Dangdut, Genre Musik Paling Adaptif

Hadirnya Sang Raja

Jatuhnya Orde Lama dan digantikan dengan Orde Baru turut memengaruhi perkembangan musik Indonesia. Musik pop dan rock dari Eropa dan khususnya Amerika kembali marak mengalir ke Indonesia. Secara tidak langsung dua genre musik tersebut turut memengaruhi perkembangan musik dangdut.

Salah satu pedangdut yang kemudian melesat ke permukaan adalah H. Rhoma Irama. Memulai karir musik di tahun 1969, Rhoma dengan Orkes Melayu Soneta bentukannya mencoba formula musik yang baru. Rhoma mengawinkan musik India, Arab, Melayu Deli, dan satu bumbu rahasia: sayatan gitar a la Ritchie Blackmore dari band Deep Purple.


Rhoma dan Soneta

Rhoma Irama bertekad menciptakan musik yang lebih moderen dan populer serta bisa melintasi beragam strata sosial. Usahanya berbuah manis, kelak dia dikenal sebagai Raja Dangdut.

Di bagian penyanyi perempuan ada nama Elvy Sukaesih. Elvy juga mengawinkan beragam formula musik seperti India, pop barat, dan beragam musik tradisi Indonesia. Di panggung, Elvy tampil dengan busana yang mencolok plus goyangan badan yang sangat terinspirasi dari goyangan penari dan penyanyi India. Elvy didapuk sebagai Ratu Dangdut mendampingi Rhoma Irama.


Raja dan ratu dangdut

Di awal tahun 70-an, menurut Remy Silado beberapa musisi rock di Bandung mulai melekatkan nama dangdut untuk genre musik yang dimainkan oleh Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih itu. Nama ini adalah onomatopea dari ritme gendang yang dimainkan, yaitu “dang” dan “dut”. Penyebutan ini sebenarnya bersifat merendahkan dan mencela musik yang mereka anggap sebagai “musik kampungan”. Di tahun 1972, penyebutan dangdut semakin populer dan mulai digunakan secara luas ketika Majalah Aktuil – majalah musik paling populer saat itu – memuat kata dangdut dalam satu artikel mereka. Dari awalnya sebagai celaan hingga kemudian menjadi paten.

Musik Kampungan

Kemunculan dangdut di awal tahun 1970-an rupanya dengan cepat diterima oleh masyarakat. Fenomena ini membuat beberapa musisi rock dan pop yang hadir dari kalangan elit mulai merasa terancam eksistensinya. Mereka kemudian membuat batasan-batasan yang berawal dari wacana tentang estetis, ekonomi, dan ideologis untuk mempertahankan eksistensi mereka.

Dangdut dianggap sebagai musik kampungan menurut ketiga batasan tersebut, dan karenanya pantas untuk direndahkan.

Salah satu musisi rock yang bertanggung jawab atas hinaan atas musik dangdut adalah Benny Soetedja, personil band Giant Step. Benny secara terang-terangan mencela musik dangdut sebagai “musik tai anjing”, musik yang dianggapnya sebagai musik ecek-ecek yang kastanya jauh di bawah musik rock. Rhoma Irama berang dan membalas hinaan itu dengan menyebut musik rock sebagai “terompet setan”.

Dan perang terbuka dimulai.

Selama bertahun-tahun, tidak ada kedamaian antara para pendengar musik dangdut dan musik rock. Tawuran kerap terjadi, dan korban yang jatuh tidak terhitung jumlahnya. Penggemar musik rock akan mengencingi panggung musik dangdut yang kemudian dibalas dengan setruman oleh penggemar musik dangdut.

Untungnya perseteruan tersebut pada akhirnya bisa didamaikan. Di rentang 1977 sampai 1985, grup musik Soneta yang mewakili dangdut dan God Bless yang mewakili rock pernah pentas bersama sampai dua kali. Tidak hanya itu, di sisi musik pun kedua aliran tersebut saling memengaruhi.


Akhirnya dangdut dan rock bisa berdamai

Rhoma Irama semakin kental memasukkan unsur rock ke dalam musik-musik dangdut ciptaannya, dan Ahmad Albar bahkan menelurkan album berjudul Zaskia, album berisi lagu-lagu berirama dangdut yang dikerjakannya bersama Ian Antono. Benny Soebagja yang dulu ikut memantik perseteruan pun ternyata sudah berubah. Selepas bubarnya band Giant Step, Benny merilis album solo yang salah satu lagunya “18 Years Old” dibuka dengan tabuhan tabla dan seruling, khas musik dangdut.

Halaman 3: Dangdut sampai ke Jepang…….