Ada “Tiga Huruf” di Lanny Jaya

Kami datang ke Lanny Jaya tepat ketika suasana sedang memanas. Ada penangkapan dan ada ancaman kontak senjata antara aparat dan “tiga huruf”. Suasana sempat mencekam.


Merah putih di langit Tiom

“SEMALAM, SALAH SATU SNIPER OPM TERTANGKAP. Jadi, jangan kaget kalau dalam dua hari ini situasi agak panas.”

Informasi itu kami dapatkan langsung dari bapak Christian Sohilait, Sekretaris Daerah (Sekda) Lanny Jaya di hari kedua pelatihan yang kami gelar. Informasi yang sontak membuat adrenalin terpacu. Walaupun pak Sekda mengucapkannya dengan sangat santai, tapi isi informasi itu bagaimanapun juga sempat bikin deg-degan.

Terbayang kan bagaimana kalau benar-benar kontak senjata antara aparat keamanan Indonesia dengan pasukan “tiga huruf” itu pecah dan kami ada di tengahnya? Kalau selamat sih itu bisa jadi cerita yang seru. Tapi, kalau -amit-amit- kami sampai jadi korban?

Saya bergidik juga membayangkannya.

*****

SEBELUM BERANGKAT KE LANNY JAYA, saya sudah mendengar cerita kalau daerah itu masih termasuk “daerah merah”. Tempat bercokolnya pasukan Organisasi Papua Merdeka di bawah komando Militer Murib (iya, namanya memang begitu) dan Enden Wanimbo.

Kalau membuka Google dan mengetik kata “Lanny Jaya”, maka berita bentrokan aparat dan gerombolan bersenjata akan muncul di halaman pertama. Tanda kalau Lanny Jaya memang akrab dengan kelompok tersebut, sama seperti daerah lain di pegunungan tengah Papua lainnya.

Kelompok OPM – yang kadang juga disebut “tiga huruf”- di Lanny Jaya sebenarnya tidak terlalu meresahkan. Setidaknya menurut supir yang saya tanyai. Menurut mereka, adalah hal yang lazim bagi para supir bertemu kelompok mereka di jalan, utamanya jalan menuju Kabupaten Puncak. Sesekali para anggota “tiga huruf” itu meminta upeti dari para supir berupa beras, gula, rokok, sabun dan macam-macam sembako lainnya. Upeti yang tidak terlalu memberatkan bagi para supir.

Mereka bukan kelompok yang sering merampok, menyandera atau mengacaukan keamanan seperti kelompok di Distrik Tembagapura yang bulan lalu sempat menyandera guru pendatang tersebut.

Meski begitu, namanya kelompok “tiga huruf” ya tetap saja mereka adalah musuh aparat. Jadi gesekan lebih banyak terjadi antara mereka  dan aparat TNI maupun polisi dari kesatuan Brimob. Termasuk kejadian terakhir ketika salah satu penembak jitu andalan mereka ditangkap aparat. Karena andalannya tertangkap, jadi wajar kalau mereka bereaksi. Kemungkinan terjadinya kontak senjata adalah hal yang hampir pasti terjadi.

Itu juga yang diwanti-wanti oleh bapak Sekda Lanny Jaya kepada kami.

Christian Sohilait yang menjabat Sekda Lanny Jaya sejak 2013 memang dikenal sebagai jembatan antara dua pihak; Indonesia dan OPM. Dengan kharismanya, kemampuannya berbahasa daerah dan ketegasannya, dia bisa dipercaya dan didengarkan oleh pihak “tiga huruf” dan aparat kemanan sekaligus.

“Mereka itu warga saya. Sebagai pemerintah, saya harus menjamin hak mereka terpenuhi. Kebetulan saja mereka punya pandangan berbeda. Tapi, kalau sudah angkat senjata, berarti mereka berurusan dengan aparat,” kata Christian Sohilait yang saya kutip dari majalah Inspirasi terbitan November, 2016.

Mungkin karena sikapnya itu juga, makanya “tiga huruf” di Lanny Jaya tidak seberingas di daerah lain seperti di Tembagapura. Setidaknya pihak “tiga huruf” masih memandang segan pada seorang Christian Sohilait.

Bersama pak Sekda Lanny Jaya (topi cokelat muda)

Pak Sekda ini memang bukan orang baru di Lanny Jaya. Meski aslinya orang Ambon, namun dia menghabiskan masa kecil di Tiom bersama orang tuanya yang memilih menjadi pegawai negeri sejak tahun 1970. Tidak heran kalau dia kenal betul daerah Tiom dan sekitarnya serta mampu berbahasa daerah dengan lancar.

*****

“PUL, PAK SEKDA SMS. KATANYA OPM MENUJU KE SINI,” kata Beatrix, koordinator distrik yang menemani kami selama di Tiom. Wajahnya tegang meski saya tahu dia berusaha bersikap tenang.

Sore itu kami sedang ada di distrik Tiomneri, di sebuah tanah lapang yang luas di depan kantor distrik. Bersama para peserta, kami sedang melakukan praktik lapangan di depan puluhan warga yang duduk santai di atas rumput.

“Jadi? Kita bubar?” Tanya saya. Perlahan saya bisa merasakan adrenalin terpompa, pembuluh darah jadi lebih hangat.

“Tidak usah katanya. Pak Sekda akan lihat situasi dulu,” kata Beatrix. “Tapi, drone-nya suruh turun dulu,” lanjutnya. Kami memang menyewa jasa videografer untuk mendokumentasikan kegiatan dan saat itu tim videografer sedang menerbangkan drone dengan seijin petugas keamanan.

Instruksi dari Beatrix segera saya penuhi. Drone diturunkan dan saya berusaha bersikap biasa saja. Setengahnya berhasil, setengahnya lagi tidak. Saya terkesiap setiap kali mendengar suara kendaraan mendekati kantor distrik tempat kami berkumpul. Saya menoleh ke belakang, berusaha mencari tahu siapa yang mendekat atau siapa yang datang. Sepanjang acara pun mata saya tidak lepas melihat sekeliling, menganalisis siapa-siapa saja yang duduk di dekat saya, siapa yang duduk di belakang, siapa yang berdiri di seberang pagar, pokoknya selama beberapa menit saya sungguh tidak tenang. Saya jadi lebih curiga pada siapapun yang tidak saya kenal di sekeliling saya.

Bagaimanapun kalimat “OPM menuju ke sini” terus terang membuat saya takut juga.

Siapa yang bisa menjamin mereka tidak melakukan sesuatu kepada kami? Mungkin tidak menembak di tempat, tapi menculik kami lalu meminta tebusan. Membayangkan kejadian itu, sontak saya bergidik juga.

Syukurnya, sampai acara selesai apa yang saya takutkan tidak jadi kenyataan.

Dari pak Sekda kami mendengar cerita kalau komandan OPM memang menyuruh anggotanya melihat aktivitas kami. Mereka kaget setelah melihat konvoi mobil kami melintas, mungkin dikiranya semacam operasi militer atau semacamnya. Untungnya mereka sama sekali tidak mengganggu. Padahal bisa jadi salah satu anggota mereka ada di antara puluhan warga yang sedang berkumpul di depan kantor distrik tersebut.

Pfiuh! Syukurlah mereka hanya melihat-lihat saja, tidak sampai berbuat lebih jauh.

*****

“KATA PAK SEKDA, OPM AKAN MENEMBAK MOBIL PENDATANG,”

Informasi itu datang dari Om Ais, teman lain yang juga tinggal di Tiom. Informasi itu datang beberapa jam sebelum kami berencana bertolak ke Wamena di Jumat pagi. Informasi singkat yang lumayan membuat kami galau. Bukan apa-apa, perjalanan menuju Wamena berarti jauh lebih berisiko karena bisa saja mobil sewaan kami akan jadi sasaran tembak di perjalanan.

Untuk memastikan kami aman sampai di Wamena, pak Sekda kemudian menginstruksikan satu mobil Brimob mengawal kami, minimal sampai daerah yang aman.

“Sebenarnya saya malah tidak suka dikawal Brimbob pak. Malah tambah bahaya,” kata supir yang akan kami pakai ke Wamena.

Yah memang sih, dikawal Brimob artinya menandakan kami “orang penting” dan pastinya akan semakin menjadi sasaran tembak kawanan “tiga huruf” yang memang anti aparat keamanan. Tapi, ini instruksi dari pak Sekda yang tidak bisa kami bantah. Kan tidak mungkin kami bilang ke beliau; ah, nda usah pak. Kami bisa jalan sendiri. Itu bodoh namanya. Apalagi tujuannya untuk memastikan kami selamat sampai di Wamena.

Ini dia pengawal kami ketika turun ke Wamena

Jadilah pagi itu kami beriringan meninggalkan Tiom menuju Wamena. Mobil yang saya naiki berada tepat di belakang mobil Brimob berisi anggota yang lengkap dengan senjata laras panjang. Perjalanan yang lumayan mendebarkan, meski di sekeliling kami pemandangan juga tidak kalah mendebarkannya.

Bukit-bukit hijau menjulang megah. Langit biru dengan serabut awan dan kabut. Honai di tanah lapang yang luas. Semua sungguh mengagumkan.

Sesekali saya dan dua tim videografer yang sama-sama semobil masih bisa bercanda. Setiap orang yang kami temui di jalan, kami gambarkan sebagai informan “tiga huruf” yang memberi tahu tim penembak kalau kami sudah lewat. Candaan yang absurd sebenarnya karena bisa saja di saat itu nyawa kami sedang terancam. Tapi kalau tidak begitu, rasanya perjalanan akan semakin menegangkan.

Di satu titik, tim Brimob yang duduk di bak terbuka bahkan berhenti dan seperti bersiap menembak ke arah tebing. Saya langsung terkesiap, dalam benak saya kalau memang ada suara tembakan saya harus langsung menunduk. Rupanya pasukan Brimbob itu melihat ada pergerakan di tebing. Bukan pergerakan berbahaya, hanya warga yang kebetulan melintas.

Pfiiuh! Lega sekali rasanya ketika kami akhirnya bisa jalan kembali.

Lebih lega lagi ketika pasukan Brimbob berhenti di satu titik dan mempersilakan kami melanjutkan perjalanan melintasi Lanny Jaya – Wamena. Kami jadi lebih santai dan bahkan bisa berhenti di gerbang batas Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Lanny Jaya. Hingga akhirnya kami tiba dengan selamat di Wamena.

Karena sudah aman, mari kita berfoto!

*****

PENGALAMAN DI LANNY JAYA ITU adalah pengalaman paling dekat bersinggungan dengan “tiga huruf”. Meski tidak bertemu langsung atau mendengar langsung kontak senjata, tapi tak urung kami juga tetap dicekam rasa takut.

Sampai sekarang, beberapa daerah di Papua memang masih dikenal sebagai “daerah merah”, tempat bercokolnya pasukan “tiga huruf”. Baik yang rajin membuat kekacauan seperti yang terjadi di Tembagapura, maupun yang lebih lembut seperti yang ada di Lanny Jaya.

Saya tak hendak berbicara banyak soal kelompok “tiga huruf” ini karena isunya sangat sensitif, lengkap dengan beragam kepentingan di dalamnya. Tapi saya kagum pada cara pendekatan pak Sekda Lanny Jaya, Christian Sohilait. Dia mampu dan mau mendengarkan aspirasi mereka yang berbeda, tapi sekaligus juga mampu bersikap tegas. Sikapnya ini sedikit banyaknya menurut saya mampu meredam agresivitas “tiga huruf” di Lanny Jaya.

Untuk itu juga rasanya kami harus berterimakasih banyak kepada pak Sekda yang sudah memastikan keamanan kami selama di Lanny Jaya. Semoga beliau terus diberkahi kesehatan, pun dengan orang-orang Lanny Jaya. Berbeda pandangan boleh saja, tapi jangan sampai saling merugikan. Apalagi sampai menghilangkan nyawa.

Salam damai untuk semuanya. [dG]