Ketika Singa Berhenti Mengaum

Keceriaan pemain Jerman selepas gol Mueller (foto:FIFA.com/Getty Images)

13 Juni 1944, tepat seminggu setelah pendaratan tentara sekutu di Normandia, Hitler mulai melepaskan senjata rahasianya, roket V-1 ( V dari vergeltung atau pembalasan) ke Inggris Selatan. Senjata ini berbentuk pesawat tanpa pilot yang bermuatan bahan peledak. Bom ini memang tidak mempengaruhi lagi jalannya peperangan, namun V-1 yang secara membabi buta diarahkan ke Inggris Selatan, utamanya London yang luas dengan berjuta-juta penduduknya, tetap merupakan senjata berbahaya. Perang ini dinamakan “Battle of London”, di mana Inggris harus bersusah payah menghadapi “lawan yang tidak kelihatan”.

67 tahun berselang, di sebuah kota bernama Bloemfontein, Jerman sekali lagi menyerang langsung ke jantung pertahanan Inggris. Bedanya, kali ini mereka bukan lagi menyerang dengan V-1, tapi dengan sebiji bola kaki bernama Jabulani. Bukan hanya sekali, tapi total 4 kali orang-orang Jerman itu berhasil melakukannya. Persis seperti ketika Luftwaffe atau angkatan udara Jerman melakukannya 67 tahun yang lalu. Jerman menghempaskan Inggris di babak 16 besar World Cup 2010. Sekali lagi Inggris terhenti di babak 16 besar, sama seperti pencapaian mereka 4 tahun yang lalu.

Pertemuan kali ini adalah pertemuan ke-27 kedua tim. Sebelumnya mereka sudah saling mengalahkan 12 kali dan sisanya seri. Seperti biasanya, aroma panas sudah menyengat sebelum perang digelar. Franz Beckenbauer sudah menyulut api ketika dia menuding Inggris terlalu bodoh ketika kembali ke masa lalu dengan pola kick and rush yang membuat mereka harus tertahan seri dari USA. Publik Inggris membalasnya dengan artikel berjudul plesetan, ” Kick and Crush You, Franz”. Belakangan, Franz meminta maaf ke publik Inggris, tapi sudah terlambat. Api sudah terlanjur tersulut.

Di lapangan, Inggris memulainya dengan canggung meski Jerman juga tak kalah canggungnya. Perlahan tapi pasti, 10 orang berseragam merah dengan lambang tiga singa di dada kiri mulai bisa menguasai pertandingan. Mereka menekan ketat, membuat Philip Lahm dan Jerome Boateng yang biasanya rajin naik membantu serangan harus tetap siaga di garis belakang. Meski begitu, anak-anak Inggris sama sekali tak bisa menyentuh kotak 16 milik Jerman.

Inggris terus menyerang, mereka lupa kalau Jerman punya strategi Blietzkrieg, menyerang secepat kilat. Inilah yang mereka praktekkan hingga hanya dengan dua sentuhan, Klose mampu mencetak gol ke-11 nya selama pagelaran final piala dunia. Inggris tersentak, mereka kelimpungan. Sebelum benar-benar bisa kembali sadar mereka kembali jadi korban blietzkrieg ketika Podolski menuntaskan sebuah tusukan dari sebelah kanan pertahanan Inggris. Matthew Upson sempat membalas kesalahannya dengan satu gol yang membakar semangat pasukan Inggris.

Ketika babak pertama hampir saja selesai, sebuah tendangan dari Frank Lampard mengembalikan kenangan final di Wembley tahun 1966. ketika itu Geoffrey Hurst menendang bola ke gawang Jerman (barat), bola mengenai mistar dan memantul ke garis gawang. Wasit berbincang dengan hakim garis sebelum akhirnya memutuskan kalau itu sebuah gol, meski itu sangat meragukan. Empat puluh empat tahun kemudian, Frank Lampard melakukan hal yang sama. Tendangannya menyentuh mistar, memantul ke tanah sebelum Jabulani dipeluk Neuer. Kali ini wasit tak perlu berdiskusi dengan hakim garis karena dengan tegas hakim garis menolak mengakuinya sebagai gol meski lewat tayangan ulang jelas terlihat kalau bola sudah melewati garis gawang. Keadilan telah ditegakkan, mungkin itu yang ada di benak orang-orang Jerman. Selepas pertandingan ini orang-orang Jerman bisa berhenti bercerita tentang gol Hurst, karena mereka sudah mendapatkan balasannya malam itu.

Inggris kehilangan momentum ketika mereka harus masuk ke kamar ganti selama 15 menit. Walhasil ketika babak kedua dimulai mereka kembali harus memulai dari awal. Hampir berhasil ketika Lampard sekali lagi menyasar mistar. Lampard menjadi tokoh utama malam itu ketika tendangan bebasnya membentur barisan pertahanan Jerman, bola jatuh di kaki Gareth Barry yang dengan canggungnya kembali kehilangan possession. ?Kesalahan Barry dipergunakan sebaik-baiknya oleh anak muda Jerman sekali lagi lewat serangan blietzkrieg.

Mueller yang baru saja naik pangkat dari timnas U-21 menghukum David James dengan tendangan kerasnya. Moral Inggris jatuh, persis ketika Luftwaffe memborbardir kota London di tahun 1940. Jerman tidak memberi kesempatan kepada anak asuhan Capello untuk bernafas ketika Mesut Oesil, ?anak muda yang juga baru naik pangkat itu dengan kecepatannya meninggalkan Glenn Johnson sebelum memberi umpan manis ke kaki Mueller. Di bangku cadangan, David Beckham, pemain Inggris paling flamboyan sudah tahu kalau dia harus segera bersiap mengepak kopernya.

Dengan paniknya Capello memasukkan Joe Cole, Emile Heskey, lalu Shaun Wright-Philips namun tak ada perubahan berarti. Kuartet Friedrich, Mertesacker, Lahm dan Boateng terlalu disiplin di depan Neuer, pun dengan Khaderi yang siap mematahkan semua seranganInggris sebelum dekat dengan kotak penaltinya. Menjelang akhir pertandingan, Rooney yang belum pernah mencetak sebiji golpun di Afsel 2010 hanya menendang dan berlari dengan setengah hati. Hanya Gerard yang terus berusaha, seperti yang biasa dilakukannya di Liverpool. Gerard belum mau menerima kalau dia harus pulang, tak seperti setengah dari rekan timnya yang mungkin sudah berpikir tentang destinasi liburan musim panas sebelum liga digulirkan lagi 2 bulan ke depan.

Ketika Jorge Larrionda meniupkan peluit panjangnya, Gerard menyendiri di sisi permainannya. Sedih dan tak percaya kalau Jerman baru saja meusukkan senjata rahasia mereka. Mungkin dia tak terpikir untuk bertukar kostum seperti yang dilakukan rekan-rekannya meski ini piala dunia terakhirnya. Sulit membayangkan Gerard, Lampard dan Terry berlari untuk three lions 4 tahun ke depan di Brasil. Gerard akan mengenang piala dunia terakhirnya sebagai piala dunia yang pahit. Mungkin untuk waktu yang lama.

Sekali lagi, tiga singa harus berhenti mengaum. Sama seperti 4 tahun yang lalu ketika mereka dijinakkan Potugal. Kali ini Jerman yang melakukannya, lawan yang mereka taklukkan beramai-ramai lebih dari 60 tahun yang lalu. Entah kapan mereka bisa mengaum terus hingga partai puncak, mungkinkah 4 tahun ke depan ? atau mungkin lebih cepat ? kita lihat saja nanti.