Bacaan Yang Mengikuti Usia

Ilustrasi

Saya baru saja mencoba membaca Catatan Seorang Demonstran, tapi jujur saya tidak bisa menyelesaikannya.

Akhir tahun kemarin saya mulai membaca sebuah buku yang di kalangan aktivis sangat fenomenal. Catatan Seorang Demonstran, sebuah buku berisi sebagian catatan harian seorang Soe Hok Gie, salah satu legenda perjuangan pemuda di Indonesia.

Iya, saya baru membaca buku itu sekarang walaupun sudah sangat lama mendengar judulnya. Maklum, kehidupan remaja saya jauh dari dunia intelektual dan dunia aktivis. Saya lebih banyak menghabiskan masa muda di sekolah, kampus, proyek dan tempat hiburan malam #eh

Intinya ya dulu saya tidak tahu tentang buku ini, apalagi saya menghabiskan sebagian masa muda di jaman ketika Soeharto berkuasa. Tahu sendirilah, di jaman itu ada beberapa jenis bacaan yang tidak gampang ditemukan karena dianggap tidak sesuai dengan spirit pembangunan. Bahkan dulu saya sempat berpikir kalau Soe Hok Gie itu adalah orang kiri, orang komunis yang tulisannya haram dibaca di jaman orde baru.

Oke, kembali ke inti cerita.

Akhirnya buku itu saya baca juga. Saya beli dari pedagang buku di Jakarta Pusat yang menghadang saya ketika keluar dari sebuah swalayan. Alasan terbesar saya ingin membacanya lebih karena penasaran saja. Kawan saya, Lelaki Bugis adalah penggemar berat sosok Soe Hok Gie dan dia beberapa kali menyebut buku ini sebagai salah satu buku favoritnya.

Dan mulailah saya membacanya.

Pengantar buku ini sungguh panjang, ditulis oleh orang yang mengenal dekat sosok Soe Hok Gie seperti Arief Budiman sang kakak kandung Soe Hok Gie, serta beberapa orang lagi yang tentu saja tidak mengenal dekat Soe Hok Gie seperti Riri Riza dan Mira Lesmana. Keduanya adalah pegiat film yang bekerjasama memfilmkan tokoh Soe Hok Gie lebih 10 tahun lalu.

Awal-awal saya masih menikmati tulisan di buku ini, termasuk bab I berjudul Soe Hok Gie: Sang Demonstran. Bab I sepanjang 57 halaman ini ditulis oleh Daniel Dhakidae. Isinya lebih kurang memperkenalkan seorang Soe Hok Gie beserta pemikiran-pemikirannya, lengkap dengan karakternya dan kritik tentang pemikirannya.

Saatnya untuk masuk ke isi sebenarnya dari buku ini, tulisan-tulisan Soe Hok Gie yang disadur dari catatan hariannya.

Catatan harian ini bermula dari ketika Soe Hok Gie masih sangat remaja, di usia SMP. Berlanjut terus hingga dia masuk SMA dan kemudian menjadi mahasiswa Universitas Indonesia. Membaca catatan awalnya terasa betul kenaifan seorang remaja ingusan. Tata bahasa yang tidak teratur dan cerita yang sangat apa adanya. Tapi di balik kenaifan itu terpampang kecerdasan seorang Gie, bagaimana dia bisa berpikir dan menganalisa jauh melampaui usianya.

Saya baru mulai terganggu ketika Soe Hok Gie semakin dewasa. Bacaannya makin banyak, analisanya makin kuat dan kemampuan kritisnya semakin tinggi. Di sinilah Gie yang sebenarnya mulai muncul.

Hampir setiap hari catatannya diisi dengan keresahan, kritikan bahkan umpatan pada apa yang terjadi di sekitarnya. Dari keadaan politik negeri ini, sikap orang-orang dekatnya hingga pemikiran-pemikiran guru atau dosennya. Hampir semua kena bagian dikritik, bahkan ada yang jadi sasaran makian.

Lama-lama buku ini mulai membawa aura negatif buat saya. Hingga akhirnya saya berhenti membacanya di pertengahan. Jauh sebelum akhir buku ini tiba.

Pengaruh Usia.

Saya tidak bilang kalau buku Catatan Seorang Demonstran itu jelek, sama sekali tidak. Buku itu sudah menginspirasi banyak orang, membuat banyak orang melawan dan seakan menjaga api perlawanan bagi banyak orang.

Saya yang salah, terlambat belasan atau bahkan mungkin 20 tahun membaca buku itu. Harusnya saya membacanya waktu darah muda masih menggelegak dalam diri, waktu saya masih mencari bentuk, masih rajin mengkritik apa yang ada di sekitar saya dan selalu resah mencari bentuk yang ideal.

Kalau saja buku ini saya baca belasan tahun lalu, mungkin selepas membacanya saya langsung turun ke jalan meneriaki pemerintah, menghujat para politisi dan mencaci para pemimpin. Karena buku ini memang penuh dengan semangat seperti itu, semangat perlawanan yang cocok dengan darah muda.

Tapi sekarang, I am just too old for this book. Iya, membacanya malah membuat saya capek, capek menyandang segala kemarahan di buku ini. Capek membaca semua keluh kesah dan kritikan yang membara.

Di usia seperti sekarang saya lebih membutuhkan buku yang kontemplatif, isinya tentang perenunangan. Kalaupun ingin membaca buku atau tulisan tentang kritikan, saya lebih senang membaca kritikan yang penuh dengan data dan fakta serta ditulis dengan alur yang pelan. Bukan yang meluap-luap.

Benar bahwa usia memang memengaruhi selera. Band favorit saya Pearl Jam pun secara implisit pernah mengatakan hal yang sama. Mereka tidak bisa membayangkan di usia sekarang, mereka membuat lagu yang penuh kemarahan seperti yang mereka buat dua puluhan tahun yang lalu. Itulah kenapa lagu-lagu mereka sekarang penuh dengan renungan tentang hidup, tentang cinta, tentang keluarga. Usia dan kemapanan memengaruhinya. Kalaupun sesekali mereka menyanyikan lagu penuh kemarahan itu, itu hanya sekadar romantisme masa muda. That’s it!

Jadi begitulah, di usia seperti sekarang saya terus terang sudah sulit menikmati buku Catatan Seorang Demonstran. Entah dengan buku Soe Hok Gie yang lain. Eh,tapi di media sosial banyak juga kan orang-orang seumuran saya (atau bahkan lebih tua dari saya) tapi masih rajin mengkritik tanpa dasar atau nyinyir setiap hari. Saya jadi berpikir, apa mereka tidak capek ya hidup seperti itu? [dG]