Maluku 4; Antara Ora dan Sawai

Perjalanan menuju ke Ora
Perjalanan menuju ke Ora

Bagian keempat.

PAGI TIBA DENGAN MALAS. Saya sudah duduk menantikan matahari bangun, tapi terasa begitu lama sampai sinarnya benar-benar menyengat. Hidangan sarapan pagi sudah tersedia di meja. Ada pisang goreng yang masih hangat. Kopi dan teh kami buat sendiri, pihak Oanain Munina sudah menyiapkan teh, kopi, gula dan air panas di termos. Kami bisa mengambilnya kapanpun kami mau.

“Bapak bisa sewa perahu. Kalau kembali sebelum makan siang bayarnya Rp400 ribu, kalau sampai sore Rp800ribu.” Kata pak Syamsuddin, pria Sawai yang juga jadi staff resort. Logatnya tidak terlalu kental dengan logat Maluku, belakangan dia mengaku kalau dia pernah lama bekerja di Sumatera. Pantas saja logatnya sudah tidak kental lagi.

Orang-orang seperti pak Syamsuddin sangat mudah kita temukan. Mereka yang merantau jauh dari kampung halamannya dalam waktu yang lama biasanya sudah mulai terpengaruh dan meninggalkan sedikit demi sedikit asal usul aslinya. Paling mudah terlihat di logat bicaranya.

Entah apa yang membuat orang-orang seperti itu rela kehilangan akar dan ciri khasnya. Mungkin karena pengaruh lingkungan atau mungkin karena memang mereka yang ingin mengubahnya? Saya punya seorang sepupu yang merantau ke Jakarta dan dalam waktu singkat menanggalkan logat aslinya dan menggantinya dengan logat Jakarta. Dia merasa logat Jakarta lebih gaul, lebih modern dan tentu saja lebih keren dari logat kampungnya sendiri.

Orang-orang seperti dia banyak, orang-orang yang merasa inferior dan tidak percaya diri dengan ciri khasnya sendiri. Memang tidak semua perantau seperti itu, ada pula yang bertahan dengan ciri khasnya. Entah karena memang percaya diri dengan logat sendiri atau karena tidak mampu mengubah logatnya.

Dari sekian banyak orang-orang perantau yang saya temui, orang Jawa sepertinya perantau yang paling sulit mengubah logat khas mereka. Sebagian karena memang tidak mau, sebagian lagi karena memang sulit mengubahnya. Mungkin karena orang Jawa jumlahnya sangat banyak sehingga mereka merasa mayoritas dan tak perlu mengubah ciri khas mereka. Mungkin.

*****

MATAHARI MULAI MENYENGAT ketika akhirnya kami meninggalkan Oanain Munina menuju lautan lepas. Pak Syamsuddin tidak jadi mengantar kami, kunci pintu gudang bahan bakar masih dibawa pak Bahtiar yang entah kemana. Jadinya kami diantar tukang perahu lain teman pak Syamsuddin.

“Kita ke mana dulu?” Tanyanya.

Dari obrolan dengan pak Syamsuddin tadi ada tiga tempat yang masuk dalam paket perjalanan dengan perahu bermotor itu. Pantai Ora, Tebing dan Air Belanda. Dari ketiga nama itu hanya Pantai Ora yang kami tahu dan ke sanalah kami menuju.

Pantai Ora bisa dijangkau dalam waktu 30 menit dari Sawai ke arah barat. Angin tenang, lautpun tak beriak. Dimana-mana warna biru tua terhampar, bersambung dengan warna biru langit. Sedikit bergidik saya memandang ke bawah. Sejak kejadian kapal terbalik di Kalimantan saya jadi sedikit trauma ketika menumpang perahu kecil. Untung di sebelah kiri kami lukisan alam ciptaan Tuhan terpampang jelas. Tebing batu tinggi menjulang dipenuhi rumput dan pepohonan hijau. Di bawahnya air laut tenang berwarna kehijauan bercampur dengan warna biru membentang seperti karpet. Tiba-tiba saya merasa kecil di hadapan Sang Maha Pelukis keindahan alam itu.

Sampai akhirnya di depan kami nampak rumah-rumah kayu kecil yang berdiri di atas lautan, ada jembatan kayu yang menghubungkan rumah-rumah itu. Satu jembatan kayu lainnya menjulur ke lautan, berfungsi sebagai dermaga. Ah, ini rupanya Pantai Ora yang terkenal itu. Gambarnya sudah sangat sering saya lihat di internet, deretan rumah-rumah kayu yang menjorok ke laut dengan air bening yang tak bisa menyembunyikan karang bermacam rupa dan warna.