Nyaris Tak Percaya, Akhirnya ke Lanny Jaya

Sejak awal tahun ini saya sudah penasaran dengan Lanny Jaya. Sebelum akhirnya saya bisa menjejakkan kaki di sana, melihat sendiri tempat yang indah dan luar biasa itu.


Lanny Jaya
Suasana Tiom, ibukota Lanny Jaya

“PUL, NANTI KAMU IKUT KE LANNY JAYA YA,” begitu kata Mbak Desy, supervisor kami di program ini.

Kalimat bernada instruksi itu sontak membuat saya sumringah. Instruksi untuk ikut ke Lanny Jaya berarti kesempatan untuk sekaligus mewujudkan dua impian saya; ke Wamena dan ke Lanny Jaya.

Sudah sejak lama memang saya ingin sekali ke Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya. Pasalnya, Wamena seringkali diklaim sebagai “the heart of Papua”, jantungnya Papua. Bahkan ada orang yang berkata; belum sah ke Papua kalau belum ke Wamena. Jadi, sebagai orang yang sedang berada di Papua, rasanya rugi juga kalau tidak sampai menginjak Wamena. Apalagi saya punya agenda terselubung, ingin menuliskan di kertas ucapan salam dari Wamena untuk sobat saya, Lelaki Bugis. Dia sudah jatuh cinta sama Wamena dan sering sekali bermimpi ingin kembali lagi ke sana.

Itu satu. Kedua, saya memang sudah mulai bermimpi kapan bisa ke Lanny Jaya sejak membaca tulisan-tulisan dari Afdhal, rekan sekerja yang sebelumnya memang jadi penanggung jawab untuk daerah Lanny Jaya. Cerita dari Afdhal berhasil membuat saya begitu penasaran pada Lanny Jaya, apalagi ketika dia memperlihatkan foto-foto hasil jepretannya. Makin ngilerlah saya ingin ikut melihat langsung Lanny Jaya.

Baca Juga: 5 Hal Tentang Lanny Jaya

Sejak bulan April, Afdhal memang sudah tidak melanjutkan kontrak dengan tim kami karena ingin mengejar impian lainnya. Jadi untuk sementara semua tanggung jawabnya saya yang ambil alih.

Sebuah karunia buat saya.

Karunia sekaligus beban juga, soalnya saya ke Lanny Jaya bukan untuk berlibur tapi untuk bekerja. Artinya, ada tanggung jawab yang harus saya emban. Tapi ah, sudahlah. Asal bisa ke Lanny Jaya, saya akan siap mengemban tanggung jawab itu!

Bukan Perjalanan Mudah.

PERJALANAN KE LANNY JAYA ternyata bukan perjalanan yang mudah. Harusnya kami berangkat hari Minggu 15 April 2018 menuju Wamena lalu lanjut dengan perjalanan darat menuju Tiom, ibukota Lanny Jaya. Tapi, Wings Air yang sedianya mengantar kami ke Wamena ternyata mengalami kendala teknis di Wamena dan batal menjemput penumpang di bandara Sentani. Akibatnya, kami harus bermalam semalam di Sentani sebelum keesokan harinya baru bisa terbang sesuai jadwal.

Kesal, tapi mau bagaimana lagi? Kami hanya bisa pasrah, yang penting bisa selamat sampai di tujuan meski agenda pelatihan harus tertunda setengah hari.

Akhirnya Senin 16 April 2018, untuk pertama kalinya saya mendarat di bandara Wamena. Beberapa menit sebelum mendarat saya sudah terperangah melihat hamparan alam Wamena yang berada di lembah Baliem itu. Sungguh hamparan yang luar biasa, yang membuat saya sedikit merinding.

Bukit berdiri kokoh, tegap berjajar dengan awan sebagai mahkotanya. Seperti puluhan raksasa yang duduk berjejer, rapat dan saling berangkulan. Di bawahnya, hamparan tanah luas sejauh mata memandang. Hijau di mana-mana. Hijau dari pepohonan dan rerumputan di bawah sana.

Saya membayangkan orang-orang Dani dengan pakaian perang mereka yang megah itu turun dari bukit, meniti lembah dan berkumpul di padang yang luas. Lengkap dengan teriakan mereka yang penuh semangat.

Asli! Saya merinding membayangkannya.

Setiba di bandara Wamena saya menyempatkan diri berfoto dengan kertas yang sudah saya persiapkan untuk Lelaki Bugis. Terselip harapan dia akan segera mewujudkan impiannya kembali ke Wamena, seperti yang dia lakukan lebih 10 tahun lalu.

Untuk Lelaki Bugis

Perjalanan kali ini ternyata memang tidak mudah. Setelah drama pesawat batal terbang, kali ini kami kembali bertemu drama lainnya. Lima dari delapan bagasi yang seharusnya mengikuti kami ke Wamena ternyata tertinggal di Jayapura. Sungguh luar biasa usaha Wings Air menguji kesabaran kami.

Tapi, di balik kesulitan selalu ada keberuntungan. Kali ini kami beruntung karena pak Sekda Lanny Jaya – Christian Sohilait- ternyata terbang juga bersama kami, dan mendapat masalah yang sama. Beberapa bagasinya juga tertinggal di Jayapura. Karena beliau Sekda jadi ada asisten yang mengurusnya, dan kepada asisten bernama pak Dodi itulah kami menitip lima bagasi kami yang tertinggal.

Setidaknya kami bisa meneruskan perjalanan ke Lanny Jaya dengan tentang, sambil berharap pak Dodi bisa mengurus bagasi kami yang tertinggal.

“Pesawat cargo yang bawa bagasi sudah terbang ke sini,” begitu informasi yang kami terima – dan akhirnya kami tahu kalau informasi itu bodong. Tapi informasi itu sudah cukup membuat kami tenang dan memulai perjalanan ke Lanny Jaya.

Dua Jam yang Menyenangkan.

DARI WAMENA KAMI BERTOLAK KE TIOM dengan dua mobil sewaan, satu Pajero Sport dan satu lagi Toyota Hilux dobel cabin. Karena perjalanan yang berat, jadi hanya mobil sekelas itu yang bisa menembusnya. Tidak ada mobil sekelas Avanza yang melintasi jalur tersebut, apalagi sekelas Ayla atau Agya. No way!

Seandainya saja kami tiba di hari Minggu maka bisa dipastikan kami harus menunggu di bandara sampai lewat pukul 12 siang. Di Wamena ada peraturan daerah yang melarang warga beraktivitas di hari Minggu sebelum masa ibadah selesai. Artinya, bila ingin keluar kota maka paling cepat mobil baru bisa melintas selepas pukul 12 siang selepas ibadah hari Minggu.

Waktu tempuh antara Wamena dan Tiom sekitar dua jam atau maksimal dua jam 30 menit. Sebagian besar jalanan sudah rata, baik itu yang beraspal maupun yang sudah dikeraskan dengan kerikil. Perjalanan diawali dengan jalur rata sebelum mulai berkelok-kelok meniti punggung bukit.

Awal meninggalkan Wamena, pemandangan luar biasa sudah tersaji di depan mata.

Wamena
Pemandangan di luar kota Wamena

Bukit menjulang dan berderet di sebelah kiri dan padang rumput menghampar luas di sebelah kanan. Sesekali mobil kami memasuki kampung dan pos-pos penjagaan militer yang banyak berdiri di jalur antara Wamena-Tiom.

Setelah agak jauh dari Wamena, pemandangan menjadi semakin spektakuler.

Sebelah kiri masih dihiasi bukit tinggi yang sekarang sudah semakin mendekat, seperti dinding raksasa yang megah. Lalu di sebelah kanan tepat di samping jalan, jurang menganga berisi pepohonan yang lebat dan rapat. Sesekali di lembah itu pandangan mata akan tertumbuk pada rumah-rumah khas Papua bernama honai. Honai itu biasanya berada dalam satu kompleks bersama honai-honai lainnya, berdiri di atas tanah lapang dengan rumput hijau yang rapi. kompleks honai itu biasanya dibatasi pagar kayu dengan rerumputan di bagian atasnya. Benar-benar tampak rapi dan nyaman dipandang.

Honai di tebing

Di depan, menjulang lagi bukit dan gunung yang seperti tidak ada habisnya. Berjajar, berdampingan dan sama-sama megah. Sejauh mata memandang hanya ada warna hijau perbukitan yang di atasnya berpadu dengan warna birunya langit dan sapuan awan putih.

Sungguh seperti sebuah goresan pelukis di atas kanvas. Hanya saja ini berbentuk tiga dimensi. Benar-benar sebuah perjalanan dua jam yang menyenangkan, tidak membosankan sama sekali.

Didekap Dinginnya Pegunungan dan Hangatnya Sapaan.

Kami tiba di Tiom sekira pukul dua siang. Udara sejuk pegunungan langsung mendekap meski tak sampai memaksa kami memasang jaket. Tidak ada sinyal internet di Tiom, satu-satunya provider yang ada hanya Telkomsel yang hanya mampu menyediakan sinyal edge. Di Tiom listrik PLN pun tidak beroperasi 24 jam. Listrik hanya menyalan pukul 8 pagi sampai pukul 13 siang, lalu disambung lagi pukul 6 sore sampai pukul 12 malam.

Rombongan langsung menuju kantor Bappeda Lanny Jaya tempat acara berlangsung, sementara saya membawa barang bawaan kami ke rumah tamu di belakang rumah dinas Sekda. Rumah inilah yang akan jadi rumah kami selama empat malam ke depan.

Selepas acara perkenalan singkat dan pemaparan tentang apa yang akan kami lakukan dalam tiga hari ke depan, kami langsung bersantai di halaman depan kantor Bappeda. Kantor itu berada di tempat yang agak tinggi, di sebelah kanannya kami bisa melihat hamparan perbukitan yang menjulang dan perkampungan dengan satu gereja besar di antaranya.

Bersantai di halaman kantor Bappeda Lanny Jaya

Tidak putus-putusnya saya berdecak kagum melihat indahnya alam Tiom yang tersaji di depan mata. Matahari harusnya masih menyengat di pukul empat sore itu, tapi di kota yang berada di ketinggian 2.200 mdpl itu, angin sejuk tetap membelai wajah, seperti mengajak saya untuk memejamkan mata sejenak. Anginnya bikin ngantuk.

Kabupaten Lanny Jaya resmi terbentuk tahun 2008, merupakan pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Sebelumnya wilayah seluas 2.248 km2 (3.4 kali lebih luas dari DKI Jakarta) ini hanya sebuah distrik di Kabupaten Jayawijaya. Letaknya di sebelah barat Wamena, berbatasan langsung dengan Kabupaten Puncak di bagian barat, Nduga di bagian Selatan dan Mamberamo Tengah di bagian utara serta tentu saja Jayawijaya di bagian timur.

Lanny Jaya
Honai di kaki bukit

Lanny Jaya dihuni mayoritas oleh orang suku Dani dan Lani. Dua suku yang sebenarnya punya akar yang sama. Mereka adalah penguasa gunung di Papua, terkenal sebagai suku yang senang berkelana dan punya kemampuan perang yang luar biasa.

Karakter wajah mereka khas orang gunung Papua. Wajah tegas dengan perawakan yang kekar dan tegap. Bagi yang tidak biasa, penampakan mereka mungkin agak menakutkan atau minimal mengintimidasi. Tapi jangan tertipu, di balik wajah dan penampakan keras mereka tersimpan sikap yang ramah dan menyenangkan.

“Selamat pagi,” sebuah sapaan hangat menyambut saya di pagi berikutnya. Saat itu saya sedang asyik mengabadikan suasana pagi di kota Tiom yang masih tertutup kabut.

Saya menoleh ke asal suara itu, seorang perempuan muda menebar senyum yang kaku. Senyum yang segera saya balas lengkap dengan sapaan yang sama seperti yang dia lontarkan. Tak berapa lama kemudian, ketika saya kembali asyik memotret sapaan yang sama kembali terlontar. Kali ini seorang pria brewokan yang melontarkannya, juga dengan senyum yang kaku. Saya kembali membalas sapaan itu, lengkap dengan senyuman.

Dinginnya udara pagi di suhu 17°c sontak menjadi hangat oleh dua sapaan tulus di pagi itu.

Lanny Jaya
Pagi di kota Tiom
Lanny Jaya
Menoken, di mana saja, kapan saja

Saya terkesima. Merinding. Hanya sapaan, tapi cukup untuk membuat saya merasakan kehangatan. Kehangatan dari ketulusan orang-orang Papua yang selama ini sering distigmatisasi sebagai orang barbar, keras dan kasar.

Belum genap 24 jam di Tiom, saya sudah merasa jatuh cinta pada Lanny Jaya. Pada alamnya yang sungguh luar biasa megahnya, pada sapaan ramah yang sungguh tulus. Nyaris tak percaya, saya ada di Lanny Jaya. [dG]