Luis Aragones, sang Penakluk Matador

Luis Aragones, pelatih yang dianggap berhasil membangun fondasi kuat tim nasional Spanyol

Spanyol sudah resmi menjadi juara dunia ke-19 sekaligus menjadi negara kedelapan yang pernah menjadi yang terbaik dalam ajang FIFA World Cup sejak tahun 1930. Puja-puji tak pelak diguyurkan ke squad dari semenanjung Iberia itu. Dari David Villa, Xavi Hernandez, Iker Casillas hingga Sergio Ramos dianggap sebagai pemain-pemain terbaik yang mampu bermain secara tim. Sementara itu di belakang layar, sosok Vicente Del Bosque juga tak lepas dari pujian karena dianggap berhasil meracik hampir dua lusin bakat-bakat luar biasa itu menjadi sebuah kesatuan tim yang utuh dan nyaris tak tertandingi.

Tapi mungkin ada sebagian orang yang lupa tentang sosok Luis Aragones. Pelatih berusia 72 tahun ini sebenarnya pantas disebut sebagai peletak fondasi utama keberhasilan Spanyol di Afsel 2010. Aragones bisa dibilang sebagai pelatih pertama yang berhasil menghapuskan sekat-sekat yang selama puluhan tahun selalu ada dalam tubuh tim nasional Spanyol.

Sejak dulu, Spanyol sudah terkenal sebagai salah satu gudang penghasil pemain-pemain berbakat. Salah satu klub dari negeri para matador ini bahkan menjadi raja Eropa dalam waktu yang lama dan hingga sekarang memegang rekor sebagai tim pegoleksi gelar juara Champion Eropa terbanyak. Spanyol terkenal sebagai tim yang sering tampil mentereng dalam babak kualifikasi namun kemudian melempem dalam ajang yang sebenarnya. Keberhasilan klub-klub asal Spanyol tidak gampang menular dalam langkah tim nasional mereka.

Salah satu alasan yang mengemuka adalah karena adanya sekat-sekat politis dalam tubuh tim nasional Spanyol. Seperti yang kita ketahui, secara politis dan historis, Spanyol memang terus dirongrong oleh perpecahan yang sudah terjadi sejak tahun 1930-an. Beberapa daerah terus mengumandangkan keinginan untuk berpisah dari pemerintahan pusat, sebut saja daerah Catalan dan Basque yang teriakan separatisnya paling kencang. Ini tentu belum termasuk daerah Andalusia dan kepulauan Canary yang meski relatif lebih tenang namun tetap berpotensi menyimpan bara.

Perpecahan politis itu menjalar ke lapangan sepakbola. Makanya tidak heran bila rivalitas Barcelona dan Real Madrid dianggap sebagai rivalitas paling berdarah di seantero Eropa. Nyaris tak ada rivalitas lain yang bisa menyamai rivalitas kedua tim ini, tentu saja karena bukan hanya persaingan dalam hal prestasi yang terjadi di sana melainkan juga persaingan bernuansa politis yang sudah menahun dan berkarat.

Kondisi tak nyaman ini juga kerap terjadi kala para pemain berbeda daerah itu berbaju timnas. Tak mudah bagi mereka untuk bekerja sama di bawah bayang-bayang rivalitas politik yang sudah terlalu kental itu. Maka tidak heran kalau banyak pengamat yang menuding rivalitas politik itu menjadi salah satu penyebab jarangnya Spanyol berbicara lantang di ajang Internasional sekelas Piala Dunia dan Piala Eropa.

Tahun 2004, selepas keterpurukan untuk kesekian kalinya di ajang Euro’2004 Luis Aragones diberi kepercayaan menggantikan Inaki Saez. Langkah pertama yang diambil oleh pelatih kelahiran 28 Juli 1938 ini adalah menghapus sekat-sekat politis yang selama ini terjadi dalam tubuh tim nasional Spanyol. Aragones juga berperan besar dalam menyatukan bakat-bakat luar biasa yang ada di seantero Spanyol, termasuk keputusan kontroversialnya untuk tidak lagi menggunakan jasa sang pangeran Bernabeau, Raul Gonzales.

Di tangan Aragones, bakat-bakat dari berbagai daerah yang selama ini bergolak dan saling bersaing bisa disatukan pelan-pelan. Nama-nama seperti Casillas dan Torres dari kota Madrid bisa bekerjasama dengan harmonis bersama nama-nama seperti Puyol dan Xavi dari Catalunya. Sebuah kejutan mengingat sebelumnya di piala dunia 2002 ada kabar tak mengenakkan tentang perselisihan antara pemain asal Barcelona dan Real Madrid di ruang ganti pemain. Aragones bahkan berani memanggil pemain berkulit hitam ke dalam tim bernama Marcos Senna, sebuah langkah yang sudah lama tak diambil para pelatih tim nasional Spanyol sebelum Aragones.

Polesan Aragones memang tak langsung membuahkan hasil. Di Germany’2006 Spanyol kandas di perdelapan final dari tim Perancis yang kala itu masih mengkilap karena sosok Zinedine Zidane yang memang mengenal dengan baik kekuatan sepakbola Spanyol karena lama mencari nafkah di sana. Selepas kegagalan di Jerman itu, Aragones kembali berbenah. Salah satunya adalah mencari formasi paling tepat dengan stok pemain yang tersedia.

Aragones kemudian menemukan kalau ternyata David Villa dan Fernando Torres bisa dipasang bersamaan meski sebelumnya banyak yang meragukan kalau kedua striker itu bisa bekerjasama mengingat tipikal mereka yang nyaris serupa. Aragones juga memberi kepercayaa penuh pada Marcos Senna untuk menjadi pemain jangkar di lini tengah. Kepercayaan yang tidak disia-siakan oleh pemain berdarah Brasil itu. Senna mampu mengemban tugas sebagai pemotong serangan lawan sekaligus pengatur serangan awal kala timnya menyerang. Kerja keras Senna membuat pemain sekelas Xavi dan Iniesta bisa berkreasi dengan tenang.

Formasi mumpuni Aragones berbuah manis. Aragones mampu membawa timnas Spanyol menjadi juara untuk kedua kalinya di pagelaran Euro’2008. Perlahan-lahan reputasi tim nasional Spanyol mulai terangkat seiring reputasi klub-klub mereka di ajang liga Champion Eropa. Selepas menjuarai Euro 2008 Aragones beranjak dari kursinya. Dia mengaku kelelahan dan tak punya passion lagi untuk melatih para matador-matador itu. Fanerbache menjadi tujuan selanjutnya, dan Vicente Del Bosque terpilih mewarisi tim yang sudah rapih dari tangan Aragones.

Del Bosque sungguh pelatih yang beruntung. Dia mewarisi bakat-bakat luar biasa yang sudah diracik sedemikian rupa oleh Luis Aragones. Memang ada pelatih-pelatih lain yang juga memegang peranan penting dalam membentuk karakter dan skill luar biasa dari pemain Spanyol seperti Pep Guardiola, namun tanpa kerja keras Aragones yang menyatukan para pemain ketika berbalut seragam tim nasional Spanyol bisa saja hasil pencapaian Spanyol di Afsel 2010 akan berbeda.

Del Bosque hanya melakukan sedikit perubahan dalam tim. Sadar kalau peran Senna tak tergantikan, Del Bosque meminta jasa dua orang pemain untuk menggantikannya. Adalah Xabi Alonso dan Sergio Busquet yang mengemban tugas yang dulu dikerjakan Senna seorang diri. Sedikitnya perubahan dari Del Bosque menjadi bukti nyata betapa berharganya warisan yang ditinggalkan oleh Luis Aragones.

Tak salah kalau dalam suasana pesta kemeriahan yang digelar warga Spanyol terselip rasa terima kasih yang besar kepada sosok Luis Aragones, sang penakluk para Matador.