Semua karena KPI

resized_fishbone-staff-promosiBeberapa orang anak muda nampak sibuk di depan sebuah laptop. Sesekali mereka berdebat seru, kelihatan serius tapi tetap dengan aroma canda khas anak muda. Di ruangan lain, seorang lelaki yang lebih tua juga nampak serius di depan komputer. Di sebelahnya, seorang wanita berjilbab juga nampak serius terpekur di depan selembar kertas dengan pulpen di tangan kanannya.

Itu adalah sebagian gambaran fenomena baru di kantor saya. Beberapa hari ini sebagian besar karyawan tiba-tiba menjadi sangat sibuk dan berkonsentrasi penuh pada satu hal. Faktor konsentrasi penuh yang berbalut tekanan kemudian membuat tingkat stress pada beberapa karyawan meningkat ke level maksimum. Akibat sampingannya, banyak yang kemudian tidak mampu mengontrol emosinya dan menjadi orang yang sangat sensitif dan mudah meledak.

Sebelum saya bercerita lebih lanjut, saya mau cerita dulu tentang latar belakang fenomena yang tiba-tiba muncul dan menguasai kantor kami belakangan ini.

Kantor kami sedang dalam proses menjadi sebuah perusahaan yang lebih profesional. Jalan ke sana mulai diretas sekitar pertengahan tahun lalu. Salah satu jalannya adalah dengan pembenahan manajemen yang diwujudkan dalam bentuk kontrak dengan salah satu konsultan HRD bertaraf nasional.

Konsultan itulah yang kemudian membawa sebuah metode pembenahan manajemen secara menyeluruh yang dikenal dengan nama KPI atau Key Performance Indicator. Dari bahasanya sudah ketahuan kalau metode ini adalah salah satu metode untuk bisa membuat tolak ukur terhadap kinerja karyawan. Sejauh yang saya tahu, KPI ini terdiri atas beberapa tingkatan proses. Mulai dari KPI Description di mana para karyawan diarahkan untuk lebih bisa mendeskripsikan jenis pekerjaan sekaligus membuat target dan strategi bila target itu tak terpenuhi. Berikutnya ada Fishbone yang kira-kira berarti pemetaan masalah dan cara menanganinya yang dituangkan dalam sebuah bagan serupa tulang ikan.

Setelah itu, para karyawan kemudian didorong untuk membuat 1YAP, atau one year action plan, rencana kerja satu tahun lengkap dengan prediksi waktu pekerjaan, kontrol cek point dan budget bila ada. Selepas itu ada yang namanya SIOS, atau Strategic Initiavite in One Sheet, di mana semua langkah-langkah atau metode sebelumnya dirangkum dalam satu lembar (one sheet) dengan bentuk yang lebih ringkas, sekaligus dilengkapi dengan metode kerja berbentuk flowchart. Setelah tahap ini rampung, masih ada 2 langkah lagi yaitu : KPI Reporting dan PDCA (Plan Do Check and Action) tapi karena takut anda keburu bosan, maka penjelasannya mungkin saya uraikan nanti saja, lagipula saya belum terlalu paham kedua metode itu.

Tahap awal, karyawan yang ikut training terlebih dahulu adalah karyawan di level departemen head ke atas. Tentu saja, karena mereka adalah para pengambil keputusan. Setelah selesai, giliran sebagian dari merekalah yang kemudian “menularkan”?ilmu ini kepada level staff ke bawah. Penularannya dilakukan dalam bentuk in house training yang diarahkan langsung oleh manajer HRD.

Nah, in house training yang diikuti oleh para staff inilah yang kemudian membuat munculnya fenomena baru yang jadi headline di lingkungan kantor kami minggu-minggu ini. Sebenarnya para staff sudah mulai mengikuti training sejak akhir tahun lalu, namun belum terlalu intensif hingga kemudian tidak terlalu mendapatkan porsi perhatian yang serius. Hari sabtu (25/4) kemarin in house training KPI berlanjut. Kali ini porsinya lebih besar dan tentu saja lebih serius. Setiap peserta diharapkan mampu membuat KPI berdasarkan urutan-urutan metodenya hingga sampai ke level pembuatan SIOS.

*****

Bagi sebagian besar staff yang kegiatan sehari-harinya jauh dari hal-hal berbau manajemen, tugas ini sungguh-sungguh menyiksa. Mereka yang biasanya hanya bergul dengan kerjaan rutin, apalagi yang sehari-harinya bertugas di lapangan tiba-tiba merasa pusing tujuh keliling karena harus dijejali sebuah pekerjaan yang mengandalkan logika dan kemampuan menyusun kata-kata. Parahnya lagi, sebagian besar kerjaan ini berhubungan dengan kemampuan komputer, khususnya microsoft word dan excel karena di dalam SIOS ada tabel, bagan, flowchart dan grafik sementara masih banyak staff di kantor kami yang tak akrab dengan komputer meski milenium telah berganti nyaris 10 tahun.

Akhirnya, semenjak hari sabtu,puluhan orang staff mulai kasak-kusuk, kebingungan dan akhirnya stress. Apalagi tugas ini dikait-kaitkan dengan jumlah bonus tahunan yang akan dibagi nantinya. Setiap harinya-bahkan di hari Minggu-sebagian besar para staff berkumpul, berkasak-kusuk, berdiskusi, bahkan sebagian menggerutu dan memaki departemen HRD yang mereka anggap telah menumpahkan sebuah kesusahan baru di kehidupan mereka. Setiap harinya, pembicaraan selalu berkisar antara KPI, KPI dan KPI. Kerjaan utama mereka bahkan telah terbengkalai. Para supervisi proyek sibuk di kantor, para staff keuangan tak peduli lagi pada rentetan tugas mereka, semua nyaris sama, menumpahkan segala pikirannya kepada satu tujuan, mengerjakan tugas KPI.

Saking serius dan tertekannya mengerjakan KPI, beberapa orang mulai merasa dihantui. Mereka tak bisa tidur nyenyak karena bayangan KPI yang begitu rumit bagi mereka terus memenuhi kepala, mengambil tempat yang seharusnya diisi bayangan lain yang lebih indah. Beberapa orang mulai stress, tingkat emosinya menjadi tidak stabil. Seorang staff HRD yang aslinya memang suka bete akhirnya menjadi mahluk yang lebih menyeramkan karena sepanjang hari wajahnya tertekuk lusuh dan sengat gampang tersulut emosinya. Korbannya kemudian adalah para bawahan, orang-orang yang berada di kasta paling rendah dalam struktur organisasi kantor kami. Sebuah kesalahan kecil harus dibayar dengan rentetan ceramah yang sungguh tak enak di kuping.

Di divisi yang berbeda gesekan-gesekan kecil mulai terjadi sesama staff satu divisi. Semua orang tiba-tiba menjadi sangat sensitif dan gampang tersinggung. Hanya kedewasaanlah yang kemudian mampu membuat suasana sedikit lebih dingin. Beberapa orang staff yang juga facebook-ers tanpa segan memasang status yang menggambarkan tingkat stress mereka. Isinya ada yang berbunyi “KPI membuatku gila”?atau “Arrrgghhh..KPI..!!!”, atau status semacam itulah. Beberapa orang yang sudah terlanjur putus asa kemudian memilih jalan menyerah. Dengan nada putus asa mereka berucap, “h, tak apalah tak dapat bonus..”, atau yang lebih ekstrem lagi berucap, “Kalau begini terus, lebih baik saya mengundurkan diri saja”. Ada juga yang mengaku lebih baik disuruh memasang pipa air sepanjang ratusan meter daripada harus disiksa dengan pekerjaan membuat KPI seperti ini.

*****

Bagi saya, ini adalah sebuah fenomena yang menarik. Bagaimana sebuah sistem baru yang hendak disuntikkan di lingkungan kerja kami harus melalui sebuah tahap yang menelan korban. Bagi saya ini adalah sebuah bentuk lain dari revolusi, di mana sebuah perubahan mendadak harus menelan korban jiwa. Bedanya hanyalah bahwa apa yang terjadi sekarang adalah revolusi dalam skala kecil yang tidak sampai menelan korban jiwa.

Seperti halnya sebuah revolusi betulan, revolusi yang terjadi di kantor kami juga diamati secara berbeda oleh sebagian orang. Ada juga yang tetap pesimis dan skeptis terhadap upaya revolusi ini. Mereka menganggap ini semua akan sia-sia bila orang-orang yang menjalankannya dan kebetulan berada di atas adalah orang yang sama, orang yang tidak membuka diri dan memang ingin berubah. Bagi sebagian besar lainnya, atau tepatnya bagi sebagian besar orang yang merasa dirinya adalah korban, revolusi yang terjadi ini sungguh menyiksa, tak heran kalau banyak juga yang mengutukinya meski tentu saja dilakukan di belakang sang manager.

Di antara orang-orang yang sedang dirundung stress mengerjakan tugas itu, saya mungkin menjadi orang yang paling menikmatinya. Saya punya metode sendiri untuk memahami KPI dan segala pernak-perniknya itu. Saya melakukan pendekatan logika plus mencoba menggunakan kemampuan berkata-kata dan tentu saja berkomputer saya. Bagi saya metode KPI ini tidak lebih dari sebuah teori manajemen sederhana yang gampang dijabarkan menggunakan logika dan kata-kata. Sisanya hanya skill berkomputer saja untuk menyempurnakannya. Toh,apa yang kita tuangkan dalam KPI itu adalah hal-hal yang telah kita kerjakan sehari-hari, pekerjaan yang telah mendarahdaging dalam keseharian kita.

Nah, kemampuan berlogika dan berkomputer saya kemudian ternyata menjadi “barang jualan”?yang sangat laris belakangan ini. Teman-teman dari berbagai divisi kemudian aktif mem-booking saya untuk membantu mereka memahami KPI dan tentu saja membuatkan bagan, flowchart dan grafik yang bagi mereka adalah momok yang menakutkan. Saya melakukannya dengan senang hati, meski belakangan harus mengorbankan pekerjaan utama saya. Saya hampir tak bisa duduk tenang karena setiap beberapa saat ada saja teman-teman yang minta tolong diajari cara membuat tabel, bagan, flowchart dan grafik. Bahkan beberapa hari ini saya terpaksa pulang malam demi membantu mereka.

Secara bercanda saya sempat bilang kalau bantuan saya tak gratis, ada imbalannya. Minimal donat,kata saya waktu itu. Di dekat kantor kami memang ada toko yang jualan donut dengan brand “donat kampung”?, harganya murah tapi rasanya lumayan, tidak bikin eneg macam J-Co atau Dunkin. Rupanya candaan saya dianggap serius oleh sebagian dari mereka. Maka, demi membayar bantuan saya, donat kemudian mengalir lancar ke meja kerja saya. Belakangan bukan Cuma donat tapi ada juga yang membayarnya dengan burger, minuman coklat dingin dari cafe yang saya tak tahu namanya, rokok dengan jumlah yang gila-gilaan dan KFC untuk makan malam. Sungguh luar biasa…itu semua datang tanpa saya minta. Saya sungkan juga sebenarnya, mengingat saya awalnya Cuma bercanda. Apalagi semua bayaran itu kemudian membuat saya merasa terikat dan harus sepenuh hati membantu mereka.

Begitulah, semua keriuhan ini hadir gara-gara KPI. Ada yang susah dan ada yang seperti saya, senang dan kenyang.