Emosi Yang Mulai Luntur

unitedarsenal

Anda sempat menyaksikan pertarungan Manchester United vs Arsenal kamis subuh kemarin ?Ini memang pertemuan pertama kedua tim di kancah Eropa, meski secara total mereka telah bertemu sebanyak 157 kali dengan 63 kemenangan buat MU dan 57 kemenangan buat Arsenal, sisanya seri. Secara teknis, pertandingan kemarin berlangsung seru, kedua tim tampil dengan gaya khas liga Inggris yang cepat dan bertenaga meski Manchester United sangat dominant di pertengahan babak pertama dengan menguasai ball possession sampai 65 %.

Meski pertandingan berjalan cukup menghibur, namun bagi saya pribadi ada sesuatu yang kurang dari laga MU vs Arsenal. Ada aroma persaingan yang sepertinya mulai memudar. Ingatan saya tiba-tiba kembali ke era sebelum 2004 saat MU dan Arsenal masih menjadi dua raksasa yang saling berebut supremasi di tanah Inggris.

Awal pertarungan sebenarnya bisa dibilang dimulai sejak kedatangan Arsene Wenger ke Highbury sejak musim 1996/97. Perlahan tapi pasti Wenger berhasil membangun sebuah imperium baru yang begitu mengganggu dominasi United yang sudah lebih dahulu membangun imperium bersama Sir Alex Ferguson. Arsenal merangsek ke atas dan memberikan ancaman ke United. Persaingan kemudian bukan hanya berada di atas lapangan hijau namun sudah menjalar ke media.

Sir Alex dan Arsene Wenger kerap bertukar sindiran bahkan serangan verbal di media. Sir Alex mendapatkan lawan yang seimbang.

Temperatur panas dari persaingan kedua manager terbawa ke lapangan. Pertemuan kedua tim kemudian selalu menjadi sebuah pertarungan yang keras, ketat dan bahkan berdarah-darah. Hujan kartu kuning bahkan kartu merah adalah hal yang biasa, adu otot leher antar pemain kedua tim juga menjadi sajian yang umum dalam setiap pertemuan Manchester United vs Arsenal.

Dua motor utama persaingan keras MU vs Arsenal di lapangan hijau adalah, Roy Keane dari Manchester United dan Patrick Viera di Arsenal. Kedua skipper atau kapten dari kedua tim itu kebetulan punya karakter yang sama kerasnya. Keane dan Viera adalah dua kutub yang sama-sama panas. Keduanya terkenal sebagai motivator utama dalam tim, punya sifat kepemimpinan dan yang paling utama punya temperamen yang sulit dikontrol. Tak heran kalau adu otot leher sampai adu fisik menjadi bagian dari pertemuan mereka.

Pertarungan itu kemudian menjalar ke pemain lain. Tercatat pemain seperti Ruud van Nistelroypun pernah terlibat dalam perkelahian massal dengan pemain-pemain Arsenal di lapangan. Sementara itu Gary Nevillepun pernah bersitegang dengan Patrick Viera di lorong menuju ruang ganti, sebuah pertengkaran yang akhirnya turut melibatkan Roy Keane. Jangan lupa pula tentang insiden pizza, insiden di mana seorang pemain muda Arsenal melempar pizza ke arah Sir Alex Ferguson.

Singkat kata, pertarungan Arsenal dan Manchester United adalah pertarungan yang selalu penuh dengan emosi dan pertarungan menyangkut harga diri.

Namun, masa-masa itu kemudian berlalu.

Roy Keane mundur sebagai pemain dan kemudian Patrick Viera yang mungkin mulai merasa kehilangan tantangan atas kepergian lawan beratnya itupun meninggalkan Arsenal menuju Juventus. Perlahan tapi pasti pertarungan Arsenal vs MU mulai kehilangan kadar emosinya.

Belakangan, Jose Mourinho datang ke Inggris dan membawa angin persaingan yang baru. Dalam waktu singkat Chelsea yang sebelumnya hanyalah klub papan tengah tiba-tiba meruak di antara MU, Arsenal dan Liverpool. Suasana persaingan makin terasa apalagi karena Mourinho punya mulut yang lumayan pedas dan hobi memantik api kontroversi.

Satu persatu pelatih papan atas liga Inggris mulai dimasukkannya dalam daftar musuh. Bukan hanya di lapangan hijau namun juga di media. Rafa Benitez, Arsene Wenger dan terakhir Sir Alex Ferguson. Peta rivalitaspun mulai bergeser. MU bersaing ketat dengan Chelsea, sementara Arsenal-mantan rival berat MU-hanya kebagian persaingan menduduki tangga kedua atau ketiga.

Arsenal yang ditinggalkan pemain-pemain terbaiknya macam Viera dan Henry memang kewalahan membendung cepatnya pergerakan raksasa liga Inggris lainnya. Tak heran kalau mereka kemudian lebih sering tercecer di urutan ketiga atau bahkan keempat.

Dasar-dasar inilah yang kemudian membuat pertemuan MU dan Arsenal mulai tak semenarik dulu, saat Patrick Vieira dan Roy Keane masih bercokol di klub masing-masing. Pertarungan terakhir subuh kemarin menjadi bukti. Kedua tim memang bermain indah, namun aroma emosi sudah sangat luntur. Tercatat hanya ada 1 kartu kuning buat Carlos Tevez yang dikeluarkan wasit. Sangat berbeda dengan pertarungan Mu vs Arsenal beberapa tahun yang lalu.

Meski begitu, harapan untuk menyaksikan sebuah pertarungan yang indah masih tetap ada. Manchester United hanya menang tipis 1-0, modal yang tak cukup besar untuk menyambangi Emirates Stadium minggu depan. Semoga saja pertarungan ketat masih akan tersaji, syukur-syukur kalau ada bumbu emosi dan tensi tingkat tinggi di dalamnya. Mari kita lihat minggu depan..