Paolo Maldini, legenda hidup kota Milan

 

 

Ada pemandangan yang berbeda pada laga derby de la madonina antara Inter Milan dan AC Milan hari minggu (15/2) kemarin.

 

Sebuah spanduk besar yang dibentangkan tifosi Inter Milan berbunyi : Per 20 anni nostro rivale, ma nella vita sempre lealeatau kurang lebih berarti : selama 20 tahun engkau adalah musuh kami, tapi dalam hidup engkau adalah orang yang setia. Kata-kata itu ditujukan kepada seorang pemain AC Milan, seorang pemain besar yang telah mengabdikan 25 tahun hidupnya untuk klub merah hitam tersebut.

 

Pemain itu adalah Paolo Maldini, sang kapten. Tahun ini, pria kelahiran 26 Juni 1968 tersebut berniat untuk pensiun dari dunia yang telah membesarkan namanya. Niat ini merampungkan masa seperempat abad “perkawinannya” dengan sepakbola profesional yang dimulai sejak tahun 1984. Selama kurun waktu tersebut Paolo hanya mengabdi pada satu klub saja, AC Milan.

 

Saya pertama kali mengenal lelaki bermata tajam itu ketika dia tampil membela Italia di piala dunia 1990. Saat itu Paolo disebut-sebut sebagai pemain muda berbakat yang baru saja berusia 21 tahun. Permainannya sebagai bek kiri dikenal sangat lugas, tanpa kompromi meski tak kasar. Paolo adalah bek sayap yang rajin naik membantu setiap serangan selain tentu saja kokoh di garis belakang.

 

Di era kejayaan AC Milan di akhir tahun 80-an hingga pertangahan tahun 90-an, Paolo menjadi satu bagian penting dalam tim. Bersama kompatriotnya macam Franco Baresi, Alessandro Costacurta dan Mauro Tassoti, Paolo menjadi pilar penting yang menenangkan para kiper. Pada piala dunia 1994, kuartet ini menjadi pilihan utama Arrigo Sacchi sang pelatih. Barisan belakang Italia waktu itu disebut sangat Milan Sentris dengan Paolo sebagai salah satu pilarnya. Hebatnya lagi, di sesi piala dunia itu, hanya Paolo lah satu-satunya pemain yang bermain mulai dari pertandingan pertama hingga pertandingan final melawan Brasil.

 

AC Milan dan tim nasional Italia telah berkali-kali berganti pelatih, namun tak peduli siapapun yang melatih, nama Paolo Maldini selalu masuk dalam daftar pemain utama. Di piala dunia 1998, Paolo Maldini menjadi satu-satunya pemain Italia yang bermain sejak fase penyisihan grup, putaran final hingga Italia kandas di perempat final. Konsistensi dan aura kepemimpinan Paolo Maldini menjadi garansi mutlak bagi para pelatih.

 

Selepas kerpergian Franco Baresi, Paolo Maldini kemudian didaulat menjadi kapten tim, baik di AC Milan maupun di tim nasional. Tak ada yang meragukan kepemimpinan ayah 2 anak itu. Kharismanya begitu kuat dan mampu mengundang hormat baik dari sesama kolega maupun dari lawan-lawannya.

 

Tak ayal seorang pemain sebesar Steven Gerrardpun mengakui kharisma sang kapten. Dalam pertemuan pada final piala Champion Eropa tahun 2005 di Istanbul, Steven Gerard mengaku grogi saat bersisian dengan Paolo di lorong menuju lapangan.

 

Paolo Maldini jelas adalah seorang pemain yang patut untuk dihormati siapa saja. Kehidupannya di dalam dan luar lapangan bisa menjadi panutan. Meski di lapangan hijau dia adalah seorang bek yang keras dan tak kenal kompromi, namun di luar lapangan dia tetaplah seorang ayah dan suami yang lembut dan penuh kasih sayang. Hobinya memasak dan berkebun berbanding terbalik dengan sifat kerasnya di lapangan. Sepanjang karirnya Paolo nyaris tak pernah mendapatkan sorotan negatif dari para pencari berita.

 

Di masa jayanya, Paolo ditasbihkan sebagai salah satu bek terbaik di dunia. Bermacam-macam tipe penyerang telah pernah dihadapinya dan bermacam-macam penyerangpun telah dibuatnya frustasi. Sebagian besar dari mereka mengakui kehebatan il capitano Milan itu. Kejelian membaca permainan, teknik tinggi dan postur yang kokoh adalah senjata utamanya. Di usia senja, meski kecepatannya jelas telah jauh menurun namun pengalaman dan kharismanya masih sangat dibutuhkan AC Milan.

 

Paolo adalah aset penting AC Milan. Silvio Berlusconi pernah mengatakan bahwa menjual Paolo Maldini adalah sama saja dengan menjual bendera klub, sesuatu yang tidak mungkin akan dilakukan. Paolo membalas perlakuan manajemen dengan sebuah loyalitas yang tak pernah luntur, bahkan 25 tahun sejak pertandingan perdananya.

 

Saat musim ini berakhir, dan Paolo Maldini resmi menggantung sepatunya maka jersey bernomor 3 akan digantung untuk sementara sampai Christian Maldini-sang anak-akan siap untuk memakainya. Ini adalah penghormatan besar dari AC Milan untuk sang legenda, sekaligus meneruskan tradisi keluarga besar Maldini yang mengabdi pada Rossoneri selama 3 generasi.

 

Derby minggu kemarin adalah derby terakhir sang legenda dan supporter Inter Milan memberi bukti nyata kalau respek dan penghormatan yang tinggi dapat mengalahkan sebuah rivalitas dan persaingan berdarah-darah kedua tim. Paolo Maldini membalas perlakuan tifosi Inter dengan applaus penuh hormat yang kemudian langsung dibalas lagi oleh para tifosi Inter Milan dengan penghormatan yang sama. Sebuah momen yang mengharukan.

 

Perjalanan selama 25 tahun bagi seorang Paolo Maldini adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh warna. Tawa riang dan tangis sedih datang silih berganti. Selama masa itu, dan diakhir kisah itu kemudian hanya ada sebuah respek dan penghormatan yang begitu besar pada legenda hidup yang telah mengabdi dengan penuh rasa cinta selama 25 tahun, bukan hanya pada klub dan negaranya, namun pada sepakbola pada umumnya. Paolo Maldini bukan hanya milik AC Milan semata, dia adalah legenda dan milik kota Milan…