Bapak Yang Memperkenalkan Saya Pada Musik Cadas

Coba tebak, ini band apa?

Sedikit banyaknya Bapak berperan memperkenalkan musik cadas kepada saya.

ORANG BILANG, SELERA MUSIK kita dipengaruhi oleh lingkungan. Apa yang biasa kita dengar dari lingkungan, baik itu lingkungan rumah atau lingkungan tempat nongkrong, punya peran besar untuk menyetir arah selera kita. Apalagi waktu kita masih sangat muda, masih bingung mencari jati diri.

Soal selera musik, saya tidak bisa mengecilkan arti (alm) Bapak dalam hidup saya. Beliaulah orang pertama yang memperkenalkan musik cadas ke saya, menjejalkan beberapa band dan penyanyi cadas ke kuping anak-anak saya.

Semua bermula dari rumah.

Di rumah bapak punya beberapa koleksi kaset pita, benda yang sekarang sudah pantas masuk museum saking jarangnya beredar. Dari beberapa kaset pita itu, sebagian besar di antaranya adalah musik-musik cadas. Dari kaset-kaset itulah saya mengenal nama Rolling Stones, Black Sabbath dan Deep Purple. Nama-nama band tahun 70an yang juga dikenal sebagai pengusung aliran Rock N’ Roll sampai heav metal.

Selain mereka, ada juga nama-nama seperti CCR, Eagles atau Cat Stevens. Nama yang alirannya tidak terlalu cadas, tapi cukuplah untuk membuat kepala bergoyang atau kaki bergerak seperti tukang jahit menggunakan mesin jahit tua.

Biasanya parade lagu-lagu cadas itu dimulai di pagi hari. Bapak akan menyetel beberapa kasetnya, lalu ikut bersenandung meski kadang senandungnya sama sekali tidak mengikuti lirik. Iramanya saja yang sama, dari mulut Bapak hanya keluar dua huruf: M dan H. Agak jarang saya dengar beliau bersenandung dengan lirik.

Parade itu akan lebih terasa di hari libur. Minggu pagi biasanya Bapak akan memutar lagu-lagu kesayangannya sebelum kami semua bangun dan mulai menantikan si Unyil di TVRI. Kalau kami semua sudah bangun dan siap menyambut si Unyil, barulah parade itu berhenti.

Ketika kami pindah rumah, saya ingat Bapak punya alat pemutar kaset yang lumayan bagus. Bertingkat tiga dengan dua pintu buat dua kaset. Pemutar kaset itu sudah disempurnakan dengan equalizer dan dua speaker besar. Suaranya mantap, apalagi Bapak mengatur posisi speakernya di sekeliling ruangan keluarga. Mungkin itu yang dimaksud Home Theatre, entahlah.

Di jaman ketika VCD mulai marak, medium memutar lagu-lagu kesayangannya juga berubah. Kaset tidak lagi jadi pilihan utama. Bapak mulai mengoleksi CD berisi lagu-lagu kesayangannya dalam format MP3. Tentu saja VCD bajakan. Waktu itu di rumah sudah ada VCD player yang juga bisa memutar format MP3. Speaker besar masih terpakai, tapi pemutar kaset yang besar itu mulai memasuki masa istirahat.

Kesukaan pada band-band rock lawas berlanjut, hanya formatnya saja yang berganti. Saya masih sering mendengarkan Bapak memutar lagu-lagu dari CCR, Eagles dan beberapa band rock lawas lainnya. Waktu itu saya sendiri sudah mulai tertarik pada band-band rock dari Amrik. Mulai dari Guns N Roses dan Metallica lalu berakhir pada Nirvana dan Pearl Jam. Saya mulai punya dunia sendiri, tidak lagi mengikut pada dunianya Bapak.

Baca Juga: 3 Level Fans Pearl Jam

Sebenarnya selain band-band rock dari luar, Bapak juga punya idola dalam negeri. Siapa lagi kalau bukan Iwan Fals.

Sering kali Bapak memutar lagu dari penyanyi yang nama aslinya Virgiawan Listanto itu. Dari lagu-lagu lama sewaktu Iwan Fals masih bersama Doel Sumbang dan Papa T Bob sampai album-album solonya yang laris di tahun 80an. Sesekali saya geli sendiri mendengar lirik-lirik nakal nan cabul dari rombongan Iwan Fals, Doel Sumbang dan Papa T Bob itu.

Saya ingat jaman SMP (yang tahunnya silakan tebak sendiri), sesekali saya dan teman-teman membincangkan lirik lagu Iwan Fals. Kami menebak-nebak siapa tokoh pemerintah yang dia kritik atau kejadian apa yang dikritisinya. Saya pikir-pikir, hebat juga saya waktu itu. Masih belasan tahun tapi sudah mulai berani berpikir kritis. Ha-ha-ha.

Ah saya hampir lupa. Dulu sesekali Bapak juga memutar lagu-lagu Minang yang entah kasetnya beliau dapat dari mana. Menyenangkan sekali rasanya mendengar lagu dengan irama rancak dan lirik yang asing itu. Sesekali saya mencoba menebak apa makna dari lirik-lirik lagu Minang itu. Satu judul yang masih saya ingat sampai sekarang adalah: Denai Bisiakkan. Tapi jangan tanya siapa penyanyinya, saya lupa.

Semakin tua, Bapak semakin bijak dan agamis. Selera musiknya pun mulai berubah, tidak lagi secadas dan sekeras dulu. Bahkan Bapak mulai rajin memutar musik-musik religi. Sebenarnya Ibu sedari dulu sudah sering kali memutar musik-musik kasidah dari grup-grup kasidah jadul seperti Nasidaria. Belakangan selera musik religi itu juga dimodernisasikan oleh Bapak.

Maka bergemalah lagu-lagu dari album Cinta Rasul-nya Haddad Alwi dan Sulis.

Lagu-lagu dari Haddad Alwi itu lumayan sering bergema di rumah, tapi saat itu saya sudah punya dunia sendiri. Sudah asyik dengan selera musik sendiri yang oleh bapaknya teman disebut: musik setan.

*****

SAMPAI HARI INI saya masih menggemari musik cadas. Masih jadi penggemar berat Pear Jam dan masih bisa mengikuti musik-musik dari Guns N’Roses, Nirvana, Metallica bahkan Sepultura. Pun masih bisa menerima musik dari Linkin Park.

Mungkin memang sudah jalannya saya didekatkan pada musik-musik cadas itu lewat Bapak. Saya pikir kalau seandainya tidak sedari kecil saya diakrabkan dengan musik-musik cadas versi lawas kepunyaan Bapak, mungkin saya akan kesulitan menerima pengaruh dari lingkungan. Mungkin saya tidak akan bergaul dengan teman-teman penggemar musik cadas dan malah menjauhinya. Sebaliknya, karena sudah akrab dengan musik cadas sedari kecil maka mudah saja bagi saya memasuki lingkungan penggemar musik cadas di sekolah.

Hingga akhirnya saya juga jadi penggemar musik cadas sampai sekarang.

Kalau kalian, musik apa yang “diwariskan” oleh Bapak kalian? [dG]