Tahun Baru, Nakhoda Baru

Komunitas kesayangan saya memulai tahun 2019 dengan nakhoda baru. Nakhoda yang saya yakin bisa membawa komunitas ini tetap berlayar.


si Paccarita

SAYA MASIH INGAT BETUL HARI ITU. SABTU 28 JULI 2007, di sebuah pusat perbelanjaan yang sekarang sudah menjadi hotel tidak jauh dari sebuah mall paling ramai di Makassar. Hari itu adalah pertama kalinya saya bertemu dengan beberapa personil Anging Mammiri, sebuah komunitas bloger berbasis daerah. Hari itu mereka menggelar acara bincang-bincang bertema Blog For Life yang sekaligus jadi acara pertama yang mereka gelar.

Sebuah komunitas yang belum genap setahun tapi sudah berani membuat sebuah acara besar-besaran dengan tema yang kala itu belum terlalu populer.

Saya sudah bergabung dengan komunitas itu sejak beberapa bulan sebelumnya, tapi interaksi baru sebatas milis yang kadang ramainya luar biasa. Sebagai seorang bloger baru sungguh saya senang bisa bertemu dengan banyak orang yang punya hobi sama. Meski awalnya agak kesulitan untuk “nge-blend” tapi lama kelamaan saya mulai bisa akrab dengan mereka. Apalagi ketika bergabung di acara yang saya sebut di atas.


anging mammiri
Pengalaman pertama menjadi moderator, 25 November 2007

Lima bulan kemudian, di perayaan ulang tahun pertama Anging Mammiri, saya bahkan sudah diminta untuk menjadi moderator di sebuah sesi. Sebuah kepercayaan besar untuk seorang anggota yang baru bergabung. Bisa dibilang karir saya di komunitas ini lumayan cepat melesat. Ha-ha-ha.

Catatan ulang tahun pertama Anging Mammiri bisa dibaca di sini.

Saat itu Anging Mammiri dinakhodai oleh Rara, seorang bloger senior yang – saat itu – sedang menyelesaikan pendidikan kedokteran giginya. Sebagai ketua pertama, jelas Rara adalah kunci penting dalam membangun pondasi komunitas ini. Bersama orang-orang pilihan yang membantunya membesarkan bayi yang baru lahir ini, Rara berhasil membuat Anging Mammiri menjadi salah sau komunitas bloger berbasis daerah yang besar di luar Jawa.

Setiap tahun Anging Mammiri membuat kegiatan, setiap tahun pula jumlah anggota barunya semakin bertambah. Ada gairah muda yang terus membara dan memberi semangat kepada kapal kecil yang baru mulai membelah lautan ini.

Tapi kehidupan nyata juga yang membuat Rara harus sedikit melupakan Anging Mammiri. Tahun 2009 dia harus menjalani masa PTT di sebuah pulau kecil di Sumatera. Mau tidak mau dia juga harus meninggalkan Anging Mammiri untuk sementara. Di masa itu juga, beberapa anak-anak pengurus Anging Mammiri mulai mengganti status dari mahasiswa menjadi sarjana. Status yang memaksa mereka untuk masuk ke kehidupan baru, kehidupan sebagai pekerja. Sebagian malah harus merantau jauh mencari penghidupan yang lebih baik.

Paccarita, si anak kecil bertopi passapu itu mulai kesepian. Kakak-kakak pengasuhnya semakin sedikit.

Hingga tiba waktunya ketika Rara akhirnya didapuk menjadi chairwoman Pesta Blogger 2010. Kesibukan barunya tentu saja membuatnya tak bisa lagi mengurus Anging Mammiri yang kala itu sudah masuk fase hidup segan, matipun tak mau. Harus ada orang baru yang melanjutkan kepemimpinan Rara, mengantar Paccarita ke sekolah, memberinya makan, merawatnya seperti merawat anak sendiri.

Kapal ini juga butuh nakhoda baru.

Dan entah angin apa yang membuat beberapa pengurus menunjuk saya menjadi ketua berikutnya menggantikan Rara. Dan entah kenapa, saya juga sama khilafnya menerima amanah itu. Mei 2010 saya akhirnya resmi didapuk menggantikan Rara sebagai ketua baru Anging Mammiri.

*****

TIDAK SEPERTI RARA, SAYA BUKAN SOSOK YANG POPULER di dunia bloger kala itu. Saya hanya bloger baru yang masih cupu. Minim pengalaman apalagi popularitas. Awalnya saya sempat gamang, bagaimana saya akan menakhodai komunitas ini kalau mereka sendiri tidak mengenal saya? Apalagi orang luar yang jadi kerabat Anging Mammiri. Sungguh kutaksanggup.

Selama tiga tahun saya tak merasa berbuat banyak di komunitas ini. Menjadi ketua tapi yahhh, cuma sebatas nama saja. Tidak banyak hal berguna yang saya lakukan. Bahkan para “tetua adat” Anging Mammiri sendiri mengakui kalau masa akhir kepemimpinan saya kondisi Anging Mammiri tappokara atau berantakan dalam bahasa Makassar.

Mungkin memang waktunya tepat ketika saya akhirnya mundur dan menyerahkan kemudi kepada Made, seorang pria muda – kala itu – yang sudah lama ikut membantu menjaga Paccarita.


Made memimpin sebuah rapat

Para “tetua adat” pun mengakui, pilihan ini sangat tepat. Made berhasil merapikan kembali komunitas yang katanya tappokara di zaman ketika saya menakhodainya. Saya sungguh menaruh respek besar kepada Made yang dengan militan dan tidak kenal menyerah berhasil membangun kembali marwah Anging Mammiri. Di zaman itu Made juga membangun relasi kuat dengan beragam komunitas di Makassar. Dia bahkan ikut membidani lahirnya Pesta Komunitas Makassar. Dialah yang pertama mengontak komunitas-komunitas di Makassar untuk hadir dalam rapat merencanakan gelaran Pesta Komunitas Makassar.

Namun, kesibukan jualah yang mengharuskannya mengundurkan diri. Melepas kemudi Anging Mammiri ke orang lain yang lebih mampu.

Dan hadirlah Nur Al Marwah Asrul atau yang kerap kami sapa Nunu. Paccarita kembali diasuh seorang perempuan. Perempuan energik yang mampu mengumpulkan darah-darah segar ke atas kapal yang semakin membesar bernama Anging Mammiri ini. Nunu dan jajaran kepengurusannya yang baru juga berhasil membangkitkan kembali semangat bloging. Anak-anak bloger Makassar semakin aktif mengunggah tulisan baru di blog mereka. Beragam kegiatan pun digelar secara rutin maupun sesekali.


Tiga ketua, (saya, Made dan Nunu)

Catatan paling penting dalam masa kepemimpinan Nunu adalah ketika dia behasil memberdayakan para bloger perempuan. Dengan kelas Makkunrai Anging Mammiri – kelas khusus buat perempuan – keaktifan para bloger perempuan ini semakin menonjol, melampaui keaktifan bloger pria.

Apresiasi besar untuk Nunu dan jajaran pengurusnya.

Namun, sekali lagi kesibukan akan jadi momok utama dalam menakhodai sebuah komunitas. Nunu yang sudah berganti status menjadi istri dengan segudang kegiatan lain mau tidak mau harus menyerahkan setir kapal kepada orang lain.

Baca juga catatan ulang tahun kesebelas Anging Mammiri di sini

Sebuah proses yang tidak mudah dan harus melalui waktu yang cukup panjang. Hingga akhirnya para pengurus itu datang dengan nama baru; Evhy.


Grafis perjalanan Anging Mammiri

Saya terus terang tidak tahu banyak tentang gadis berkerudung ini. Kecuali bahwa dia pernah ikut salah satu angkatan Kelas Menulis Kepo yang sempat saya asuh, dan dia juga cukup aktif di berbagai komunitas sosial di Makassar. Tapi saya percaya, Nunu dan jajaran pengurusnya sudah mempertimbangkan banyak hal untuk meminta Evhy meneruskan perjalanan kapal ini. Pun, mereka tidak mungkin akan membiarkan Evhy jalan sendiri tanpa pendampingan.

Tanggal dua Februari 2019, Anging Mammiri resmi mendapatkan nakhoda baru.


Pengurus baru Anging Mammiri. Evhy duduk berkerudung ungu

Dari tempat paling timur Indonesia, saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk komunitas kesayangan saya ini. Saya yakin, Evhy bisa sekeren bahkan melewati para pendahulunya – apalagi saya. Jalan masih panjang, lautan masih luas untuk diarungi. Tapi selama semua masih mau bersama-sama, membantu sang nakhoda, maka tidak ada badai yang tidak bisa dilewati. Saya yakin itu.

Selamat buat Evhy. Selamat buat Anging Mammiri yang di tahun baru mendapatkan nakhoda baru. [dG]