Arrivederci Gli Azzuri

Antoni Di Natale, kecewa berat setelah gagal membawa Italia ke 16 besar (foto:Getty Images)

.

Santiago Bernabeau, 22 Mei 2010. Jose Mourinho baru saja mengantar Inter Milan sebagai juara Champions Eropa, sekaligus melengkapi 2 gelar lokal yang mereka rengkuh sebelumnya. Inter Milan seperti membawa kembali arwah juara-juara Italia yang sempat beristirahat selepas final Champions 2007. Selepas kemenangan AC Milan, wakil-wakil Italia kemudian selalu memberi jalan kepada tim-tim dari Inggris dan Spanyol. Kemenangan Inter Milan kemudian dianggap sebagai momentum kebangkitan kembali sepakbola Italia seperti era 90-an.

Sebenarnya ada anomali pada perayaan Inter Milan tersebut. Dari 11 pemain inti yang dipasang plus beberapa pemain pengganti, tidak ada satupun pemain yang berdarah asli Italia. Semuanya adalah pemain import, bahkan sang peracik strategipun asli Portugal. Beruntung pemilik klub masih berdarah Italia dan bukannya import seperti pemilik Manchester United atau Liverpool.

Selang kira-kira sebulan kemudian, kenyataan di atas berbanding lurus dengan pengumuman skuad Italia yang akan dibawa ke Afrika Selatan. Tak ada seorangpun pemain Inter Milan di antara 23 nama yang dikantongi Marcello Lippi. Bukti kalau sebenarnya Inter Milan memang bergantung nyaris 100% pada kemampuan legiun asing. Tak salah juga kalau ada yang mengatakan bahwa skuad Italia tidak akan melangkah jauh di world cup edisi ke-19 ini. Kenyataan yang disodorkan Inter Milan adalah jawabannya. Italia masih kekurangan stok pemain yang levelnya pas untuk kejuaraan berkasta tertinggi seperti piala dunia. Kemudian datang deretan pembenaran lainnya. Hasil buruk di kualifikasi plus cedera sang dirijen serangan bernama Andrea Pirlo di menit-menit akhir menjelang terbang ke Afrika Selatan. Italia berdiri di jejerang belakang dalam antrian para unggulan. Tak ada yang cukup rasional untuk menyandingkannya dengan tim sekelas Argentina, Spanyol dan Brasil.

14 Juni 2010. Italia memulai langkahnya dengan kaki yang berat. Paraguay hanya ditahan imbang. Start yang cukup buruk untuk sebuah tim yang berlabel “Juara Bertahan”. Kisah seri Italia di pertandingan pertama hampir sama dengan kisah mereka di tahun 1982, 1994 dan 2006. Keduanya diawali dengan start yang buruk, tapi diakhiri dengan finish di partai final plus 2 tropi juara. Sampai di sini masih banyak orang yang percaya kalau Italia tetap bisa melangkah jauh. Toh, Italia juga tidak sendiri. Masih ada Inggris dan Spanyol yang sama-sama jeleknya.

6 hari kemudian pandangan orang mulai berubah. Pesta pendukung New Zealand pecah, untuk pertama kalinya mereka mampu menahan juara dunia. Prestasi buat mereka, aib buat Italia. Meski popularitasnya terus menurun, Italia masih percaya diri. Satu pertandingan sisa harus mereka menangkan, bahkanpun dengan hasil seri mereka akan tetap melanjutkan langkah meski dengan resiko harus berhadapan dengan wakil Eropa lainnya, Belanda.

Dan tragedi itu terjadi di 24 Juni 2010 di Johannesburg. Slovakia yang baru saja jadi negara merdeka setelah pecah dengan Czech Republic ternyata bermain dengan gagah berani, sementara Italia masih saja merindukan seorang Andrea Pirlo yang masih belum tergantikan. Iaquinta seperti seorang artis yang demam panggung dan kebingungan di kotak penalti lawan. De Rossi yang biasanya garang tiba-tiba jadi canggung dan akhirnya membuat kesalahan fatal yang berbuah hukuman dari Slovakia. Kesalahannya diulang lagi di babak kedua yang membantu terciptanya gol ketiga Slovakia.

Italia butuh banyak perbaikan di barisan belakang. Cannavaro sudah lemah dan tak segarang dulu. Sekarang pemegang caps tim nasional terbanyak itu jadi titik lemah di depan kiper. Masuknya Pirlo dan Quagliarella menjadi bukti kalau Italia memang butuh tokoh kreatif di lini tengah plus pejuang di garis depan. Terlambat memang meski mereka sempat memaksa jantung para pendukung berdetak lebih cepat. Setelah lewat lebih dari 5 menit dari waktu normal, akhirnya Italia resmi menemani Perancis untuk masuk kotak. Kedua alumnus final 2006 itu harus memesan tiket pulang lebih awal, menjauh dari tim-tim lain yang masih mempersiapkan diri untuk pertandingan berikutnya.

Tak perlu komentar panjang lebar, Italia memang seharusnya berbenah. Banyak hal yang jadi tanggung jawab Cesare Prandelli sebagai pengganti Lippi pasca WC2010 meski tak seberat tanggung jawab Laurent Blanc selepas Raymond Domenech. Italia harus cepat-cepat menempa Montolivo agar bisa selevel dengan Pirlo, atau siapa tahu ada keberuntungan dalam 2 tahun ini dan mereka bisa menemukan pengganti sepadan untuk Pirlo. Setidaknya, masih ada waktu untuk berbenah sebelum Euro’2012 datang. Italia tetaplah Italia yang meski pernah jatuh tapi tetap akan bisa berdiri. Mereka pernah jatuh lebih buruk dari ini, tapi mereka juga tetap bisa bangkit selepas kejatuhan.

Arrivederci Gli Azzuri.