Konon, raksasa Jerman, Bayern Munchen dan raksasa Perancis, Paris Saint Germain juga diajak untuk ikut, tapi mereka menolak.

Menurut Florentino Perez, presiden Real Madrid, mereka sepakat untuk menggelar liga perjuangan itu karena merasa sangat membutuhkan tambahan dana untuk menutupi kerugian yang klub-klub mereka alami selama pandemi. Setiap klub pendiri European Super League bakal menerima fee sebesar 310 juta paun (Rp 6,3 triliun) dan berpotensi meraih pendapatan hingga 213 juta paun (Rp 4,3 triliun) semusim setelahnya. Jumlah ini kalah jauh bila dibandingkan jumlah yang mereka dapatkan dari UEFA Champions League yang hanya bisa mendapatkan maksimal Rp175 M. Padahal, pandemi COVID-19 benar-benar memukul keuangan banyak klub akibat hilangnya potensi pendapatan dari penonton di lapangan.

Ditolak UEFA

Rencana pembentukan liga perjuangan itu pastilah ditentang oleh induk sepak bola Eropa, UEFA. Mereka dengan cepat bereaksi, salah satunya adalah dengan mengancam akan membatasi keikutsertaan klub yang ikut di European Super League. Mulai dari dilarangnya klub-klub tersebut untuk ikut semua kegiatan di bawah bendera UEFA termasuk UEFA Champions League. Selain itu, para pemain dari klub-klub tersebut juga dilarang untuk ikut semua kegiatan sepak bola antar negara, termasuk piala Eropa yang rencananya akan dilaksanakan tahun ini.

Ancaman dari UEFA inilah yang menjadi dasar dari kekisruhan yang terjadi. Dalam waktu singkat perbincangan tentang European Super League vs UEFA merebak termasuk di media sosial.

Ditolak Pendukung dan Pemain

Lalu, bukan cuma UEFA yang menolak. Para pendukung klub-klub peserta European Super League pun ikut bersuara. Rata-rata mereka menolak keras pelaksanaan European Super League teresebut, utamanya para fans sepak bola keenam tim asal Inggris.

Mereka menganggap rencana ESL itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah usaha untuk mengeruk uang lebih banyak oleh para presiden klub. Mereka pun menganggap ESL itu tidak lebih dari persekongkolan dari klub-klub kaya yang akan semakin membuat lebar jurang antara klub kaya dan klub medioker.

Para fans juga menganggap ESL akan menghianati spirit utama sepak bola yang mementingkan kebersamaan dan sportivitas. Melanggengkan ESL hanya akan berakhir pada usaha mengeruk uang sebanyak-banyaknya, bukan sekadar menyajikan pertandingan yang indah di lapangan hijau.


Protes dari fans

Bukan hanya fans, para pemain dan mantan pemain pun bergantian mengutarakan ketidaksetujuan mereka. Salah satunya adalah Luis Figo. Mantan punggawa Portugal itu terang-terangan mengutarakan ketidaksetujuannya pada pelaksanaan ESL melalui akun media sosialnya. Dua klub yang pernah dibelanya, yaitu Real Madrid dan Inter Milan termasuk sebagai pendiri ESL.

Mantan bintang Liverpool, Jamie Carragher juga ikut-ikutan menunjukkan ketidaksetujuannya di akun media sosialnya.

Akhirnya Ditangguhkan

Desakan dari para fans dan beberapa bintang serta mantan bintang klub rupanya melengkapi ancaman UEFA. Meski Florentino Perez mengaku tidak yakin UEFA akan benar-benar menjatuhkan sanksi seperti yang mereka bilang, tapi mungkin bagi klub lain ancaman UEFA itu dianggap sangat serius.

Chelsea jadi klub pertama yang menyatakan akan meninjau ulang keikutsertaannya dalam ESL hanya dalam waktu sehari lebih. Tidak lama kemudian Manchester City secara resmi mengumumkan pengunduran diri mereka dari ESL. Sampai akhirnya keenam klub asal Inggris menyatakan secara resmi kalau mereka mundur dari ESL.

Sampai kemudian ESL dinyatakan ditangguhkan. Hanya dua hari setelah diluncurkan.

Politik dan Uang

Napas ESL memang pendek, hanya sekitar dua hari. Tapi, kekisruhan yang disebabkannya berefek panjang. Sebagai langkah kompromi, UEFA berjanji akan mengubah format EUFA Champions League dengan menambah jumlah peserta. Tujuannya tidak lain untuk memperbanyak pemasukan yang bisa dibagikan ke klub-klub peserta, utamanya klub papan atas Eropa.

Para analis yakin apa yang dilakukan para petinggi klub yang menginisiasi ESL memang tidak jauh-jauh dari politik dan uang. Mereka, para petinggi klub itu tidak rela kalau pemasukan klubnya jauh berkurang, mereka juga punya kecurigaan kalau UEFA tidak transparan dalam mengelola keuangan, bahkan menuding UEFA sebagai sarang korupsi.

Dua hal itulah yang jadi dasar utama untuk menantang UEFA lewat pembentukan ESL. Walaupun saat ini gagal, tapi usaha itu setidaknya bisa mengubah keputusan UEFA untuk berkompromi. Mencari jalan tengah yang dianggap cukup menguntungkan kedua pihak.

*****

Sepak bola memang sudah menjadi bisnis super besar, mega bisnis kata orang. Tidak heran kalau para pebisnis yang menjadi presiden dan pemilik klub besar terus memutar otak untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Sepak bola sudah bukan lagi permainan 11 orang melawan 11 orang lainnya, tapi sebuah investasi maha besar yang pada akhirnya memang memaksa para pebisnis untuk memutar otak. Kalau perlu menghianati spirit dasar sepak bola.

Kisruh ESL vs UEFA hanya cermin kecil yang mengekspos secara besar-besaran tentang apa yang terjadi di sepak bola Eropa. Sayangnya, apa yang terjadi di sepak bola Eropa pastilah akan jadi perhatian para pecinta sepak bola dunia mengingat Eropa adalah kiblat sepak bola dunia. [dG]