Romantika Dialek Lokal

Persoalan logat dan dialek ini punya cerita sendiri. Bagaimana orang-orang Indonesia berinteraksi dengan logat, dialek, dan istilah lokal yang beragam.

“Daeng, aku bingung. Tadi si supir taksinya nanya, ‘Kita mau turun di mana?’ Koq dia mau ikutan turun? Kan cuma gue yang mau turun.” Kata seorang teman orang Jakarta yang sedang berkunjung ke Makassar. Saya tertawa mendengar ceritanya. Dia tentu tidak tahu kalau kata “kita” (dengan penekanan di akhir kata) di Makassar berarti Anda, penghalusan dari kata kamu. Pantas saja dia bingung. Saya yang mau turun, koq dia mau ikutan turun? Begitu pikirnya.

Dialek, logat, atau apapun itu terkadang memang membawa cerita lucu. Apa yang berarti A di daerah yang satu, belum berarti sama di daerah yang lain. Bisa jadi malah sangat berbeda. Di Sulsel, kata “kita” berarti Anda, tapi di Sulawesi bagian utara (Manado dan Gorontalo), kata “kita” berarti saya. Ketika mereka berkata, “Kita mau makan sekarang,” bukan berarti kamu dan dia mau makan sekarang, tapi dia saja. Tapi bila itu diucapkan di Makassar dengan tambahan tanda tanya di belakang, berarti si penanya ingin tahu apakah kamu mau makan sekarang atau nanti aja.

Lucu, bukan?

Inferioritas Orang Timur?

Mamat Alkatiri, seorang komika asal Papua pernah bilang dalam satu tayangan wawancara di YouTube kalau orang timur itu Indonesia itu kerap merasa inferior atau rendah diri. Dalam beberapa hal, termasuk dalam menggunakan logat sehari-harinya.

Arie Keriting, komika asal Bau-Bau, Sulawesi Tenggara yang banyak membawakan tema orang timur Indonesia juga punya cerita yang sama. Dia bercerita bagaimana sekelompok anak mahasiswa asal Papua yang tergagap-gagap saat presentasi di depan umum, padahal saat latihan mereka sangat lincah dan lancar menjelaskan ide-ide mereka.

Setelah diusut, ternyata penyebabnya adalah ketidakpercayaan diri mereka menyangkut logat Papua-nya yang kental. Saat presentasi, mereka sibuk menjaga lisannya agar tetap berbahasa Indonesia yang baik dan benar, agar logat Papua mereka tidak keluar. Inilah yang membuat mereka gugup.

Kita mungkin agak sulit menemukan kondisi yang sama ketika yang melakukan presentasi itu adalah orang Jawa. Mereka bisa dengan percaya diri berpresentasi dengan logat medhok mereka. Bahkan mungkin sesekali menyelipkan kata-kata dalam bahasa Jawa.

“Saya pernah ikut seminar nasional, pembicaranya bapak dari Jawa. Dia juga dengan cueknya bilang ‘sampeyan’ atau ‘panjenengan’, dan semua orang tidak masalah. Tidak ada yang ketawa, apalagi mengejek,” kata Ardian, seorang dosen di Makassar.

Arie Keriting punya cerita, bagaimana dia selama bertahun-tahun masih sering diejek karena kata “pele”. Dalam bahasa sehari-hari orang di timur Indonesia, kata “pele” berarti terhalang. Arie sempat mengeluarkan kata itu secara tidak sengaja dalam sebuah presentasi tugas, dan seluruh orang di ruangan itu menertawakannya. Selama bertahun-tahun dia bahkan kerap disapa “pele” oleh teman-teman kuliahnya.

Rasa takut untuk diejek atau ditertawakan, atau bahkan dianggap udik itulah yang membuat banyak orang timur menjadi terbata-bata ketika bercakap-cakap dengan orang Jawa, apalagi ketika ada di Jawa. Mereka yang bisa beradaptasi mungkin dengan mudahnya menutupi logat aslinya, tapi yang tidak bisa ya harus bersusah payah. Mereka beruntung berada di lingkungan yang baik, yang mau menerima perbedaan tanpa harus meledeknya.

Memang ada juga yang bertahan dengan logat aslinya, tidak merasa perlu untuk berusaha berbahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak berusaha untuk menutupi logat aslinya. Dan mereka juga aman-aman saja, tidak ditertawakan apalagi dirisak.

Mungkin memang yang tersisa adalah ketakutan yang terlalu besar kalau identitas asli dalam bentuk dialek atau bahasa akan mendapatkan cibiran atau ejekan. Mungkin juga ini adalah sisa-sisa peninggalan zaman Orde Baru yang sangat jawa sentris, mengutamakan Jawa dengan segala aspeknya.

Mempertahankan Dialek Asli

Dalam forum resmi, mempertahankan dialek asli atau istilah-istilah lokal tentu saja bukan sesuatu yang bijak. Saya tidak bisa membayangkan ada orang Makassar yang berpresentasi dengan di ajang formal tingkat nasional dan tetap keukeuh dengan logat dan istilah lokalnya.

Di Makassar, ini artinya bisa beda

“Jadi, kalau kita mau memperbaiki keadaan, nda usah mi terlalu banyak pikiran. Jalan mi saja, nanti ada tong ji itu jalannya. Kalau ada masalah, kita pikirkan padeng sama-sama. Jammi terlalu bingung,”

Saya yakin, sebagian besar peserta pasti bingung ha-ha-ha-ha. Ini tentu saja karena logat dan istilah lokal Makassar belum terlalu menasional, seperti logat dan istilah lokal Jawa, misalnya.

Ini juga yang jadi alasan kenapa kebanyakan orang Makassar ketika menyambut tamu dari luar kota – utamanya dari Jawa – akan berusaha untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Mereka akan bertanya, “Bagaimana tadi perjalanannya mas? Aman kan?” alih-alih bertanya dalam logat Makassar, “Bemana tadi perjalanan ta? Aman ji?”  

Kalau menggunakan logat asli, bisa saja percakapan akan jadi lebih ribet karena si tamu tidak mengerti. Jadi, sebagian besar orang Makassar akan memilih menggunakan bahasa Indonesia yang benar supaya tidak ada masalah tambahan, dan tentu saja untuk menghormati tamunya.

Tapi, ini juga tergantung siapa orangnya karena ada juga yang tetap keukeuh menggunakan logat lokal bahkan kepada orang asing. Ada yang karena memang tidak bisa mengganti logatnya, ada juga yang karena memang tidak peduli.

Kalau ingat Alm. Baharuddin Lopa, beliau salah satu orang Sulawesi yang tetap keukeuh menggunakan logat lokalnya meski sudah berstatus pejabat tinggi. Di suatu kesempatan dalam rapat bersama DPR-RI, pak Baharuddin Lopa berkata, “Kalau saya tidak bisa berbuat adil, untuk apa saya jadi jassa? Lebih baik sa pi kerja yang laing.” Bukan hanya dialek, tapi juga isitlah lokal.

Mantan wakil presiden Jusuf Kalla juga termasuk salah seorang yang tetap keukeuh mempertahankan logat lokalnya meski dia jarang menggunakan istilah lokal. Kalian pasti masih ingat dengan jargon beliau yang berbunyi, “Lebih cepa’ lebe baek.” Itu diucapkan dengan logat khas Bugis yang kental.

Mereka tentu bisa dengan percaya diri mempertahankan logat aslinya, karena… yah, karena kalian tahulah siapa mereka. Ha-ha-ha-ha.

*****

Logat atau dialek ini memang jadi kekayaan Indonesia. Bayangkan kalau di satu provinsi saja seperti Sulawesi Selatan bisa ada puluhan logat dan dialek yang berbeda-beda. Sama-sama Bugis, tapi belum tentu logatnya sama. Itu baru satu suku, belum lagi ratusan suku yang lain. Dan inilah kekayaan Indonesia.

Menurut saya, dalam perbincangan non formil logat lokal itu tidak perlu sampai diejek. Justru kita harus menikmati indahnya keberagaman dari orang-orang yang dialeknya berbeda-beda itu. Karena itulah Indonesia, negeri yang sangat kaya dan tidak mungkin untuk diseragamkan. Betul tidak? [dG]