Kita Marah Karena Tak Percaya Pada Negara?
Beragam aksi membubarkan sebuah acara sepertinya semakin banyak terjadi di Indonesia. Gejala apa ini sebenarnya?
KAMIS (13/4) LALU, sebuah kejadian yang cukup menghebohkan terjadi di kota Makassar. Sebuah diskusi yang digelar sebuah komunitas bernama Lentera Negeri dibubarkan secara paksa oleh sejumlah oknum sebuah ormas. Tuduhannya, acara itu membawa-bawa ajaran sesat (dalam hal ini ajaran Syiah), dan karenanya harus dibubarkan. Para pengisi acara dan anggota komunitas yang hadir bahkan katanya digelandang ke masjid, dipaksa untuk mengaku pengikut ajaran Syiah dan dipaksa untuk mengucapkan syahadat ulang.
Dari beberapa berita yang dirilis media, mereka bukan hanya diintimidasi secara psikis namun juga dipukuli dan beberapa barang dirampas.
Padahal, acara ini sendiri katanya adalah acara diskusi yang mengangkat tema tentang bagaimana menempuh pendidikan di luar negeri. Kebetulan saja pembawa acaranya adalah seorang lulusan Irak, tepatnya University of Al-Ma’had, Al-Islaamy Al-Aly, Karbala, Irak. Judul acaranya pun diberi nama “Once Upon a Time in Karbala”. Mungkin saja judul itu yang jadi penentu kesimpulan kalau acara itu berkisar soal ajaran Syiah. Maklum, Karbala adalah salah satu kota suci bagi kaum Syiah.
Lentera Negeri sendiri sebenarnya adalah sebuah komunitas yang fokus pada isu pendidikan, utamanya bagi anak-anak kurang mampu. Setidaknya itu menurut website mereka dan menurut penuturan teman-teman yang lebih tahu tentang kegiatan mereka. Saya sendiri terus terang memang baru mendengar tentang komunitas ini. Maklumlah, saya yang kurang gaul.
Kembali ke soal intimidasi yang diterima oleh Lentera Negeri.
Lentera Negeri bukan satu-satunya komunitas atau penyelenggara kegiatan yang menjadi korban intimidasi ormas atau kelompok lain. Saya tidak punya data pastinya, tapi setidaknya di tahun 2016 dan tahun ini saja ada beberapa kegiatan yang dipaksa bubar oleh sekelompok orang yang mengaku ormas atau kelompok masyarakat.
Kegiatan itu kebanyakan berupa kegiatan diskusi, bedah buku, pemutaran film atau kegiatan seni lainnya. Bahkan kegiatan ibadah pun ada yang menjadi korban pembubaran paksa.
Sebagian besar tuduhan itu berkelindan di antara tuduhan penyebarluasan ajaran komunisme, ajaran sesat dan ibadah tanpa ijin. Bahkan sebuah pemutaran film dan diskusi tentang Tan Malaka di Bandung tahun lalu dibubarkan secara paksa karena dianggap membawa pahan komunisme. Jejak Orde Baru yang memang “meng-kiri-kan” Tan Malaka ternyata masih sangat kuat dan kental.
Tidak Percaya Pada Negara.
Aksi-aksi pemaksaan kehendak dengan membubarkan acara-acara di atas disesalkan banyak pihak. Bahkan dituding sebagai upaya mengebiri demokrasi, menghambat kebebasan berekspresi dan bahkan melanggar hak asasi manusia.
Saya tak hendak membedah benar-salahnya tindakan mereka yang memaksa membubarkan acara itu, atau benar-salahnya tuduhan mereka pada acara-acara yang dibubarkan secara paksa. Saya lebih tertarik melihat gejala sosial tentang pemaksaan ini sebagai sebuah gejala makin hilangnya kepercayaan masyarakat pada negara.
Mereka yang beraksi membubarkan sebuah acara tentu punya dasar yang –menurut mereka- cukup kuat. Entah itu karena menganggap acara yang bersangkutan menyebarkan ajaran sesat atau kegiatan tersebut berlangsung tanpa ijin. Apapun itu. Sayangnya, mereka tidak mengikuti aturan yang berlaku di negeri ini.
Koreksi kalau saya salah, tapi sependek yang saya tahu hanya pihak berwenanglah yang punya hak untuk membubarkan atau melarang sebuah acara apabila dianggap melanggar aturan. Warga tidak punya hak untuk menekan sesamanya warga, karena itu sama saja memantik api pertikaian horizontal.
Bukankah akan lebih baik bila warga menempuh jalur yang memang sudah disediakan oleh negara? Melapor ke RT, RW atau kelurahan/desa setempat, atau melapor ke Polsek/Polres terdekat dan meminta mereka yang mengambil tindakan. Bukankah itu jalur yang tepat?
Ketika kemudian ada kelompok yang tidak mengacuhkan jalur itu dan lalu membuat dan menempuh jalur sendiri, bukankah itu berarti mereka tidak percaya pada negara? Tidak percaya pada jalur yang sudah disediakan oleh negara?
Bisa saja mereka menganggap negara tidak akan bisa mengambil tindakan sesuai keinginan mereka, negara akan cuek saja menanggapi laporan mereka atau paling tidak negara bergerak lamban menindaklanjuti laporan mereka. Untuk menghindari itu semua, mereka memilih bergerak cepat, memobilisasi massa dan menekan agar acara atau kegiatan yang mereka maksud bisa segera berhenti, saat itu juga.
Menarik untuk mencari tahu lebih dalam tentang gejala sosial ini. Benarkah itu dilakukan karena warga kehilangan kepercayaan pada negara? Atau jangan-jangan memang ada agenda yang lebih dari itu?
Ah, rasanya terlalu jauh untuk sampai menilai ke sana. Hanya saja rasanya salah juga kalau kita tidak menganggap hal ini sebagai hal yang penting untuk ditinjau. Masa iya kita akan membiarkan terus gesekan horizontal antar warga seperti itu akan terus terjadi? Efek buruknya akan terus membesar dan mungkin saja akan memakan korban lebih besar.
Yah, semoga saja tidak sampai ke situ. Selama hukum belum memutuskan maka semua orang masih bisa salah atau benar. Bukankah semua warga punya posisi sama di mata hukum?
Selamat hari Senin! Mari berpikir dan berbuat yang terbaik untuk kita, untuk sesama manusia. [dG]