Hantu Adu Penalti

Pemain Kosta Rika [foto: FIFA.com]
Pemain Kosta Rika [foto: FIFA.com]

Kosta Rika jadi tim ketiga di piala dunia 2014 yang gugur karena adu penalti. Sebuah cara yang menyakitkan untuk tersingkir dari sebuah turnamen karena adu penalti lebih banyak dituding hanya mengandalkan keberuntungan semata.

“Dunia saya seperti runtuh. Berjalan kembali ke lingkaran putih itu seperti mimpi buruk yang dengan cepat membuat air mata saya jatuh.” Begitu kata Stuart Pearce, mantan bek tim nasional Inggris selepas gagal mengeksekusi penalti di semi final piala dunia 1990 melawan Jerman. Pearce bahkan harus melakukan terapi bertahun-tahun untuk menghilangkan mimpi buruknya itu.

Roberto Baggio, pahlawan Italia di piala dunia 1994 juga mengalami masalah yang sama. Dia terpaksa menemui psikiater untuk menghilangkan mimpi buruk kegagalannya mengambil penalti di final USA 94. Bahkan malam setelah adu penalti itu dia mengunci diri di kamarnya dan menolak bertemu dengan siapapun. Beruntung 4 tahun kemudian Baggio berhasil mengusir mimpi buruknya setelah berhasil menjalankan tugasnya saat adu penalti melawan Perancis meski akhirnya Italia tetap tersingkir juga.

Adu penalti memang seperti mimpi buruk bagi banyak pemain. Nama-nama beken seperti Michel Platini, Zico sampai Diego Maradona juga pernah gagal mengeksekusi penalti dalam adu penalti. Tekanan berat di pundak mereka membuat adu penalti yang terlihat sepele itu tiba-tiba jadi sangat berat.

Majalah Vanity Fair pernah menuliskan kalau sebenarnya adu penalti memang tidak diciptakan untuk para pesepakbola. Selama 90 menit dan tambahan waktu 30 menit mereka terus berlari dan bergerak, sedangkan dalam adu penalti waktu seakan berhenti. Hanya ada penendang, bola dan kiper sementara di sekitar mereka ada puluhan ribu orang dan jutaan mata yang mengawasi. Situasi yang benar-benar membuat mereka jatuh dalam tekanan berat.

Saking beratnya tekanan mental dalam adu penalti, pelatih Ukraina di piala dunia 2006 Oleg Blokhin terpaksa menyingkir dari lapangan ketika anak asuhnya beradu penalti dengan Swiss di laga perdelapan final. Oleg yang memang menderita jantung lebih memilih masuk ke ruang ganti karena tidak yakin jantungnya cukup kuat untuk membuatnya bertahan sampai adu penalti selesai.

Tekanan berat adu penalti ini biasanya hanya terjadi pada 5 penembak pertama dan 5 penembak tambahan. Saya pernah menyaksikan adu penalti antara tim U21 Inggris melawan tim U21 Belanda dalam semi final UEFA U21 tahun 2007. Adu penalti berlanjut sampai 32 tendangan dengan akhirnya Belanda menang dengan skor 13-12. Ketegangan hanya ada di 10 penendang pertama, selepas itu suasana jadi terasa seperti latihan saja.

Beda Jerman dan Inggris.

Seperti dibilang di atas, adu penalti lebih banyak soal mental dan keberuntungan dan dalam hal ini orang Jerman bisa berbangga. Mereka sudah empat kali menghadapi situasi adu penalti di piala dunia dan keempat-empatnya dimenangkan Jerman. Peringkat kedua ditempati Brasil yang sudah lima kali menghadapi situasi adu penalti di piala dunia dan hanya kalah sekali, itupun kalah dari Jerman.

Sementara itu Inggris adalah tim terburuk kalau bicara soal adu penalti. Dalam sejarah piala dunia Inggris sudah 3 kali terlibat dalam adu penalti dan tiga-tiganya tidak bisa mereka menangkan. Selain Inggris sebenarnya ada Italia yang juga sama buruknya, 3 kali gagal dalam adu penalti sebelum akhirnya menang justru di final piala dunia 2006.

Final piala dunia 2006 adalah final kedua yang harus diakhiri dengan adu penalti, sebelumnya adalah final 1994 yang dua-duanya melibatkan Italia. Bedanya tahun 1994 Italia menghadapi Brasil dan 2006 menghadapi Perancis.

Adu penalti sendiri mulai diterapkan FIFA sejak piala dunia 1970 namun baru terpakai 12 tahun kemudian ketika Perancis bertemu Jerman (Barat) di semi final piala dunia Spanyol 1982.

Seorang peneliti bernama Geir Jordett pernah melakukan penelitian terkait fenomena seringnya Inggris gagal dalam adu penalti. Menurut Jordett masalah utama yang dihadapi orang Inggris adalah karena beban mental akibat beratnya ekspektasi media dan fans pada mereka. Prestasi Inggris memang kadang dianggap terlalu dibesar-besarkan oleh media mereka padahal skill dan kemampuan pemain mereka tidak sebesar itu. Penyebab lainnya, kultur Inggris yang individual membuat para pemain terekspos secara berlebihan. Setiap kegiatan mereka mendapat sorotan yang sangat besar dari media sehingga menambah berat beban mereka kala harus berhadapan dengan adu penalti.

Hasil penelitian Jordett juga menyimpulkan bahwa tekanan berat dalam adu penalti kadang membuat pemain jadi tidak logis dan tenang lagi. Mereka yang tidak mampu mengontrol diri cenderung untuk terburu-buru mengambil penalti supaya beban berat di pundak mereka segera terlepas. Menurut Jordett tingkat kesuksesan pemain yang mengambil penalti kurang dari 0.2 detik setelah wasit meniup peluit hanya 57% sementara yang mengambil penalti lebih lama dari itu tingkat kesuksesannya sampai 80%. Pemain Inggris rata-rata mengambil penalti 0.28%, bukti kalau rata-rata dari mereka memang menanggung beban yang sangat berat.

Kiper, Sang Kartu AS.

Dalam adu penalti terakhir di piala dunia yang mempertemukan Belanda dan Kosta Rika, pelatih Louis Van Gaal mempertontonkan sebuah taktik jenius. Untuk pertama kalinya dalam sejarah piala dunia ada kiper utama yang diganti hanya 1 menit sebelum adu penalti. Tim Krul yang dimasukkan Van Gaal terbukti jadi kartu as setelah menggagalkan 2 penalti Kosta Rika.

Kiper memang jadi pihak yang paling santai dalam adu penalti, ini karena secara umum kita percaya kalau tendangan penalti pasti harus sukses. Anggapan umum itu membuat beban kiper jadi lebih ringan. kalau gol tak ada masalah, toh memang sudah seharusnya. Kalau dia berhasil menggagalkan maka otomatis dia akan jadi pahlawan.

Beberapa kiper terkenal punya cara khusus dalam menghadapi situasi adu penalti. Masih ingat Jens Lehmann kiper Jerman kala menghadapi Argentina di adu penalti perempat final piala dunia 2006? Kala itu Lehmann menyelipkan kertas kecil di kaus kakinya. Sebelum melaksanakan tugas Lehmann mengeluarkan kertas kecil dari kaus kakinya.

Rupanya Andreas Kopke pelatih kiper Jerman kala itu sudah menyiapkan data tentang para penendang penalti Argentina. Data itu berupa kebiasaan para penendang dalam menempatkan bola. Cara Kopke dan Lehmann berhasil, buktinya Lehmann berhasil menebak dan menghentikan tendangan penalti pemain Argentina dan Jerman lolos ke semi final.

Dalam adu penalti di final piala Champion Eropa 2005, Jerzy Dudek kiper Liverpool kala itu juga punya straegi khusus, dia melakukan gerakan aneh yang bertujuan membuyarkan konsentrasi eksekutor AC Milan. Dudek meniru gerakan seniornya, Bruce Grobbelaar kiper Liverpool 80an. Dudek bergoyang-goyang seperti penari kala eksekutor AC Milan berdiri di titik putih. Strateginya berhasil, dua penendang AC Milan gagal melaksanakan tugasnya.

Di piala dunia 2014 ini sudah ada tiga adu penalti yang terjadi, rabu besok waktu Indonesia partai semi final akan segera digelar. Mungkinkah akan ada adu penalti lagi? Atau mungkinkah akan ada penendang penalti lagi yang harus dihantui kegagalan seperti Stuart Pearce dan Roberto Baggio? Mari kita tunggu. [dG]