Hati-Hati, Jangan Memotret Sembarangan
Mungkin kalian sudah sering mendengar petuah agar tidak sembarangan memotret di Papua. Takut dimintai uang, atau minimal dimarahi. Benarkah seperti itu?
“HATI-HATI PAK, biasanya mereka itu minta uang kalau difoto,” kata supir yang membawa saya hari itu. Kami sedang melintas di sebuah jalan menuju Kalkhotte, sebuah kawasan wisata di Danau Sentani, Papua ketika pandangan saya tertumbuk pada sebuah aktivitas menokok sagu yang dilakukan oleh beberapa warga. Saya meminta pak supir untuk berhenti sejenak, saya ingin melihat langsung aktivitas itu. Kebetulan saya memang membawa kamera, tapi perkataan si pak supir membuat saya menyimpan kamera di mobil. Saya turun tanpa membawa kamera.
Pesan yang disampaikan si bapak supir itu memang sudah sering saya dengar dari mereka yang biasa ke Papua. Jangan memotret sembarangan. Alasannya ada dua, mereka (orang Papua) tidak senang difoto, atau mereka akan meminta uang ketika difoto.
Benarkah memang seperti itu?
Setahun lebih di Papua, saya memang banyak mengekang diri untuk tidak banyak memotret. Sebagian karena pesan-pesan seperti di atas. Saya tidak mau seperti seorang teman yang dibentak mama-mama di pasar karena seenaknya memotret mama-mama yang ada di pasar. Atau seperti seorang temannya teman yang disandera mama-mama di pasar Wamena dan harus membayar jutaan rupiah sebelum bisa keluar dari sana. Dia ketahuan memotret suasana pasar tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Izin memang jadi hal yang paling mendasar ketika ingin merekam sebuah aktivitas di beberapa tempat di Papua. Utamanya yang melibatkan orang asli Papua.
Saya pikir ini adalah hal yang umum di mana saja. Semua orang pasti tidak senang ketika ada orang asing yang datang dan tanpa permisi tiba-tiba memotret. Apalagi kalau dia memotret kita dan kita sedang tidak ada di tempat wisata atau bagian dari sebuah atraksi wisata. Seperti pasar misalnya. Saya yakin semua orang akan risih, bukan cuma orang Papua saja.
Baca juga bagaimana tantangan dari “tiga huruf di Lanny Jaya” di sini
Bedanya, orang Papua lebih ekspresif dan langsung bereaksi menerima perlakuan seperti itu. Dari yang cuma ngomel-ngomel sampai yang benar-benar mengusir pelakunya.
Seorang fotografer panutan saya – sebut saja namanya Armin Hari – selalu menegaskan untuk menempatkan orang di foto kita bukan sebagai objek, tapi subjek. Bedanya tentu besar sekali. Subjek diberi hak untuk bersuara dan memberi keputusan, bukan sekadar difoto lalu ditinggal. Karenanya, Armin selalu menekankan adanya interaksi sebelum mengambil gambar.
Ajaran beliau inilah yang selalu saya terapkan. Sebelum mengambil foto, saya akan sebisa mungkin berbincang-bincang dulu dengan mereka yang mau saya foto. Minimal mengobrol santai sampai tiba waktu yang pas sebelum saya meminta izin memotret. Memang prosesnya tidak mudah, tapi jelas sekali kalau suasananya lebih enak dibandingkan datang-motret-pergi.
Untuk mama-mama di pasar, biasanya teman-teman punya trik lain. Mereka akan berbelanja dulu, sambil mengajak si mama mengobrol hingga mulai merasa akrab. Setelahnya, barulah bertanya, “Mama, bisa saya foto kah?” Intinya jangan langsung memposisikan mereka sebagai objek.
Oh iya, satu tips lagi dari teman yang sudah terbiasa memotret di Papua; untuk street photogaphy usahakan jangan menggunakan kamera DSLR. Sepertinya ini rumus umum yang berlaku di mana saja, bukan hanya di Papua. Untuk merekam aktivitas di jalan atau tempat umum lainnya, DSLR akan sangat menarik perhatian dan kadang membuat orang jadi sedikit terintimidasi. Selain bisa menimbulkan masalah, juga bisa membuat hasil foto kurang bagus karena subjek malah terlihat kaku.
Kamera saku, handphone atau mirrorless adalah pilihan yang tepat.
*****
LALU BAGAIMANA DENGAN MEREKA yang meminta bayaran ketika difoto? Menurut beberapa fotogafer, ini adalah sebuah hal yang lazim ditemui di Papua. Apalagi bila subjek yang difoto adalah mereka yang menggunakan pakaian adat atau melakukan aktivitas yang berhubungan dengan adat istiadat. Biasanya mereka memang akan meminta bayaran dengan besaran tertentu pada fotografer yang memotret mereka.
Menurut Armin Hari, kebiasaan ini bisa saja dipengaruhi oleh kedatangan jurnalis atau fotografer luar negeri yang memang kerap memotret keunikan budaya Papua. Mereka ini yang berani bayar mahal untuk mendapatkan foto bagus. Mereka tidak punya waktu lama untuk berinteraksi dulu, atau mungkin karena kendala bahasa. Makanya mereka lebih memilih untuk langsung membayar saja. Lagipula, jumlah uang yang mereka keluarkan mungkin terhitung kecil bila dikonversi ke mata uang mereka.
Karena sudah sering dimanja dengan bayaran, lama-lama mereka jadi matre.
Beberapa fotografer lokal juga akhirnya melakukan hal yang sama. Membayar dengan jumlah tertentu – biasanya jutaan rupiah – tapi puas memotret sebanyak apapun. Daripada harus membayar Rp.50.000 sekali tekan shutter? Iya, kadang ada juga yang mematok harga seperti itu.
Makanya, agenda festival apalagi Festival Lembah Baliem sangat dinantikan para fotografer. Di festival itu, semua bebas memotret tanpa harus kuatir dimintai uang. Semua biaya sudah dibayarkan oleh pemda setempat. Fotografer tinggal datang dan memotret saja.
Apa yang saya cerita di atas adalah kondisi umum yang bisa ditemui di Papua -utamanya di daerah pegunungan. Hati-hati bila ingin memotret, apalagi di daerah yang dianggap sensitif dan berbahaya. Kita tidak mau kan kejadian seperti yang menimpa para pekerja jalan di Nduga itu terjadi pada kita? Atau paling ringan diomeli mama-mama di pasar.
Beberapa daerah memang agak sensitif kalau bicara soal potret memotret. Sekali waktu, supir yang membawa kami ke Nabire bercerita kalau mobilnya pernah dihentikan warga karena penumpangnya ketahuan memotret. Si penumpang dituduh sebagai investor yang akan mengeksplorasi tanah mereka, padahal mereka benar-benar hanya turis yang terkagum-kagum pada keindahan alam Papua.
Masih untung kalau hanya dituduh sebagai investor, kalau dituduh sebagai mata-mata aparat kemanan oleh “pasukan merah?” Bisa-bisa nyawa taruhannya. Seram kan?
Jadi, kalau kalian memang senang memotret dan kebetulan sedang ada di Papua, maka berhati-hatilah. Patuhi kebiasaan dan etika warga di sini. Jangan asal memotret, tapi mulailah dengan interaksi dulu biar semua senang. Kamu senang karena dapat foto yang bagus, mereka juga senang karena tidak dianggap semata hanya objek. Wokeh? [dG]
Papua dan orang-orangnya mmg unik. Saya juga disini, selama berada di rantau, punya beberapa teman orang papua. Alhamdulillah, mereka baik2 dan merasa seperti saudara sendiri karena sama2 berasal dari timur. Dan syukurnya kalau foto bareng atau minta difoto mereka ga minta bayaran 😀
hahaha itu kelewatan mah kalau sudah teman, masih minta bayaran
saya juga pernah mengalaminya Daeng. pas lagi belanja di pasar Wamena ada yang menarik jadi saya langsung ambil gambar. mace yang sadar saya foto dia minta uang. untungnya, saya jalan sama bapak Frater, ndak jadi dipaksa bayar.
memang tawwa, di mana pun kita mau ambil gambar, penghormatan pada orang setempat adalah hal utama. mereka bukan sekadar objek foto saja.
panjangna komenku. kenapa bisa?
iya, kenapa nda dibikin tulisan sendiri saja
daripada nyampah di blog orang
#eh
Keren memang orang Papua tawwa.
Mereka sadar kalau daerahnya, dan segala yang melekat di dirinya adalah obyek wisata yang menarik.
Sukaku sama foto mama di bawah pohon itu. Beda sekali dengan foto empat laki-laki. Matanya kemana-mana, kentara sekali kalau malaski difoto.
hahaha keempat laki2 itu grogi kak pas mau difoto, makanya nda fokus
Yah mereka belajar juga dih daeng, bahwa ternyata di foto bisa menghasilkan uang. makanya ada yang memanfaatkan momen. saya nda habis pikir bagaimna nasibnya itu orng yg tdk tahu ttg hal ini. langsung motret terus dimintaki uang dalam jumlah besar. beeehh
deh itu temannya teman, disandera di pasar sampai temannya datang bawakan uang hahaha
Waduh, saya yang dari lahir dan besar di Papua kok nggak tahu ada aturan yang seperti ini yah . Mungkin kalau di daerah Jayapura atau Wanema iya, tapi kalau di tempat saya (Kepulauan Yapen) saya nggak pernah dengar ada yang minta uang kalau di foto diam2 (atau mungkin saya saja yang nggak tahu ya), kecuali kalau tabrak an*j*ng mereka pasti kita (pendatang) diminta ganti rugi dengan uang…..
Tapi terlepas dari itu, saya pribadi nggak suka juga difoto diam-diam, dan memang nggak sopan juga sih kalau kita ambil foto orang diam-diam. Yup, minimal harus interaksi atau minta ijin dulu ya Daeng?
Kayaknya kejadian di atas lebih banyak di pegunungan memang. Tapi bagaimanapun, motret orang memang sebaiknya izin dulu kan? Hihi
Setuju dengan pesan Armin Hari soal izin dan subyek. Itu tipsnya kurang banyak daeng, semoga sering2 share tips dan trik motret yg aman apalagi buat yg hobi motret pastinya akan jadi pertimbangan sendiri kalau sampai harus membayar. ?
Wahaha jangan om, saya sendiri masih berusaha belajar motret ini
😀 pengalaman2 motret juga ok biar saya yg masih motret paket HP bisa lebih aware hahaha.
deeh alam na papua bagus sekali kalau di foto. cantiik. pengen bisa kesana. ajak ka’ dulu eh. hehe
Ngajak sih gampang, bayarannya yang susah hahaha
Memang benar yang dikatakan oleh Armin Hari *kok berasa kayak komentar di acara tv manaaa gitu 😛
Anyway, makanya sekarang nda pake ma DSLR. Dan kalau mau jalan2 blusukan, betul tawwa, mirrorless atau hp jadi andalan. Ndak pake DSLR, karena selain nda ada mi DSLRku, yang saya punya sekarang malah cuma SLR analog haha~ mana berat pula :))
Jadi kapan hunting bareng lagi? 😀
Ayo jalan2 ke Papua, kita hunting bareng hahaha
Mungkin hampir sama dgn org2 Barat yg saya ketahui dr nonton film, mreka jg nd suka difoto asal, tp mreka lbh melindungi privasinya.
iya, kalau mereka memang lebih concern ke soal privasi
nda boleh sembarangan memotret
Wokeh, noted, Daeng.
BTW, tuisan-tulisan ta’ akhir-akhir ini banyak yang berisi advokasi tentang Papua. Seperti juga tulisan ini, mengajak untuk lebih menghargai kebiasaan di Papua dan latar belakangnya.
wah iya ya? hahaha
padahal nda ada niatan ke arah sana kak
Kalau foto yg paling pertama di atas? Orangnya harus diajak ngobrol dulu atau langsung diberi uang sj kak??? 😀
Btw kak, paling suka dengan pernyataan “menempatkan orang di foto kita bukan sebagai objek, tapi subjek” … sangat setuju,, klo dijadikan subjek kan (misal diajak ngobrol) kan jadinya fotonya lebih hidup
kalau mau langsung kasih uang juga boleh hahaha
Kasihan juga sih kalo mereka dijadiin objek. Semacam benda mati yang jadi budaya Papua, padahal kan mereka juga manusia sama seperti kita.
Cocok mi memang kalo diajak interaksi dulu, biar senyumnya lebih ngembang kayak adonan donat yang sudah didiamkan selama 3 jam.
Dibanding kalo nda diajak interaksi terlebih dahulu, jadinya kayak kanebo kering ki ksian, hahah..
hahaha analoginya dong
pakai bawa2 donat
Dengan berinteraksi lebih dulu, kita bisa memperoleh banyak keuntungan. Selain bisa minta izin untuk foto, kita juga bisa punya kenalan hehee… sukseski Deng Ipul disana … (Papua)
terima kasih kak untuk doanya hehehe
Pak Armin hari memang panutan untuk profesi foto human interest namanya juga interest ya memang tawwa harus buat oran gyang mau difoto itu tertarik dengan kita karena interaksita ke mereka.
fotografer yang suka foto aja trus pergi, biasanya wartawan wkwkkwkwkw
wahahaha tergantung tawwa wartawannya bagaimana
ada ji juga temanku wartawan foto, suka ji ajak ngobrol dulu kalau foto
kecuali kalau liputan bentrok nah, kan nda mungkin mau ngobrol dulu sama orang yang bentrok baru difoto
hahaha
ahahhaah di sisi human interest biasanya maksudku hihi
iyaa ada bbrp pewarta foto yang aware juga soal ini
ada juga yang lebih pentingin waktu ,
Thanks infonya, Daeng. Siapa tahu kapan-kapan ke Papua, jadi tahu kalau ndak boleh asal foto. Eh ndak mesti di Papua sih, di mana saja harusnya yaa yang jangan sembarang foto orang. Karena bisa saja merekanya ndak berkenan untuk difoto 🙂
betul, harus bisa lihat situasi juga