Kecintaan seorang penggemar bisa begitu luar biasa. Dari yang meluangkan waktu untuk mengumpulkan segala hal tentang idolanya, sampai yang membangun sesuatu yang dipersembangkan untuk idolanya. Salah satunya ada di Koya Timur, Jayapura.
TANGGAL 19 MARET 1995 seharusnya jadi hari yang biasa saja bagi banyak orang Indonesia. Tapi tidak bagi buat seorang Nike Ardilla. Tanggal itu jadi akhir perjalanan kehidupannya. Sebuah kecelakaan maut di subuh yang dingin membuatnya meregang nyawa, meninggalkan dunia yang sedang memujanya. Bukan hanya kerabat, sahabat dan keluarganya yang bersedih, tapi juga ribuan penggemarnya di seluruh Indonesia. Nike pergi begitu cepat, belum lagi berusia 19 tahun meski sudah berada di puncak ketenaran sebagai penyanyi dan bintang film.
Raden Rara Nike Ratnadilla Kusnadi lahir 27 Desember 1975 dan memulai karirnya di tahun 1987. Adalah tangan dingin seorang Deddy Dores yang mengantarnya ke gerbang kesuksesan. Album yang bertajuk “Seberkas Sinar” dirilis tahun 1988 dan laku terjual 500.000 kopi di pasaran. Lalu tahun 1989 albumnya yang bertajuk “Bintang Kehidupan” laku keras di pasaran Indonesia dan Asia Tenggara hingga mencatat rekor penjualan 2.000.000 kopi. Sejak itu, namanya menyeruak ke papan atas selebritas Indonesia.
Kepergiannya di dini hari yang naas 19 Maret 1995 itu tidak serta merta membuat namanya hilang dan dilupakan. Sekelompok penggemarnya terus memujanya, setiap tahun mereka menggelar ziarah rutin ke makam sang pujaan. Kelompok itu datang dari berbagai daerah di Indonesia. Bukan hanya yang berada di sekitar Bandung saja. Mereka menziarahi makam Nike di Ciamis, lalu berlanjut ke Jln. RE Martadinata, menabur bunga di tempat Nike mengalami kecelakaan.
Persis seperti yang dilakukan sekelompok pemuja Jim Morrison sang pentolan band The Doors, atau seperti kelompok penggemar “Sang Raja” Elvis Presley. Berkumpul dan berziarah ke makam, menapaktilasi perjalanan karir idola mereka.
*****
“SAYA BELUM PERNAH (IKUT ZIARAH),” kata Dedi Budiman (32 tahun). “Tahun lalu pernah rencana mau ke sana, diajak sama teman yang sama-sama penggemar Nike Ardilla di Jayapura. Tapi pas dekat acara ada saya kerja,” katanya lagi.
Dedi satu dari ribuan penggemar Nike Ardilla yang sampai hari ini masih menempatkan sang idola di daftar tertinggi. Meski belum pernah mengikuti ritual ziarah ke makam Nike Ardilla seperti “die hard fans” lainnya, namun Dedi punya sesuatu yang jarang dimiliki para penggemar Nike Ardilla lainnya. Dia punya rumah makan sederhana yang dipersembahkannya buat sang idola.
Rumah makan Seberkas Sinar, terletak di Koya Timur, distrik Muara Tami, kota Jayapura. Meski masuk dalam wilayah administrasi kota Jayapura, namun letaknya tidak dekat dari pusat kota. Mungkin sekira 50 km sebelah timur, menuju arah Skouw yang juga adalah perbatasan Indonesia – Papua Nugini.
Saya tidak sengaja menemukan rumah makan ini. Ketika menuju Skouw mata saya tertumbuk pada sebuah bangunan sederhana di tepi jalan dengan spanduk bergambar wajah Nike Ardilla. Motor yang melaju tidak terlalu cepat membuat saya bisa mengenali tulisan “RM. Seberkas Sinar” yang terpampang di spanduk itu. Tulisan dan foto itu sukses membuat saya penasaran dan berniat untuk mampir sepulangnya saya dari Skouw.
Saya beruntung, ketika akhirnya mampir sepulang dari Skouw saya bisa bertemu langsung dengan Dedi Budiman sang pemilik rumah makan. Dedi yang berbadan pendek dan gempal mengenakan kaos hitam bergambar wajah Nike Ardilla. Kaos itu katanya dia beli di Nike Ardilla Fans Club.
“Saya bangun sejak 2015,” katanya ketika saya tanya sejak kapan rumah makan itu berdiri. Rumah makan itu cukup sederhana. Lebarnya mungkin sekira 8 meter dengan panjang 6 meter ke belakang. Ada delapan meja kayu sederhana dengan kursi plastik masing-masing empat buah setiap meja. Semua ditata simetris memenuhi ruang bagian depan.
Di salah satu pojok ada lemari etalase berdinding kaca. Isinya kaset, VCD dan buku tentang Nike Ardilla. Di dinding sebelah kiri yang dominan berwarna hijau terpasang dua foto Nike Ardilla. Di salah satu dinding bagian dalam, foto Nike Ardilla dengan ukuran yang lebih besar juga terpasang rapi dengan bingkainya.
Dedi mengaku mulai menyukai Nike Ardilla sejak tahun 1994, masa ketika Nike Ardilla memang sudah berada di puncak ketenaran. Sejak saat itu, Dedi mengaku setiap mampir ke toko kaset, dia selalu mencari dan membeli kaset Nike Ardilla. Ketika Nike pergi, rasa cintanya tidak meredup bahkan terus bersinar.
Dedi asli Toraja-Makassar, datang ke Papua sejak tahun 2008. Awalnya dia bekerja di sebuah kolam pemancingan yang memang banyak terdapat di daerah Koya Barat dan Koya Timur. Setelah merasa tabungannya cukup, barulah dia memberanikan diri membuka usaha sendiri, sekaligus memamerkan kecintaannya pada sosok Nike Ardilla.
“Ibu di sebelah (rumah makan) ini orang Wonomulyo. Dia yang kasih lihat fotonya rumah makan Nike Ardilla di Wonomulyo,” kata Dedi. Di daerah Wonomulyo, Sulawesi Barat memang sudah lebih dulu berdiri sebuah warung makan yang bertema Nike Ardilla. Pemiliknya bernama Muhammad Takdir yang juga seorang pemuja Nike Ardilla. Rumah makan itulah yang menjadi inspirasi Dedi untuk membuat yang serupa di Koya Timur.
Saya pernah mampir di rumah makan itu tahun 2009. Rumah makan yang menurut saya juga cocok disebut sebagai museum Nike Ardilla. Penuh dengan benda-benda memorabilia dari Nike Ardilla, bahkan sampai pecahan kaca mobil yang dikendarainya ketika kecelakaan terjadi. belakangan Takdir juga membuat rumah makan dengan tema yang sama di kota Makassar.
Baca juga: Seberkas Sinar Yang Terus Menyala di Wonomulyo
“Waktu saya bikin ini, saya pernah SMS kakaknya Nike Ardilla. Tapi tidak dibalas,” kata Dedi. Meski begitu, niat Dedi tidak surut. Dia tetap mendirikan rumah makan yang diberinya tema Nike Ardilla.
Dari segi tampilan, rumah makan ini memang masih kalah jauh dari rumah makan bertema sama yang dimiliki Muhammad Takdir di Wonomulyo. Rumah makan punya Dedi masih terbilang sederhana dan benda-benda memorabilia Nike Ardilla pun masih terhitung standar. Tapi, semangat Dedi bisa dibilang luar biasa. Puluhan tahun sejak perginya sang idola, dia tetap menyalakan bara api kekagumannya.
“Pernah juga ada penggemar Nike Ardilla dari Jawa yang mampir ke sini. Dia kebetulan lewat, terus dia lihat ini rumah makan, jadi dia mampir,” kisah Dedi. Meski baru bertemu, namun mereka langsung berasa akrab. Cinta pada orang yang sama membuat mereka langsung merasa dekat. Seperti keluarga, kata Dedi.
Sampai saat ini pun Dedi masih terus menjalin kontak dengan sesama penggemar Nike Ardilla di seluruh Indonesia. Dia tercatat sebagai anggota grup Facebook resmi penggemar Nike Ardilla meski belum punya kartu anggota. Di grup Facebook itulah mereka menjalin pertemanan, saling bertukar info dan tetap menjaga api kekaguman pada sosok Nike Ardilla.
***
“MAS, KENAL NIKE ARDILLA TIDAK?” Tanya saya pada seorang pengunjung lain di rumah makan itu. Pria itu masih muda, saya taksir usianya masih 20an. Mungkin dia masih sangat kecil ketika Nike Ardilla berpulang. Dia mengangguk sambil tersenyum.
Sudah 23 tahun sejak Nike Ardilla berpulang, tapi namanya masih dikenang hingga kini. Setiap tahun ratusan orang masih rela datang jauh-jauh menziarahi makamnya. Di beberapa tempat lainnya, sinar sang dewi masih terus menyala. Orang-orang seperti Muhammad Takdir di Sulawesi dan Dedi Budiman di Papua bertanggung jawab untuk itu. Merekalah yang terus menjaga “sinar kehidupan” tetap menyala.
Seberkas cahaya terang, menyinari hidupku. Sesejuk embun-embun, di pagi hari. Dambaan insan, di dunia ini.
Lagu itu sayup-sayup terdengar menemani percakapan kami di siang yang gerah. Jauh di sisi timur Indonesia, Nike Ardilla tetap bernyanyi. [dG]
Para fans Nike Ardilla memang keren. Biarpun sudah puluhan tahun berlalu, lantunan lagu dan lengkingan suaranya tak lekang oleh zaman.
iya, mereka memang luar biasa
bisa tetap menjaga kecintaan setelah sekian lama Nike Ardilla berpulang
Di sini (Ende) masih sering dengar orang puterin/dengar lagu-lagunya Nike Ardilla … tidak pernah mati meskipun hanya seberkas sinar 🙂