Sebuah film tentang Wiji Thukul, tapi bukan sepenuhnya tentang bagaimana dia hidup.
Seorang kawan Facebook mengunggah status selepas menonton Istirahatlah Kata-Kata. Menurutnya, sebagai orang yang tidak mengenal tokoh utama film bergenre biografi itu, dia tidak merasa menemukan apa-apa. Kosong, katanya. Di grup chatting pun dia merasa tidak menemukan motivasi kala menonton film itu, tidak seperti kala menonton film bergenre biografi lainnya seperti “Snowden”.
Tapi Istirahatlah Kata-Kata memang tidak dimaksudkan sebagai film seperti itu.
Film sepanjang 97 menit yang disutradarai oleh Yoseph Anggi Noen ini tidak menceritakan siapa itu Wiji Thukul secara penuh. Siapa dia? Lahir di mana? Siapa yang menginspirasinya? Apa yang dilakukannya untuk mengorganisir massa demonstrasi buruh? Apa musabab sampai dia dikejar-kejar pemerintah orde baru? Tidak, sama sekali tidak jawaban penuh untuk pertanyaan itu.
Film ini justru mengambil latar ketika Wiji Thukul melarikan diri ke Pontianak, Kalimantan Barat. Berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lainnya, menyembunyikan diri, bertahan di dalam kamar dan berkawan dengan sepi dan bosan.
Sepi dan bosan. Dua kata itu yang coba ditampilkan secara jernih oleh Yoseph Anggi Noen. Alur berjalan sangat lambat dengan gambar-gambar yang monoton. Membosankan. Persis seperti apa yang dirasakan oleh Wiji Thukul di pelariannya. Dia bosan, jenuh, dan mulai merasa tercerabut dari akarnya. Sesekali dia masih bergolak, menulis puisi-puisi di lembaran kertas kumal dengan pensil seadanya. Dan dia tetap menyimpan rindu buat keluarganya jauh di Solo.
Istirahatlah Kata-Kata berputar di situ. Kisah-kisah selama pelarian Wiji Thukul yang mungkin selama ini tidak diketahui publik secara detail. Wajar kalau mereka yang tak pernah membaca kisah Wiji Thukul akan merasa bingung dan kehilangan arah. Latar tentang Wiji Thukul hanya disampaikan lewat teks yang itupun tak seberapa banyak.
Namun, bagi mereka yang pernah membaca kisah-kisah Wiji Thukul, film yang disesaki bahasa simbolik ini sungguh menyentuh. Seakan membuka tabir kenyataan yang selama ini hanya bisa dibayangkan. Bagaimana susahnya Wiji Thukul di pelarian, mengganti-ganti identitas, meredam kemarahan ketika harus mendengarkan seorang tentara berbicara tentang bagaimana “menakut-nakuti rakyat”.
Istirahatlah Kata-Kata juga adalah film yang menabrak-nabrak teori sinematografi. Lupakan teori tentang long shoot, medium shoot, close up shoot, camera movement. Lupakan semua. Film ini menggunakan teorinya sendiri yang membuat mahasiswa tingkat awal jurusan sinematografi akan berkerut keningnya dan bergumam, “Ini bukan teori yang diajarkan dosen saya.”
Bayangkan, sebuah adegan yang berlatar warung minum. Dua orang bercerita (lalu datang satu orang lagi) dan gambar diambil dari jarak dan ketinggian yang cukup jauh. Selama bermenit-menit kamera tetap di sana, tidak ada perpindahan kamera, tidak ada perpindahan gambar. Semua adegan bincang-bincang selama –kalau tidak salah-5 menit itu direkam dari satu kamera yang jauh. Mana ada dalam teori sinematografi ideal seperti itu?
Itu seperti sebuah adegan yang direkam oleh seorang juru kamera yang memasang kamera di atas tripod, lalu beringsut untuk membakar dan mengisap rokoknya dan kembali setelah rokoknya habis. Tapi itulah kelebihan dari film Istirahatlah Kata-Kata. Sekujur film dipenuhi simbol-simbol yang hadir lewat gambar dan cara pengambilan gambarnya.
Yoseph Anggi Noen tidak hendak mengglorifikasi sosok Wiji Thukul yang bisa membangkitkan emosi dan gelora perlawanan lewat kata-katanya. Di film ini, Wiji Thukul digambarkan sebagai seorang manusia biasa yang juga punya rasa takut, bosan dan rindu. Tidak ada adegan dia berteriak-teriak menantang pemerintah zalim, mengorganisir buruh atau hal-hal semacam itu. Hanya ada kemarahan yang dibiarkan menggelegak sendirian dalam dada, tidak bisa dia ungkapkan karena dia harus terus bersembunyi.
Film ini tidak akan membuat anak-anak muda hipster sekonyong-konyong mencetak kaus dengan siluet wajah Wiji Thukul di atasnya dengan kalimat: hanya ada satu kata: LAWAN! Tidak, tidak. Film ini memang bukan dimaksudkan untuk mempopulerkan Wiji Thukul pada para anak muda hipster.
Selain penggarapan yang tak biasa itu, film Istirahatlah Kata-Kata juga didukung penuh oleh para pemain yang berakting sangat natural. Gunawan Maryanto (berperan sebagai Wiji Thukul) dan Marissa Anita (berperan sebagai Sipon, istri Wiji Thukul) mampu menerjemahkan perannya dengan sangat baik. Begitu pula dengan para pemeran pendukung lainnya. Semua natural dan apa adanya.
Jikalau memang masih ingin menonton film ini, pastikan satu hal: Anda minimal sudah membaca liputan khusus Wiji Thukul yang diterbitkan majalah Tempo bulan Mei 2013. Jangan menonton tanpa bekal tentang siapa Wiji Thukul, karena Anda tidak akan menemukan apa-apa di sana.
Film lain yang juga penuh dengan bahasa simbol adalah Athirah. Baca review saya di sini
Istirahatlah Kata-Kata bukan film yang akan membuat kita bisa beristirahat. Sepanjang film kita akan terus berusaha memaknai simbol yang dimunculkan sang sutradara. Dan selepas menontonnya kita malah akan berpikir, di mana gerangan Wiji Thukul sekarang? [dG]