Noise Dalam Komunikasi

Gangguan atau noise dalam berkomunikasi ternyata bisa menyebabkan gagalnya tujuan komunikasi tercapai. Saya kebetulan mengalaminya.


Ilustrasi

SEKITAR DUA MINGGU LALU, Mbak Desy – supervisor kami – menitipkan sebuah paket untuk dikirim lewat jasa ekspedisi. Paket itu sebenarnya punya temannya di Jakarta, ditujukan kepada penerima di Merauke. Karena ongkos kirim dari Jakarta ke Merauke yang tidak manusiawi (lebih mahal dari harga paketnya), maka paket itu dititipkan ke mbak Desy yang kebetulan sedang ke Papua. Karena mbak Desy tidak sempat, maka beliau meminta tolong saya yang membawanya ke jasa ekspedisi.

Di jasa ekspedisi, saya diterima seorang perempuan muda. Dia meneliti paket yang saya serahkan, menimbangnya di timbangan, lalu bertanya,”Isinya apa pak?”

“Buku,” jawab saya.

Dia lalu menuliskan sesuatu di laptop, bertanya nomor telepon penerima dan pengirim, lalu menyebutkan angka yang harus saya bayar. Setelah semua beres, dia menyerahkan resi pengiriman yang tidak sempat saya teliti dan langsung saya lipat, masukkan ke kantong.

Selang beberapa hari kemudian, ada pesan WhatsApp dari mbak Desy. Dia bilang, “Paket yang elu kirim malah dikirim ke Jakarta, bukan ke Merauke,”

Lah?

Jadi sama si mbak penjaga konter ekspedisi itu, paket yang saya setor bukannya dituliskan tujuannya ke Merauke seperti seharusnya, tapi ditulis ke Jakarta tempat sang pengirim. Sepertinya ada kesalahan komunikasi yang terjadi. Kesalahan komunikasi yang kemudian terdengar konyol dan menggelikan.

*****

KESALAHAN KOMUNIKASI di atas tiba-tiba teringat ketika minggu lalu saya mengikuti sebuah pelatihan komunikasi di Jayapura. Pelatihan ini dihelat kantor kami sebagai bagian dari program kerja. Pematerinya adalah mbak Feby Siahaan, seorang dosen komunikasi, wartawan dan praktisi dunia komunikasi. Beliau sudah punya catatan panjang perihal dunia komunikasi yang membuatnya kompeten untuk membawakan materi tersebut.

Dalam materi yang dibawakannya, ada satu tema yang sangat mengena buat saya, yaitu tentang proses komunikasi.

Menurut mbak Feby, proses dalam sebuah komunikasi sangat penting agar tujuan dari komunikasi itu bisa terpenuhi. Adapun prosesnya adalah sebagai berikut: sumber informasi -> proses menyusun pesan -> media komunikasi -> interpretasi dari penerima pesan -> tercapainya tujuan.

Dalam proses tersebut bisa saja ada gangguan atau yang dalam ilmu komunikasi disebut noise. Gangguan ini bisa bersifat internal maupun eksternal, bisa yang terlihat dan dirasakan panca indera, bisa juga tidak bisa dirasakan.

Dalam kasus yang saya ceritakan di awal, noise yang mengganggu hingga akhirnya tujuan tidak tercapai adalah pesan yang tidak akurat serta adanya perbedaan persepsi antara saya pembawa pesan dengan mbak konter ekspedisi sebagai penerima pesan.

Bila mengikuti alur yang disebut di atas, kira-kira ceritanya begini:

Pertama, saya sudah menyiapkan sumber informasi. Ada barang yang ingin dikirim ke Merauke oleh pengirim yang berasal dari Jakarta. Tapi barang itu dititip ke temannya yang akan ke Jayapura, dengan pertimbangan ongkos kirim akan lebih murah.

Kedua, saya menyiapkan pesan untuk mencapai tujuan. Namun rupanya pesan saya tidak sempurna karena saya beranggapan tulisan di atas paket itu sudah cukup untuk mewakili tujuan saya. Ini noise pertama.

Ketiga, saya menggunakan media udara untuk menyampaikan pesan dan berkomunikasi dengan mbak penjaga konter ekspedisi. Sampai di sini tidak ada masalah, media udara sudah cukup untuk mengantarkan pesan (yang tidak sempurna).

Keempat, mbak penjaga konter menerima pesan saya. Di sini noise kembali terjadi. Si mbak mungkin saja berpikiran; kita kan lagi di Papua, jadi untuk apa kirim barang ke Papua juga? Pastilah dikirimnya ke Jakarta (yang alamatnya tertulis di atas paket). Tulisan yang mungkin tidak terlalu jelas membedakan antara pengirim dan penerima di paket rupanya makin menguatkan persepsi si mbak sehingga paket yang harusnya dikirim ke Merauke malah kembali ke Jakarta, ke alamat sang pengirim.

Kelima, karena dua noise yang muncul di dalam proses komunikasi tersebut akhirnya tujuan tidak tercapai. Alih-alih paket mendarat ke Merauke yang ada malah mendarat di Jakarta, di rumah sang pengirim yang kemudian malah kaget; koq, malah dikirim ke sini?

Beruntung kesalaham komunikasi akibat noise ini masih tergolong menggelikan, belum sampai pada tahap membuat kesal apalagi merugikan. Agak merugikan sebenarnya karena artinya pengirim harus keluar uang Rp.45.000,- untuk mengirim kembali barangnya dari Papua ke Jakarta. Tapi, cerita di baliknya itu yang lumayan menggelikan sehingga kerugian itu jadi tidak terasa.

*****

KISAH SAYA DI ATAS DAN TEORI KOMUNIKASI yang sempat saya dapatkan itu membuat saya berpikir. Berapa banyak noise yang terjadi di sekitar kita dan berpengaruh pada hasil sebuah proses komunikasi? Dari noise kecil yang masih bisa ditoleransi, sampai noise besar yang sampai berhasil menggagalkan tercapainya sebuah tujuan komunikasi.

Kita mungkin pernah mengalami sulitnya berkomunikasi dengan seseorang di tengah suara yang sangat ribut. Mungkin di dalam sebuah kafe yang hingar bingar dengan suara musik, atau di tepi jalan raya yang ramai. Mungkin juga karena sinyal telepon yang lemah sehingga pesan yang ingin kita sampaikan jadi terganggu, berakibat pada gagalnya tujuan komunikasi tercapai.

Atau mungkin saja ketika kita menyampaikan pesan, ada faktor kebiasaan yang menjadi noise. Misalnya pada nada suara. Orang timur yang terbiasa bersuara keras dan lantang biasanya akan mengangetkan orang Jawa yang terbiasa dengan tutur kata halus. Bayangkan bila misalnya terjadi percakapan antara orang timur dengan orang Jawa seperti ini;

“Woy! Mas! Minta baksomu satu!”

Bagi orang timur, ucapan seperti itu mungkin biasa karena sesuai dengan karakter orang timur. Tapi, bagi orang Jawa yang halus, ucapan seperti itu terkesan membentak dan bernada amarah. Dua kebiasaan berbeda itu menjadi noise yang bisa jadi penghalang tercapainya sebuah tujuan.

Saya jadi berpikir, jangan-jangan keributan antara pendukung Jokowi dan Prabowo yang riuh ini terjadi karena adanya noise dalam proses komunikasi mereka. Dua-duanya punya tujuan yang sama; mengkomunikasikan pesan agar memilih pemimpin terbaik untuk Indonesia, tapi karena ada banyak noise maka tujuan mereka alih-alih tersampaikan, justru membuat banyak orang jengah.

Menurut kalian bagaimana? [dG]