Bagaimana Rasanya Puasa 20 Jam?


Cerita tentang pengalaman berpuasa selama 20 hari di Swedia oleh seorang anak Makassar yang pernah belajar di sana.

Berpuasa di bulan Ramadan adalah sebuah kewajiban untuk umat muslim di manapun berada. Tidak peduli di ujung dunia sekalipun. Umat muslim yang hidup di Indonesia termasuk beruntung karena menjalani ibadah puasa dengan rentang waktu yang relatif stabil. Mulai dini hari sekitar pukul 04:00, dan berakhir di sore hari sekitar pukul 18:00. Sekitar 14 jam per hari. Tidak peduli itu musim hujan atau musim kemarau. Tidak aneh, karena Indonesia berada di wilayah garis khatulistiwa yang memang relatif stabil di soal waktu.

Tapi, ada negara di utara Bumi yang dekat dengan kutub yang selalu dinamis soal waktu. Di musim dingin, durasi malam harinya lebih panjang. Sementara di musim panas, durasi siang hari atau waktu ketika matahari bersinar jadi lebih panjang. Bayangkan, jam 10 malam pun matahari masih bersinar terang dan baru benar-benar tenggelam sekitar pukul 12 malam!

Nah, sekarang bayangkan kalau Anda berpuasa dalam keadaan seperti itu. Puasa dimulai pukul 02:00 dini hari dan baru berakhir 20 jam kemudian alias pukul 22:00 di malam hari. Itu karena mengikuti aturan bahwa puasa mulai dari menjelang terbitnya matahari sampai tenggelamnya matahari.

“Sebenarnya ada yang bilang, kami boleh saja berpuasa mengikuti waktu negara Islam terdekat. Misalnya Turki, yang waktu puasanya lebih pendek 2 jam. Tapi kalau bisa puasa 20 jam, ya silakan,” kata Iqko.

Iqko pernah tinggal di negara Skandinavia yang memang sudah dekat ke kutub utara. Tepatnya di kota Stockholm, Swedia. Dia pun sempat menjalankan ibadah puasa ketika bulan Ramadan masuk di musim panas, musim ketika matahari bersinar 20 jam sehari. Awalnya memang berat, kata Iqko. Bagaimanapun dia harus membiasakan tubuhnya dengan pola waktu yang seperti itu.

Mulai sahur pukul 02:00 dini hari, disambung dengan salat subuh, lalu tidur bila memang tidak ada kuliah pagi. Meski berpuasa, tapi Iqko mengaku tetap menjalani hari seperti biasa. Ke kampus, jalan-jalan, bercengkerama dengan teman, dan banyak lagi. Semua berjalan seperti biasa. Apalagi Swedia bukan negara muslim, jadi bulan Ramadan tidak dianggap bulan yang spesial. Kafe buka seperti biasa tanpa harus takut dirazia, apalagi ini musim panas. Musim ketika orang Swedia yang jarang melihat matahari itu bersuka ria, berusaha menikmati hangatnya matahari sebisa mungkin.

“Di musim panas itu kafe-kafe pada buka, karena kan sebelumnya semua tutup karena musim dingin. Mulai dari kopi sampai es krim, semua keluar. Itu tantangan terbesarnya,” kata Iqko.

Puasa selesai pukul 22:00 malam, ditandai dengan buka puasa yang kemudian dilanjutkan dengan salat Magrib. Lalu jarak antara salat magrib dan isya begitu pendek, begitu juga dengan jarak ke subuh. Walhasil kata Iqko, dia lebih sering menggabungkan makan malam dan sahur.

*****

Cerita Iqko saat berpuasa di Swedia itu dia ceritakan di episode terbaru podcast Cerita Makassar. Ceritanya beragam, tentang bagaimana dia menjalani puasa selama 20 jam, bagaimana reaksi teman-teman dan tetangganya yang bukan muslim, dan tentu saja tentang kerinduan yang hadir setiap kali menjalani ibadah puasa.

Dengarkan kisahnya di episode terbaru Cerita Makassar. [dG]