Hikayat Bissu di Tanah Segeri

bissu Segeri
bissu Bugis di Segeri
Puang Salma membaca mantra sebelum mengijinkan kami memotret arajang di Segeri

Segeri di Pangkep adalah salah satu daerah yang masih memiliki bissu Bugis atau pendeta suci Bugis. Kisahnya ternyata cukup panjang dan miris.

Puang Salma (39 tahun) duduk menghadap sebuah benda besar yang dililit kain putih, mulutnya komat-kamit seperti merapal doa atau mantra. Di depannya sebuah benda kecil dari kayu berukir terus mengeluarkan asap. Aroma dupa memenuhi ruangan sekira 3 m x 10 m itu. Cahaya matahari masuk lewat pintu, menyisakan separuh ruangan dalam keremangan. Beberapa padi habis panen teronggok di dekat pintu masuk. Gabungan antara rapalan doa dan mantra dengan abu dupa serta suasana remang-remang tak pelak membuat suasana jadi terasa senyap dan mistis. Tidak ada suara sedikitpun dari kami bersembilan. Kami duduk bersila di sekitar Puang Salma yang merapat ke dinding kayu dan masih nampak serius merapal doa dan mantranya. Sampai akhirnya rapalan doanya selesai. Dia menggeser duduknya menghadap ke arah kami. Suasana senyap perlahan menghilang.

“Foto maki kalau mau, pegangki satu orang ini penutupnya,” kata Arifin Mude, pria tua yang menemani kami hari itu. Tawarannya untuk memotret benda besar yang dililit kain itu tidak kami sia-siakan. Feri, salah seorang dari kami berdiri memegang penutup kain yang menggantung di langit-langit mengelilingi benda besar itu.

Kami merangsek ke depan, mengambil posisi terbaik untuk memotret benda besar yang terlilit kain putih itu. Suara shutter kamera perlahan terdengar seperti bersahutan, sesekali ditimpali nyala lampu flash. Benda besar berbalut kain putih itu adalah bajak sawah yang disucikan, dalam bahasa Bugis namanya rakkala’ yang dianggap sebagai salah satu benda keramat peninggalan kerajaan Segeri.

Dalam bahasa Bugis namanya arajang, atau sesuatu yang disucikan/dikeramatkan. Pagi itu kami berkesempatan menjenguknya di Saoraja atau istana raja. Saoraja itu berbentuk rumah panggung khas Bugis dengan warna dominan hijau, berdiri di atas tanah luas yang sekelilingnya ditutup pagar batu. Sebagian pagar sudah doyong ke depan, seperti sisa menunggu waktu sebelum terjerembab ke tanah.

Saoraja Segeri
Saoraja Segeri, tempat penyimpanan arajang

Di Saoraja itulah arajang kerajaan Segeri disimpan, istilahnya ditidurkan. Sekali setahun arajang itu dibangunkan, tepatnya di awal musim tanam padi. Sebuah upacara harus digelar untuk membangunkan arajang itu, namanya mappalili.

Para bissu berada di garis depan memimpin upcara mappalili yang ditutup dengan peragaan nan mistis yang menunjukkan kesaktian mereka. Namanya maggiri. Dalam acara maggiri, para bissu akan menusuk diri mereka dengan badik atau keris. Jangankan luka, guratan kecilpun tidak akan terlihat sama sekali, padahal badik atau keris itu kadang ditancapkan di pangkal leher, di salah satu titik paling vital di tubuh manusia.

Tanpa upacara mappalili yang dirangkaikan dengan atraksi maggiri itu, para petani di Segeri tidak akan berani mulai menggarap sawah mereka. Konon nasib sial akan mengikuti sesiapa yang mulai menggarap sawah sebelum upacara mappalili. Sejenak setelah arajang menyentuh tanah, seketika itu pula musim tanam resmi dimulai. Warga boleh mulai menggarap sawah-sawah mereka, berharap hasil yang meruah dalam setahun ke depan.

Halaman dua: Asal Muasal Bissu