Membaca Kisah-Kisah Dari Manokwari

Sebuah buku kumpulan cerpen yang dibuat oleh anak-anak Manokwari yang membuat saya makin kangen Papua.


SAYA LUPA TEPATNYA KAPAN, tapi mungkin hampir tiga tahun lalu. Sebuah email datang dari David Pasaribu, seorang kawan yang tinggal di Manokwari dan aktif mengelola Komunitas Suka Membaca (KSM) Manokwari. David memang orang Sumatera, tapi dia mengabdikan diri di Manokwari, Papua Barat. Dalam pengabdiannya, dia tidak hanya fokus pada urusan kantor tapi juga meluangkan waktu untuk membangun sebuah jejaring komunitas yang tujuan utamanya meningkatkan minat baca anak muda di Manokwari.

“Susah Bang, di Manokwari membaca belum jadi kebutuhan,” katanya ketika kami bertemu beberapa hari lalu di Makassar.

Di Manokwari ada pulau Mansinam, pulau tempat masuknya Injil untuk pertama kalinya ke Papua. Baca kisahnya di sini

Kembali ke email itu. David meminta saya untuk memberikan sedikit testimoni perihal sebuah buku yang akan dicetak secara indie oleh anak-anak KSM Manokwari. Buku itu berisi 14 buah cerita pendek yang dibuat oleh anak-anak Manokwari. Sebagian besarnya adalah mahasiswa dan mahasiswi.

Setelah membaca cerita pendek yang dikirimkan David, saya membuat testimoni singkat. Rencananya testimoni saya akan dimuat juga di sampul buku, bersamaan dengan testimoni dari beberapa penulis dan bloger lainnya.

Tahun 2015 saat terakhir kali ke Manokwari, saya bertemu David. Sayang, waktu itu buku yang sudah dicetak itu sedang habis, saya tidak kebagian. Baru dua tahun kemudian atau beberapa hari lalu saya mendapatkan cetakan buku kumpulan cerpen karya mereka. David mampir di Makassar dalam perjalanan pulang dari Jakarta. Satu eksemplar buku yang diberi judul “Impian di Tepi Bakaro” itu akhirnya saya terima.

Seperti yang saya bilang di atas, buku ini berisi 14 cerita pendek yang dibuat oleh anak-anak muda Manokwari. Kisahnya lebih banyak tentang perjalanan hidup anak Papua dengan semua suka dan dukanya. Latarnya sama, bumi Papua dan khususnya kota Manokwari.

Bicara soal kualitas, tentu kita harus melupakan dulu standar sebuah cerpen agar bisa dibilang bagus. Terus terang kualitas cerpen di buku “Impian di Tepi Bakaro” ini memang masih jauh dibanding cerpen-cerpen yang mungkin biasa kita lihat. Apalagi kalau dibandingkan cerpen pilihan Kompas, misalnya. Jauh.

Tapi, kumpulan cerpen ini punya kekuatannya sendiri. Kekuatan yang berdiri di atas kejujuran, kejujuran anak-anak Papua menceritakan kisah mereka, hidup mereka dan impian-impian mereka. Jangan lupakan juga kelucuan-kelucuan yang hadir dari beragam dialog di buku ini. Kelucuan khas Papua yang berani menertawakan diri mereka sendiri, menertawakan pahit sulitnya kehidupan dan melupakan kesusahan beberapa jenak.

Membaca kumpulan cerpen ini, angan saya melayang jauh. Melintasi lautan dan mendarat di kota Manokwari. Satu per satu serabut ingatan akan kota itu masuk ke kepala, tertayang seperti sebuah film di layar bioskop. Begitu cerah, begitu nyata.

Buku ini dengan segala kesederhanaan dan kejujurannya membuat saya bisa membayangkan raut muka, gerak tubuh dan alunan nada dalam setiap percakapan tokoh-tokohnya.

Coba simak adegan berikut ini:

“Obet, sekarang hari apa?” Ibunya bertanya.

“Mama, sekarang itu hari Minggu,” dengan santai Obet menjawab.

Ko ini, paling pintar panipu deng mama e. Ko kira mama bodok ka? Sekarang itu hari Senin. Ko tinggal mau hari Minggu terus!” Kata Ibu Maria sambil menarik telinga Obet dan menyeretnya ke dapur.

“Mama ni setiap hari tinggal tarik Obet pu telinga terus. Ini telinga rasa sakit Mama. Sampe merah jadi hitam ka?

Ko tu memang su hitam, jadi tara usah banyak alasan. Makanya kalau tara mau dapa tarik telinga, tara usah banyak panipu!” Ucap ibu Maria dengan jari tangan masih menarik telinga Obet.

~ Cita-Cita Kecil Untuk Bapak dan Mama, hal. 22 ~

Oh Tuhan! Sungguh saya merindukan percakapan dengan bahasa Melayu logat Papua seperti itu. Tanpa disuruh, kepala saya sudah menayangkan adegan di atas, lengkap dengan latar rumah sederhana di tepian kota Manokwari.

Buku ini buat saya luar biasa, dia dengan kesederhanaan dan kejujurannya berhasil menggambarkan Papua seperti apa adanya. Anak-anak Papua yang menuliskan cerita mereka berhasil melakukannya dengan baik. Menampilkan Papua seperti yang seharusnya, tidak dilebih-lebihkan, tidak dikurang-kurangi.

Patung Yesus Kristus di Pulau Mansinam, Manokwari

Sebuah langkah yang sangat luar biasa, untuk sebuah daerah yang selama ini mungkin lebih banyak diberi label: terbelakang, tertinggal dan dihuni orang-orang primitif. Buku ini menampik semua label itu, membawa gambaran yang berbeda dengan yang biasa hadir di kepala orang Indonesia yang malas mencari tahu tentang Papua.

Bagaimana kita bisa bilang mereka masih tertinggal kalau mereka sudah mau membaca dan bahkan membuat sebuah cerpen yang dibukukan? Mereka lebih berani melakukan sesuatu yang justru saya sendiri tidak berani melakukannya. Kurang hebat apa mereka?

Ah, saya rindu ingin kembali ke sana. Semua gara-gara buku “Impian di Tepi Bakaro” ini. [dG]