Jalan Terjal Menuju Istana

jk_wiranto

“ LEBIH CEPAT LEBIH BAIK “

Belakangan ini slogan di atas semakin sering saya dengar, utamanya sejak Jusuf Kalla resmi berpasangan dengan Wiranto dalam perjalanan menuju kursi RI1. Seperti yang saya ceritakan beberapa hari yang lalu, saya memang berada dalam inner circle JK, sehingga setiap pergerakan JK di kancah politik nasional dengan cepat membuat munculnya berbagai reaksi di sekitar saya.

“Perkawinan” JK dengan Wiranto sekaligus menjadi pembenaran atas slogan di atas. Saat calon presiden yang lain masih sibuk menggagas koalisi dan sibuk menimbang-nimbang pilihan cawapresnya, JK sudah melangkah lebih dahulu dengan menjatuhkan pilihan pada mantan Panglima ABRI itu. Padahal boleh dibilang JK adalah orang terakhir yang mengumumkan dirinya ingin ikut maju menjadi orang nomor satu di republik ini. Meski saat pemilu legislatif JK sempat mengumumkan kesediaannya untuk maju sebagai capres, namun hasil pemilu legislatif sempat memaksanya untuk menurunkan standar dan mencoba meneruskan jalinan kasih dengan SBY.

Semua orang tahu kalau jalinan kasih itu akhirnya tak berlanjut. Kata JK, keadaan yang memaksa dirinya berpisah dari SBY, keadaan jualah yang akhirnya membuat JK berani mengambil langkah besar, resmi mencalonkan diri sebagai calon presiden, apapun hasilnya nanti.

Sebagai orang Bugis, JK pastilah memegang teguh prinsip siri’. Prinsip di mana dia merasa lebih terhormat mati di dalam arena pertempuran daripada harus mengemis kekuasaan dari orang yang sudah menunjukkan penolakan kepadanya. JK sadar, SBY sudah terlanjur dimabuk kekuasaan sehingga terkesan jual mahal untuk menerima dirinya kembali sebagai pasangan untuk menakhodai perjalanan negeri ini. Bagi JK itu isyarat yang jelas untuk ikut mengangkat kapak perang dan mengajak SBY bertempur di medan pertempuran yang sesungguhnya. Soal apakah nanti kalah dan bahkan mati, itu urusan belakang. Dia telah berjuang untuk menegakkan harga dirinya, dan bagi dia hal itu tentu lebih terhormat.

JK dan orang-orang terdekatnya tentu sadar, jalan menuju istana negara sama sekali tak mulus. Bukan hanya berbelok dan berkerikil namun juga terjal menanjak. Dalam 5 tahun belakangan ini SBY sudah terlanjur kuat menancapkan popularitasnya di dunia politik tanah air. Sesuatu yang oleh lawan politiknya dianggap sebagai “kerjaan utamanya”, membangun citra dan membentuk opini publik.

Oleh sebagian orang SBY dianggap terlalu sibuk mengklaim berbagai keberhasilan pemerintahannya, tanpa peduli kalau keberhasilan itu adalah hasil kerja orang-orang lain yang ada dalam koalisi kabinetnya, termasuk JK tentu saja. Di sisi lain, mereka (SBY dan timnya) juga sibuk mengalihkan perhatian publik dari berbagai sisi kelemahan pemerintahannya. Sebuah taktik membangun opini publik dan citra positif yang sejauh ini bisa dibilang berhasil.

Adalah kerja keras yang luar biasa bagi JK untuk meruntuhkan sedikit popularitas SBY di ajang pertempuran menuju RI1.

Itu baru satu hadangan. Hadangan lain di depan mata adalah tidak solidnya partai GOLKAR menanggapi deklarasi JK-Wiranto. 200-an DPD tingkat 1 dan 2 menyatakan kekecewaannya pada deklarasi itu dan menganggap itu di luar mekanisme partai karena mereka tak diikutsertakan. Mereka menganggap pilihan untuk merapat ke Demokrat masih tetap sebagai pilihan yang logis dan masuk akal.

Selama puluhan tahun GOLKAR memang selalu berada di comfort zone, dekat dengan pemerintahan. Baru kali inilah mereka memilih jalan berbeda, berhadapan face to face dengan partai pemenang pemilu. Pilihan menjadi oposisi bukan pilihan yang lazim buat mereka. Tak heran kalau banyak kader partai yang belum apa-apa sudah merasa tak nyaman bila harus menerima kekalahan dan berada di luar garis kekuasaan. JK dan timnya tentu harus berjuang keras untuk menyatukan suara-suara dalam internal partai mereka. Sebelum mampu meraih suara rakyat, mereka tentu harus mampu meraih suara dalam tubuh mereka sendiri.

Hadangan berikutnya adalah dikotomi Jawa dan Non Jawa. Indonesia memang sudah lama merdeka, demokrasipun sudah dijalankan secara penuh selama kurang lebih 10 tahun belakangan ini. Namun, berbagai hal yang berbau rasial dan primordial masih saja menjadi bagian dari negeri ini.

Orang Indonesia masih belum bisa seperti orang Amerika yang tak peduli calon presiden mereka berkulit hitam yang merupakan kaum minoritas di AS. Yang penting bagi mereka adalah program yang dijanjikan. Kita sudah merdeka, kita sudah berdemokrasi, tapi belum semua dari kita yang sudah dewasa dalam berdemokrasi. Belum semua dari kita yang “makan program”. Meski menurut koran KOMPAS minggu lalu, sebagian besar masyarakat perkotaan sudah tidak perduli pada latar belakang suku tersebut, namun kekhawatiran tentu masih ada. Prosentase masyarakat yang tinggal di perkotaan dengan masyarakat di luar perkotaan tentu tidak seimbang.  Begitupun dengan prosentase jumlah masyarakat di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa.

Sulawesi Selatan sebagai basis utama kekuatan JK hanya memiliki sekitar 9 jutaan pemilih. Bandingkan dengan satu propinsi Jawa Timur yang mencapai 35-an juta pemilih. Sebuah perbandingan yang sangat jauh tentu saja. Sampai di sini sudah tergambar jelas betapa berat jalan yang harus ditempuh JK-Wiranto ke tangga istana.

Apapun itu, JK dan Wiranto tentu tak asal melangkah. Mereka orang-orang yang sudah berpengalaman dalam pertarungan politik tanah air. JK sudah pengalaman dalam hal meraih kemenangan bersama SBY sementara Wiranto sudah berpengalaman dalam mencicipi kekalahan. Tinggal bagaimana mereka mensinergikan pengalaman mereka dalam pertarungan nanti.

Deklarasi kemarin sekaligus membuat jam mulai berdetak. Hitungan menuju hari kemenangan atau hitungan menuju hari kekalahan, yang jelas detaknya membuat jantung semua orang yang terlibat di dalamnya berdegup kencang Mulai Jumat kemarin, JK dan Wiranto tentu tak bisa duduk tenang lagi. Rencana, strategi danperhitungan mulai digelar. Jalan terjal menuju istana mulai tampak di depan mata. Siapa yang salah langkah, atau menganggap enteng lawan, maka kekalahan sudah jadi kepastian.

Sementara itu di sekitar saya, para prajurit pendukung JKpun mulai mengasah senjata mereka, memperbaiki posisi tameng, merapatkan barisan, menyusun strategi dan membuat rencana sambil menantikan komando. Semua demi memuluskan jalan terjal bagi JK-Wiranto menuju ke Istana Negara. Saya mulai mencium aroma peperangan sesungguhnya. Saya mulai bisa merasakan detak jantung para prajurit itu, merasakan optiisme akan sebuah kemenangan menyeruak di angkasa. Ah, politik memang bisa membakar gairah banyak orang. [DG}

foto diambil dari : http://presidenku.com