Orang Jakarta Itu Paling Ribut se-Indonesia

Kota tua Jakarta

Dari persiapan pilkada, kampanye, hari pencoblosan sampai hari ini ketika gubernurnya dilantik, Jakarta memang paling ribut se-Indonesia.

GELARAN PILKADA PALING HEBOH se-Indonesia sudah selesai. Pemenangnya pun sudah dilantik bulan kemarin. Tapi, proses pelantikan itu tidak serta merta membuat publik Jakarta jadi tenang tenteram, minimal diam sentosa.

Tidak saudara-saudara.

Sudahlah pilkadanya begitu heboh sejak dari masa persiapan, kampanye sampai prosesnya. Paska pilkadanya pun tetap saja sama ributnya.

Satu Indonesia sudah dibuat sibuk sejak proses kampanye pilkada DKI Jakarta. Bahkan demo-demo yang katanya tidak ada hubungannya dengan pilkada itu pun dipadati ratusan ribu manusia (bahkan katanya sampai jutaan). Bukan cuma warga Jakarta loh, warga dari provinsi seberang pun ikut datang. Bahkan dari pulau seberang juga sama.

Katanya demo itu tidak ada kaitannya dengan pilkada. Kebetulan saja yang didemo adalah salah satu calon gubernur DKI Jakarta. Jadi ketika setahun kemudian ada seorang pembesar demo itu yang mengaku kecewa karena gubernur terpilih tidak hadir dalam peringatan satu tahun demo tersebut, itu hanya ungkapan kekecewaan pribadi. Sekali lagi, karena demo itu tidak ada hubungannya dengan pilkada DKI Jakarta.

Tolong dipercaya ya.

Saking ributnya Jakarta dengan persiapan pilkada itu, suatu hari di pulau Sumba saya sampai ditanya seorang ibu di sebuah desa di sebuah kecamatan bernama Lewa.

“Mas, kira-kira menurut mas Ahok bisa menang ndak nanti?” Tanya si ibu.

Lah? Mana saya tahu bu, kata saya dalam hati. Sebenarnya jawaban paling pas adalah: mana saya peduli bu. Mau Ahok memang atau kalah, tidak ada pengaruhnya sama saya. Saya orang Makassar, KTP saya Sulawesi Selatan. Jadi ya persetan dengan pilkada Jakarta. Persetan dengan Ahok, Anies atau siapapun yang mau jadi gubernur di sana.

Saking ributnya Jakarta, sampai si ibu yang jauh di Sumba Timur itu ikut-ikutan meributkan pilkada provinsi yang orang-orangnya bahkan tidak tahu Lewa itu di mana.

Saya cuma geleng-geleng kepala.

Pas hari pemilihan pun sama. Padahal waktu itu ada 100 kabupaten, kota dan provinsi yang sama-sama menggelar pemilihan kepala daerah, tapi perhatian orang hanya tertuju ke pilkada DKI Jakarta. Orang-orang daerah hanya melirik sejenak ke pilkada di kampung mereka sendiri, lalu sibuk menggosipkan siapa yang bakal keluar sebagai pemenang di pilkada DKI Jakarta.

Bahkan konon di sebuah daerah di Papua, ada orang tua yang setelah masuk bilik suara keluar kembali membawa kertas suaranya, mendekat petugas dan bertanya, “Fotonya Ahok yang mana?”

Tarakdung jess!!

Si orang tua itu mungkin mengira Ahok itu calon presiden atau calon kepala daerah di semua wilayah di Indonesia. Saking ributnya orang Jakarta dan saking seringnya keributan itu disorot media.

Setelah keputusan pemenang pilkada keluar, apakah kemudian semuanya tenang kembali? Tentu tidak saudara-saudara! Apalagi karena Ahok yang terlanjur terkenal dengan segala kontroversinya itu ternyata kalah. Eh tapi kalaupun dia menang, saya juga yakin keributan masih akan terus berlanjut.

Mulailah orang Jakarta pendukung Ahok dan orang Jakarta pendukung Anies saling serang. Pendukung Ahok mulai mencari-cari kesalahan Anies, dari kampanye bernuansa SARA, sampai visi yang dianggap nol besar. Pendukung Anies tidak mau kalah, menuding pendukung Ahok sebagai pihak yang tidak mau move on.

Pokoknya ribut, dan pokoknya kalian semua yang bukan orang Jakarta harus menikmati. Jadi penonton atau kalau mau ikut ribut juga boleh.

Meski ribut, Jakarta memang punya magnet yang kuat. Baca di sini

Lalu dilantiklah gubernur baru Anies Baswedan dan pasangannya Sandiaga Uno sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta yang baru. Apakah keributan akan berhenti? Oh tentu tidak dong. Malah di hari pertama sang gubernur baru menjabat, keributan sudah dimulai. gara-garanya ya tahu sendirilah, soal penggunaan kata pribumi dan non pribumi itu.

Dari yang sekadar ribut saling hujat tanpa paham konteks yang sebenarnya, sampai yang mau bersusah payah menjelaskan dengan analisis yang logis. Tapi sepertinya lebih banyak yang golongan pertama. Ribut saja dulu, mengerti konteks nanti saja. Kalau sempat.

Lalu mulailah praktik membanding-bandingkan antara gubernur baru dengan gubernur lama. Duh, baru juga mulai kerja beberapa hari sudah dibandingkan dengan pejabat lama. Itu rasanya bagaimana ya? Semacam baru juga pacaran, teman-temannya si pacar sudah membanding-bandingkan kita sama mantannya si pacar.

Perih bro, perih!

Suasana lalu makin ribut ketika Anies mulai menepati janjinya dengan menutup Alexis. Mereka yang tidak mendukung mulai ribut dengan alasan: halah, itu juga banyak tempat hiburan lain. Kenapa cuma Alexis yang ditutup? Terus ketika ada berita tentang rumah-rumah liar di pinggiran rel kereta, mereka juga berkomentar: itu yang harusnya dipriotaskan, jangan cuma menutup Alexis aja yang diutamakan.

Terbayangkah oleh kalian, kalau saja sang gubernur baru itu tidak menutup Alexis, kira-kira komentar apa yang akan hangat muncul di permukaan? Paling-paling akan muncul seperti ini: ah, kan? Mana berani dia menutup Alexis! Hanya janji kampanye saja.

Jadi intinya, mau ditutup atau tidak tetap saja akan ribut. Memang dasar hobinya ribut sih ya.

Belum selesai keributan itu, si wakil gubernur baru pun sibuk muncul di media dengan kata-kata yang lucu. Entah dia yang keseleo lidah atau media yang memelintir. Pokoknya kata-katanya cukuplah buat jadi bahan amunisi menambah keributan. Tentu dari para oposan.

*****

TAPI SAYA PIKIR-PIKIR, ributnya orang Jakarta ini juga difasilitasi oleh media. Tahu kalau orang Jakarta suka ribut, media juga ikut mengompori. Coba tengok media massa, baik online maupun offline. Tiap hari pasti ada saja berita tentang Jakarta dan pemimpin barunya. Sudutnya beda-beda. Media yang mendukung pasti memberitakan langkah-langkah positif pemimpin baru Jakarta. Kebalikannya, media oposisi pasti membandingkannya dengan pemimpin terdahulu dengan penekanan pada kesan kalau pemimpin baru ini tidak sebanding dengan pendahulunya.

Sudahlah orangnya doyan ribut, medianya pun ikut mengompori. Klop!

Jadilah kita orang di luar Jakarta cukup mengelus dada(-nya siapa) melihat keributan itu. Ada yang cuek saja, ada yang memilih jadi penikmat saja dengan menggulung layar laptop atau ponsel pintar membaca setiap keributan. Ada juga yang kemudian dengan penuh semangat ikut dalam keributan itu, padahal ketika ditanya apa yang sudah dikerjakan gubernurnya selama ini dia akan terdiam.

Ada juga yang kemudian menulis artikel tidak jelas tentang keributan itu. Seperti saya misalnya.

Ah, ini gara-gara orang Jakarta yang ribut itu. [dG]