Mencari Sudut Pandang Dalam Sebuah Lomba Blog

Ilustrasi
Ilustrasi

Tentang tulisan yang akhirnya jadi salah satu terbaik di lomba Wonderful Eclipse.

Sejak pertama melihat pengumuman lomba blog Woderful Eclipse, saya langsung memutuskan untuk ikut. Bukan hanya karena hadiahnya yang menggiurkan, tapi tantangannya. Selama tahun 2016 ini saya sudah mengikuti empat lomba blog (sebelum Wonderful Eclipse) dan keempat-empatnya tidak berhasil membuat nama saya ada di daftar pemenang.

Kondisi ini terus terang cukup mengganggu. Bayangkan, bahkan di lomba blog yang pemenangnya 44 orang pun, nama saya tidak tercantum sama sekali. Bagaimana tidak (sempat) bikin down coba? Tapi saya tetap berusaha optimis, mencoba untuk bangkit dan terus menguji kemampuan di lomba blog.

Saya orang yang kompetitif, senang bersaing secara sehat dengan orang lain. Selalu merasa tertantang untuk mencoba hal baru dan bersaing dengan orang lain. Lomba blog adalah salah satu media yang menarik buat saya. Dalam sebuah lomba blog ada proses kreatif yang selalu menantang adrenalin saya, ada proses yang kadang menambah pengetahuan saya dan tentu saja ada kebahagiaan ketika semua proses itu membuahkan hasil.

Tapi meski begitu saya juga tidak asal ikut lomba. Saya hanya berani ikut lomba blog yang memang temanya sesuai dengan kesukaan saya atau temanya saya kuasai. Lomba review gadget mulai saya hindari karena temanya tidak terlalu saya kuasai, pun saya lihat penilaiannya tidak selalu hanya kualitas tulisan tapi juga faktor pendukungnya. Saya menyerah di soal itu, karena bagi saya kualitas tulisan adalah nomor satu.

Karena itulah ketika melihat lomba Wonderful Eclipse itu saya langsung tertarik. Lomba ini pasti mengutamakan kualitas tulisan, bukan hanya faktor pendukung seperti grafis, foto atau video. Kebetulan juga lomba ini menyertakan nama jurinya sehingga memudahkan saya untuk meraba jenis tulisan yang disukai juri.

Lomba yang baik buat saya adalah lomba yang menyertakan nama jurinya, sehingga kita tahu strategi apa yang tepat untuk menaklukkan juri. Lomba tanpa menyertakan nama juri akan menyulitkan peserta untuk menebak jenis tulisan yang disenangi para juri. Jelas lebih berat dan membuat kita harus lebih sering menebak.

*****

Waingapu, Sumba Timur, 22 Maret 2016. Saya masih pusing menemukan ide dan sudut pandang dalam menulis tentang gerhana matahari total (GMT). Lombanya akan berakhir dua hari lagi, tapi kepala saya masih kosong. Malam di restoran hotel saya lewatkan dengan membaca beberapa literatur tentang gerhana matahari dan sekaligus membaca beberapa tulisan peserta yang lain. Saya selalu melakukan riset sederhana sebelum mengikuti sebuah lomba blog. Sekadar menentukan strategi yang tepat untuk mulai menulis.

Rata-rata peserta adalah mereka yang melihat langsung proses gerhana matahari total di beberapa daerah di Indonesia. Dari Ternate, Palembang sampai Belitung. Sementara saya? saya hanya di halaman rumah, menatap gerhana yang bahkan tidak penuh. Kalau memilih sudut pandang yang biasa, saya pasti kalah. Tidak punya sentuhan pribadi yang lebih dibanding peserta yang lain.

Apa yang harus saya tulis?

Keesokan harinya saya memutuskan untuk mulai menulis. Saya tertahan sehari di perjalanan karena cuaca buruk di Waingapu. Di Bali saya mulai membuat tulisan untuk lomba ini, tenggat tersisa sehari lagi. Sebenarnya saya bukan tipe orang yang senang menulis mendekati tenggat waktu, tapi khusus kali ini berbeda. Ada beberapa jadwal kegiatan dan perjalanan tugas yang membuat saya nyaris tidak punya waktu luang untuk menulis.

Tulisan yang saya mulai tidak selesai 100% sampai saya tiba di Makassar keesokan harinya. Batas waktu pengumpulan tulisan sisa 6 jam lagi.

Bandara Sultan Hasanuddin ramai sekali malam itu. Dari kasak-kusuk penumpang saya dengar kalau jalanan di luar macet parah akibat pengerjaan under pass depan bandara. Taksi argo kosong, hanya ada mobil rental yang memasang harga tinggi dari biasanya. Ojek pun seperti itu. Alasannya; macet parah pak.

Ya sudah, daripada menghabiskan uang lebih dan membuang waktu di jalan saya lebih memilih mencari kafe di bandara dan menyelesaikan tulisan yang sudah saya rintis sejak di Bali. Sekira sejam kemudian tulisan saya selesai, panjangnya 1.200an kata. Tulisan itu saya baca ulang dari awal sampai akhir dan berujung pada pikiran; sialan! Ini biasa saja. Datar, tidak ada yang istimewa.

Segelas kopi dan sepotong kue serta beberapa batang Marlboro Ice Blast sudah habis. Tapi tulisan yang sudah siap tayang itu rasanya biasa saja. Saya yakin juri tidak akan meliriknya, kalah dengan tulisan peserta lain yang punya sentuhan lebih istimewa.

Lalu tiba-tiba ide itu muncul. Kenapa saya tidak mencoba sudut pandang lain? Mengangkat Batara Kala sebagai subjek utama dan seolah-olah saya mengirim surat kepadanya? Batara Kala adalah raksasa mitos yang selalu dikaitkan dengan gerhana matahari. Ide ini bisa membuat tulisan saya berbeda dengan yang lain! Teriak saya dalam hati.

Beberapa detik kemudian saya sudah mulai menulis dengan ide dan sudut pandang yang baru. Tulisan meluncur begitu saja sampai akhirnya saya lihat isinya sudah lebih dari 1000 kata. Setelah titik terakhir, saya baca kembali tulisan itu. Berbeda dengan tulisan sebelumnya, kali in saya lebih puas dan lebih optimis. Bungkus! Kata saya dalam hati.

Beberapa menit menjelang tenggat tulisan itu akhirnya tayang dan bisa saya daftarkan. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, sekarang serahkan semua kepada yang Maha Mengatur.

*****

Pada akhirnya tulisan yang saya sertakan itu masuk sebagai tulisan terbaik ketiga. Alhamdulillah, lumayan mendongkrak kembali kepercayaan diri saya yang sempat terpuruk. Memang hanya juara tiga, tapi buat saya itu sudah menyenangkan. Saya tidak melihat langsung gerhana matahari total, hanya diam di rumah dan itu pun hanya melihat gerhana matahari parsial. Tapi saya merasa berhasil mengolah pengalaman biasa itu menjadi pengalaman yang mampu menarik perhatian juri.

Alhamdulillah ya
Alhamdulillah ya

Saya kembali menegaskan kepada diri sendiri kalau kreativitas mencari ide dan sudut pandang tulisan dalam sebuah lomba adalah segala-galanya. Percuma punya bahan bagus kalau kita tidak bisa meramunya jadi sebuah tulisan yang berbeda. Terdengar mudah tapi praktiknya tidak segampang itu. Memang butuh kreativitas, pengalaman, kemauan belajar dan tentu saja keberanian mencoba hal baru.

Karena buat saya belajar dan mencoba hal baru tidak pernah ada habisnya. [dG]