Saya Memilih Menjadi Blogger

ilustrasi

Dengan ngeblog, saya mendapatkan kebahagiaan. Dari mereka yang membaca dan mereka yang mengenali kisah-kisah inspiratif dari orang-orang yang saya tuliskan.

Lembaran-lembaran tua itu saya temukan di antara beberapa kertas-kertas yang sama tuanya. Semua peninggalan almarhum kakek, ayah dari Ibu. Beliau meninggal ketika saya belum berumur dua tahun, masih terlalu kecil untuk ingat banyak hal tentang beliau.

Namun, rupanya lembaran-lembaran tua itu mendekatkan saya pada sosok almarhum kakek. Lembaran-lembaran itu adalah beragam catatan yang ditulisnya dengan sangat rapi. Isinya tentang beragam kegiatan selama mengikuti Hizbul Wathan, semacam pelatihan pandu yang diadakan oleh Muhammadiyah. Catatan-catatan itu begitu detail, rapi dan nyaris seperti cetakan komputer.

Salah satu catatan milik almarhum kakek

Catatan-catatan itu menyadarkan saya kalau ternyata saya punya seorang kakek yang begitu rajin menulis, mencatat apa saja. Hampir empat puluh tahun setelah kepergiannya, kami cucu-cucunya masih mengingatnya lewat catatan-catatan kecil yang dihimpunnya dengan penuh ketelatenan. Sayang, banyak catatan lain yang sudah berhamburan entah ke mana. Mungkin sudah hancur, mungkin sudah berkumpul dengan sampah. Salah kami yang tak menghargai dan merawatnya.

“Nah, bisa jadi nanti cucu-cucu kita akan mengenang kita lewat tulisan di blog,” kata kawan saya, Lelaki Bugis.

Kalimat itu meluncur ketika suatu malam saya memamerkan catatan-catatan kecil warisan almarhum kakek kepada teman-teman di teras rumah. Kami tersenyum-senyum mendengar celotehan pria yang dulu berambut gondrong gimbal itu. Sebagian mungkin menganggapnya candaan, tapi dalam hati saya meresapi betul kalimat itu.

Saya Memilih Ngeblog.

Sedari kecil saya sudah senang menulis. Meski hidup sederhana, ibu dan bapak sering menghadirkan majalah Bobo di rumah kami yang sempit. Cerita di majalah itulah yang sedikit banyak membuat saya melamunkan banyak hal. Tentang negeri-negeri yang jauh, tokoh-tokoh yang saya ciptakan sendiri, lalu cerita yang saya bangun sendiri. Sering saya tertangkap basah sedang menggerak-gerakkan tangan di udara, menggambarkan khayalan saya sehingga nampak begitu nyata dalam angan.

Lalu saya mulai belajar menulis cerita. Merangkai kata-kata dan menghidupkan bayangan di kepala ke dalam lembaran kertas. Tentu saja hanya lembaran kertas, tahun 80an komputer belum jamak hadir di rumah tangga.

Kebiasaan menulis itu makin menebal ketika beranjak remaja. Suatu hari Bapak mengangsurkan sebuah buku tebal bersampul hitam. Ukurannya A4 dengan motif polos tanpa garis. Mulai sejak itu buku bersampul hitam yang saya beri nama Hatsu (karena sebenarnya itu adalah buku bonus dari mobil merek Daihatsu) itu menjadi karib saya.

Hampir setiap hari saya menengoknya. Menuliskan tentang apa saja, tentang perasaan berbunga-bunga ketika pertama kali bisa berkunjung ke rumah seorang gadis yang saya taksir,  tentang kesedihan ketika satu per satu teman nongkrong menghilang karena sibuk mengurusi pacar-pacar mereka, tentang kegembiraan, bahkan tentang piala dunia 1994 yang sedang berlangsung. Apa saja, dan nyaris kapan saja. Mengisi buku itu seperti bercakap-cakap dengan seorang kawan. Saya senang karena aslinya saya memang bukan tipe orang yang gampang terbuka pada orang lain. Si Hatsu menjadi karib saya, dia tahu banyak sisi saya. Dari yang tergelap sampai paling rahasia sekalipun.

Hampir sepuluh tahun kemudian saya menemukan blog. Menemukan cara baru untuk bercakap-cakap dengan orang banyak, menuliskan isi kepala dan menceritakan banyak hal. Dari sekadar iseng hingga lama-kelamaan saya merasa tidak bisa berpisah dari blog. Dari sekadar iseng hingga kemudian saya merasa saya harus belajar meningkatkan kemampuan menulis.

Tahun 2012 adalah tahun yang tidak akan pernah saya lupakan. Di awal tahun itu akhirnya saya memutuskan untuk berhenti menjadi karyawan, sesuatu yang sudah saya lakoni selama 15 tahun.

“Kamu mau kerja apa?” Tanya mantan boss saya di hari ketika surat pengunduran diri saya ajukan.

“Saya terus terang belum tahu pak,” jawab saya waktu itu.

Dalam hati saya menjawab, ingin menjadi bloger. Tapi sumpah! Kala itu saya tidak tahu mau hidup bagaimana dengan menjadi seorang bloger. Bagaimana saya bisa mendapatkan uang dari blog? Bagaimana kemampuan saya sebagai seorang bloger bisa menghidupi saya dan keluarga? Saya bingung, tapi saya memantapkan hati menjadi seorang bloger.

Saya memilih ngeblog.

Menemukan Gravitasi di Banyak Tempat.

Lima tahun setelah memutuskan fokus menjadi seorang bloger, saya masih tetap bertahan.  Mengisi blog dengan sepenuh hati, semampu yang saya bisa. Memang tidak sepenuhnya bisa dibilang saya hidup dari blog, tapi lebih tepat kalau dibilang saya hidup dari kemampuan saya menulis.

Blog saya jadikan etalase kemampuan saya, tempat saya memamerkan kemampuan saya menulis. Di blog ini saya menuliskan banyak hal, tentang pandangan-pandangan personal saya, pengalaman saya berjalan ke banyak tempat atau tentang pertemuan dengan banyak sosok. Kisah-kisah itu saya tuliskan, saya kisahkan dan saya tampilkan apa adanya.

Bertemu seorang tokoh di tempat yang tak biasa

Saya tidak berani bilang kalau blog saya sudah menarik banyak orang, sudah menjadi gravitasi bagi banyak orang. Sesekali ada juga yang berterima kasih, mengaku terinspirasi dari tulisan-tulisan saya, mengaku mendapatkan pencerahan dari sosok-sosok orang biasa namun luar biasa yang saya tuliskan, atau sekadar merasa menemukan pengetahuan dan informasi baru.

Tahun 2015 pun sebuah radio swata besar di kota Makassar menempatkan saya sebagai salah satu penerima penghargaan Makassar Inspiring People 2015. Sesuatu yang ah, saya malu mengatakannya karena sesungguhnya saya belum merasa pantas menerimanya. Tapi untuk itu saya merasa bersyukur.

Entahlah kalau itu bisa dianggap sebagai gravitasi, sebagai penarik bagi banyak orang. Toh selama ini saya memang tidak punya pikiran untuk menjadi pusat perhatian, apalagi mencari ketenaran. Blog saya buat dan saya isi benar-benar sebagai tempat untuk menceritakan banyak hal, berbagi kisah dan inspirasi dari pengalaman saya, dari orang-orang yang saya temui.

Saya selalu yakin ada banyak orang luar biasa di dunia ini, orang-orang yang tidak tersiram cahaya lampu sorot ketenaran tapi sebenarnya punya kisah inspiratif yang alamiah dan patut dicontoh.

Saya pernah bertemu para perantau yang bertahan hidup di negeri orang, bertemu para penjaga hutan Kalimantan, bertemu seorang pria yang mengabdikan hidupnya mendampingi orang Dayak Punan, bertemu pria Sunda yang mendampingi petani di Sumba dan banyak lagi.

Markus Ilun, sang penjaga hutan Kalimantan

Kisah-kisah mereka saya tuliskan lagi di blog ini, berharap kita semua sadar kalau negeri ini masih penuh dengan orang-orang yang bekerja dengan hati tulus, tidak berpikir tentang bayaran, tidak pernah mempertanyakan agama atau keyakinan orang lain. Tanpa mereka sadarai, merekalah sebenarnya yang menjadi pusat gravitasi, menarik banyak orang di sekelilingnya secara sukarela, lalu mengubah banyak hal.

Mungkin bagi sebagian orang, blog ini menarik karena ada cerita-cerita mereka. Blog ini jadi pusat gravitasi yang menarik mereka untuk membaca kisah-kisah di dalamnya. Tapi sesungguhnya para tokoh dan sosok itulah gravitasi sebenarnya, orang-orang yang punya kelebihan yang saya tuliskan secara sederhana di blog ini.

Kebahagiaan terbesar bagi saya adalah ketika ada orang yang terinspirasi atau sekadar mengagumi kegiatan orang-orang yang saya tuliskan di blog ini. Bisa menghadirkan cerita mereka dan menarik perhatian pembaca blog ini adalah sebuah kebahagiaan, berarti saya berhasil menjadi pengantar cerita mereka, menyebarkan kisah mereka dan mungkin saja menginspirasi orang lain.

Gravitasi Dari Sebuah Smartphone

 

Catatan: Bagian tentang handphone Luna telah saya hapus. sebagai bagian dari solidaritas kepada beberapa teman blogger yang tidak puas dengan penilaian dari panitia lomba blog Luna. 

 

Sampai hari ini saya tetap bahagia menjadi seorang bloger. Menuliskan banyak hal, menceritakan banyak hal, dan mencatat banyak hal. Sungguh sebuah kebahagiaan ketika menemukan beragam catatan saya ternyata dibaca orang, bahkan mungkin menginspirasi mereka.

Mengutip ucapan Khrisna Pabichara, seorang novelis kawan akrab kami; tulisanmu akan hidup jauh melampaui usiamu. Mudah-mudahan suatu hari nanti anak-cucu saya akan menemukan beragam tulisan di blog ini, membacanya dengan penuh perasaan dan mungkin saja mengaguminya. Sama seperti saya mengagumi catatan kecil yang dibuat almarhum kakek saya.

Semoga. [dG]