5 Buku Terakhir Yang Saya Baca

5 Buku Yang Terakhir Saya Baca

Lima buku terakhir yang saya baca dalam rentang tiga bulan terakhir. Sungguh jumlah yang sangat sedikit.

BACA BUKU. Duh, kalimat ini terasa sangat berat di musim ketika media sosial adalah kebutuhan primer manusia urban. Termasuk saya. Kadang rasanya sudah tidak ada waktu untuk sekadar membaca buku, bersantai dan menikmati lembar demi lembar dari sebuah buku.

Waktu lebih banyak tersita oleh media sosial yang kadang serasa renyah tapi kurang gizi. Bahkan ketika media sosial sudah tidak semenarik dulu pun, buku tetap sulit untuk kembali jadi pilihan di waktu senggang.

Itu juga kenapa dalam beberapa bulan belakangan ini, jumlah buku yang saya konsumsi sangat sedikit. Jauh berkurang dibanding tahun-tahun ketika media sosial belum seperti sekarang. Yah, salahkan saja media sosial meski mungkin dia bukan penyebab utama dari makin malasnya saya membaca.

Dari sedikit buku yang saya baca, berikut ada lima buku terakhir yang saya baca:

Ayah ~ Andrea Hirata

Novel karya Andrea Hirata ini sebenarnya memang sudah lama terbit tapi tidak ada niatan untuk membacanya. Saya akhirnya membaca buku ini setelah tidak sengaja dipegang seorang kawan. Buku itu akhirnya saya pinjam dan bawa pulang.

Di balik semua kontroversi tentang dirinya, saya bisa bilang kalau saya cukup menikmati cara Andrea merangkum komedi dan satir tentang orang Melayu. Buku ini berkisah tentang kekuatan dan usaha keras seorang ayah dalam mendidik, menemani dan membesarkan anak laki-lakinya.

Melawat Ke Timur ~ Kardono Setyorakhmadi

Buku ini adalah rangkuman cerita seorang jurnalis yang melawat ke bagian timur Indonesia, tepatnya ke wilayah Maluku, Maluku Utara dan Papua tepat di bulan Ramadan. Bulan ketika umat muslim diwajibkan berpuasa.

Di buku ini penulis mengisahkan panjang lebar pertemuannya dengan beragam budaya timur Indonesia yang memberi warna indah pada Nusantara. Tentang bagaimana orang-orang di Maluku dan Papua memelihara keragaman dan menghargai perbedaan, serta bagaimana mereka bisa hidup harmonis dalam lingkungan yang heterogen.

Buku ini juga semacam upaya meluruskan informasi dan mengedepankan beragam fakta yang mungkin saja selama ini salah dimengerti oleh orang-orang di belahan barat Indonesia, utamanya di pulau Jawa.

Buku yang menarik, khususnya untuk mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang Indonesia timur.

Memoar Pulau Buru I ~ Hersri Setiawan

Seorang seniman tiba-tiba harus hidup dalam pembuangan. Alasannya karena dia adalah anggota LEKRA, sebuah organisasi underbow PKI yang di era awal orde baru menjadi sesuatu yang terlarang. Tanpa surat penangkapan dia ditangkap, lalu tanpa pengadilan dia dikirim ke Pulau Buru di Maluku. Hidup sebagai orang buangan tanpa tahu kapan apakah besok masih bisa hidup atau tidak.

Hersri Setiawan menuliskan dengan apik kenangannya pada masa-masa pembuangan itu, pada masa ketika mereka para orang buangan itu hanya dianggap sebagai deretan angka, bukan manusia. Mereka diintimidasi, dilecehkan, ditekan dan dibuat hancur mentalnya. Hingga akhirnya sebagian dari mereka menemui ajal, sebagian lagi kehilangan harapan dan sisanya terus berusaha bertahan menjaga lilin semangat yang sayup tertiup angin.

Buku ini penuh dengan deskripsi yang detail yang mampu membuat pembaca ikut larut dalam penggambaran suasana dan tempat kejadian.

Athirah ~ Alberthiene Endah

Sebenarnya saya tidak tertarik untuk membaca buku ini kalau saja bukan karena Riri Riza yang memfilmkannya. Buku ini saya baca sebagai gambaran awal sebelum menonton film Athirah besutan Riri Riza. Saya ingin membandingkan antara novel dan filmnya.

Walhasil, saya merasa novel Athirah ini tertinggal sangat jauh soal kualitas dengan filmnya. Novel ini tidak berhasil menggambarkan seorang perempuan Bugis yang kuat dan tabah. Alberthienne malah menghadirkan Athirah sebagai seorang perempuan Jawa yang nrimo dan tidak melawan.

Sosok Athirah ini lalu diperbaiki Riri Riza di filmnya. Di sana Athirah dibuat menjadi seorang perempuan Bugis yang keras, tabah tapi melawan dengan diam.

Buku ini tidak terlalu bagus, tapi juga tidak jelek. Setidaknya buku ini tidak tinggal lama dalam ingatan.

Ini pendapat saya tentang film Athirah, film terbaik FFI 2016

Hidup di Luar Tempurung ~ Benedict Anderson

Saya mendapat informasi tentang buku ini dari blognya Yusran Darmawan. Beruntung ketika berkunjung ke toko buku saya bisa menemukannya. Buku ini berisi catatan seorang Benedict Anderson atau akrab disapa Om Ben, seorang indonesianis asal Amerika Serikat.

Buku ini hampir semacam otoetnografi yang menceritakan perjalanan panjang seorang Om Ben dalam belajar etnografi, politikĀ  dan beragam hal lainnya. Di buku ini kita juga bisa melihat bagaimana keadaan politik dunia dan Asia Tenggara di kisaran dekade 1950an hingga 1960an.

Soal kualitas, saya kira kita tidak usah meragukan seorang Om Ben. Buku ini sangat layak dibaca oleh mereka yang tertarik pada etnografi, sejarah dan budaya.

Itulah lima buku terakhir yang saya baca dalam rentang lebih dari tiga bulan. Sungguh jumlah yang sangat sedikit. Kalau bacaan saya sesedikit itu, lalu mana berani saya berteriak lantang? Ah, malu saya.

Kalau kalian, buku apa yang terakhir kalian baca? [dG]