Maluku 3; Mencecap Sepi di Sawai

Syahdunya senja di Sawai
Syahdunya senja di Sawai

Bagian ketiga. Menepi di Sawai

“BAPA KENAPA SENG KA ORA SA? Di Sawai seng dapa lia yang bagus.” Tanya si supir Suzuki Ertiga yang mengantar kami ke Sawai dari Masohi. Dia melirik lewat kaca spion di tengah mobil. Kalimatnya kira-kira berarti: bapak kenapa tidak ke Ora saja? Di Sawai tidak bisa lihat yang bagus.

Dari kursi tepat di belakangnya saya mencondongkan badan lalu menjawab, “Ah, katong ini jalan kas cocok deng kantong sa.” Mencoba berlogat seperti orang Maluku. Kata Mamie logat saya sudah cukup mirip.

Si supir tertawa, sayapun tertawa.

Sebelumnya kami menginap di Tulehu, gudangnya pemain sepakbola

Rupanya bagi orang Seram sendiri, Sawai belum terlalu menarik. Masih kalah tenar dengan Ora yang memang beberapa tahun belakangan ini jadi primadona baru wisata di Maluku. Tapi Ora terlalu mahal meski saya juga sebenarnya penasaran seberapa bagus pantai itu.

“Atau mau ke Rumah Olatkah? Di sana juga bagus.” Sang supir kembali melirik lewat kaca spion.

“Ah, uangnya tidak cukup pak.” Sanggah saya.

Beta ada tamang di sana, kalau bapa mau beta bisa telpon dong supaya kas murah sa.” Si supir terus meyakinkan kami untuk mengganti tujuan ke Rumah Olat. Katanya dia punya teman yang punya penginapan di sana, dia bisa meneleponnya untuk meminta harga murah.

Saya sempat berpikir mungkin dia semacam agen wisata, kalau berhasil membawa tamu ke sebuah tempat maka dia akan mendapatkan imbalan. Permintaannya saya tolak dengan halus. Saya masih percaya dengan rekomendasi Almas. Lagipula kemarin saya sudah menelepon pak Bahtiar, penjaga resort dan penginapan di Sawai yang akan kami tuju. Tak elok kalau sampai membatalkan janji.

Rumah Olat yang disebut si supir adalah kampung yang berhadapan dengan Desa Sawai, kedua kampung itu dipisahkan teluk. Kalau Sawai adalah kampung Muslim maka Rumah Olat adalah kampung Nasrani.

“Nah itu sana Rumah Olat. Itu penginapan Roneela.” Kami berada di jalan yang agak tinggi, di samping kiri tebing tinggi menjulang seperti sebuah dinding, di samping kanan tebing penuh pepohonan dengan hamparan air laut di ujung bawahnya. Di seberang ada bukit penuh dengan warna hijau, di kakinya berdiri beberapa rumah beratap warna biru yang menjorok ke laut.

“Roneela itu bagus de pung tampat. Airnya jernih, banyak ikannya. Dia juga dapa lia ka sini.” Sang supir terus berusaha meyakinkan kami akan keindahan resort bernama Roneela di seberang sana. Katanya airnya jernih, ikan-ikannya banyak dan pemandangannya bagus karena menghadap ke tempat kami sekarang berada.

Luar biasa, pikir saya. Sang supir begitu gigih meyakinkan kami. Kami tak mau kalah, dengan gigih pula kami menolak meski secara halus. Sampai akhirnya dia seperti menyerah, diam dan meneruskan menyetir mobil membawa kami ke Oanain Munina, penginapan di Sawai yang akan kami tempati selama di Sawai.

*****

MATAHARI SEDANG BERSIAP UNTUK PULANG ketika akhirnya kami tiba, tepatnya di Oanain Munina penginapan di Sawai yang berada di mulut kampung. Tak ada petugas yang menyambut kami, pak Bahtiar yang saya telepon malam sebelumnya sedang tidak di tempat. Sambil menunggu kami berjalan ke bagian barat resort, duduk di jembatan kayu yang menjorok ke laut.

Oanain Munia dari sebelah barat Oanain Munina dari sebelah timur

Kami seperti anak kecil yang dibawa ke toko mainan. Riang, nyaris berteriak dan mata berbinar. Capek akibat perjalanan selama enam jam seperti menguap entah kemana. Apa yang tersaji di depan kami benar-benar obat penenang yang manjur.

Laut biru menghampar luas sejauh mata memandang, di sebelah utara daratan diisi bukit berwarna hijau. Langit keemasan bersih tanpa awan, di sebelah barat tebing tinggi menjulang menutupi matahari yang sinarnya mulai redup di punggungnya. Ikan-ikan kecil bermain di sekitar jembatan, lautan yang jernih tidak dapat menyembunyikan mereka. Perahu nelayan pelan menyusuri lautan menuju daratan, ke kampung yang berada di sebelah barat penginapan di Sawai bernama Oanain Munina itu.

Air lautnya jernih, selalu mengundang untuk menceburkan diri
Nelayan yang pulang

Ada dua penginapan di Sawai, Oanain Munina yang kami tempati serta Lisar Bahari yang terletak di ujung kampung. Lisar Bahari milik pak Ali, seorang warga Sawai yang sudah memulai usahanya sejak 30an tahun yang lalu. Lisar Bahari sudah terkenal di kalangan pejalan yang pernah atau akan mengunjungi Sawai. Oanain Munina sendiri baru beroperasi tiga tahun, dimiliki oleh seorang ibu warga asli Sawai yang disebut sebagai Ibu Haji. Dia tinggal di Ambon sehingga sehari-harinya Oanain Munina dikelola oleh seorang pria Madura bernama Bahtiar.

Oanain Munina adalah penginapan di Sawai yang cukup besar, berisi sembilan kamar yang satu kamarnya berukuran sekira 5×5 meter. Lima kamar berada di bagian depan menghadap ke lautan luas di sebelah utara sementara empat lainnya berada di bagian belakang menghadap ke tebing. Di bagian belakang bangunan utama ada dapur dan gudang dengan jembatan kayu sebagai penghubungnya. Satu bangunan lagi berada di sebelah timur bangunan utama, bentuknya seperti rumah tapi hanya berisi satu kamar dan teras kecil. Bangunan itu juga disewakan tapi dengan harga yang berbeda, tentu lebih mahal karena kesannya lebih eksklusif.

“Terserah bapak mau di kamar mana.” Kata pak Bahtiar.

Tidak ada tamu lain, hanya kami berdua saja. Mungkin karena waktu itu memang bukan musim libur. Tapi kami justru senang, resort sebesar itu serasa punya kami sendiri. Selama dua hari kami benar-benar menikmati keramahan pelayanan penginapan di Sawai bernama Oanain Munina itu. Tiga orang perempuan warga Sawai selalu siap menghidangkan masakannya di waktu-waktu makan. Menunya selalu ikan, kecuali di pagi hari. Sekali waktu ada udang yang melengkapi. Semua rasanya begitu nikmat, gabungan antara ikan segar dan suasana yang menyenangkan.

Ruang makan berada di bagian depan, satu bagian lebih menjorok ke luar. Di bawah kami air laut kebiruan yang bening dengan karang yang terlihat jelas. Ikan-ikan bermacam rupa bentuknya bermain dan mencari makan. Suara air laut menghempas pelan tiang-tiang rumah yang terbuat dari kayu. Syahdu dan romantis. Tak salah kalau Almas merekomendasikan tempat ini buat kami, tempat yang sempurna buat menepi berdua, jauh dari hiruk-pikuk suara kendaraan dan asap yang keluar dari knalpotnya.

*****

SAWAI ADALAH SEBUAH KAMPUNG TUA, mereka menyebutnya kampung adat atau kampung yang terbentuk karena adat. Berbeda dengan kampung atau desa yang terbentuk karena proses administrasi pemerintahan modern. Sawai seperti kampung adat lainnya di Maluku disebut juga Negeri, dipimpin oleh seorang Bapa Raja. Itulah kenapa Maluku juga sering disebut sebagai tanah para raja. Bayangkan ada berapa banyak Bapa Raja yang memerintah di Maluku.

Negeri Sawai atau kampung Sawai dihuni sekisar 300an kepala keluarga, mereka berjejalan di area datar yang terasa sempit dan padat. Di depan lautan luas dan di belakang tebing tinggi serta hutan lindung Manusela. Tidak ada listrik PLN yang sampai ke Sawai. Kebutuhan listrik mereka dipasok genset yang mereka sebut sebagai genset negeri. Di dalam kampung ada satu masjid besar yang jadi pusat kegiatan warga, ada juga dua sekolah dasar dasar dan satu sekolah menengah pertama. Di tengah kampung melintang sebuah kolam besar yang dilapisi tegel keramik tempat warga beraktifitas membersihkan diri dan pakaian. Sumber airnya berasal dari bukit yang berada di belakang kampung.

Kampung Sawai yang padat
Satu sisi Negeri Sawai

Karena sudah terlalu padat, sebagian warga Sawai kemudian bermigrasi dan membentuk kampung baru di dataran sebelah. Namanya Olong, dan karena akarnya masih Sawai maka nama lengkapnya jadi Olong Sawai. Dari kejauhan bisa terlihat kalau kampung Olong Sawai juga sudah cukup padat. Sebuah masjid besar terlihat dari jauh, di waktu-waktu sholat suara azan dari masjid itu terbawa angin sampai ke Sawai. Di sana ada SMA, tempat anak-anak Sawai bersekolah. Setiap pagi dua kapal motor kecil membawa anak-anak Sawai menyeberang. Mereka membayar seribu rupiah untuk pergi-pulang.

“Asyik juga ya. Kalau terlambat, mereka terlambatnya beramai-ramai.” Kata Mamie berseloroh ketika keesokan paginya kami melihat sebuah kapal kecil membawa anak-anak berseragam putih abu-abu menyeberang dari Sawai ke Olong Sawai.

Saya membayangkan sulitnya anak-anak itu menyeberang ketika musim hujan tiba. Kapal mereka tidak berpenutup, bagian atasnya terbuka begitu saja. Mungkinkah di musim hujan kapal itu dipasangi atap agar penumpangnya tak basah? Entahlah.

Perjuangan anak-anak itu cukup berat hanya untuk memenuhi hak mereka mendapatkan pendidikan, sementara di kota-kota besar banyak anak-anak yang justru tak berhasrat ke sekolah meski mereka sudah diguyur banyak fasilitas yang memudahkan. Ruangan kelas berpendingin ruang, kendaraan bermotor atau supir yang siap mengantar-jemput dan uang jajan yang mungkin besarnya cukup untuk menghidupi orang Sawai selama sebulan. Mereka lupa atau memang tak tahu kalau di banyak tempat di Indonesia masih banyak teman-teman mereka yang harus berjuang bahkan kadang kala mempertaruhkan nyawa hanya untuk bisa tiba ke sekolah dan kembali ke rumah.

Hidup memang aneh. Kadang serasa tidak adil.

Menikmati Pantai Ora yang tidak jauh dari Sawai

Malam menggelayut di atas kampung. Tak ada suara lain selain suara alam yang masuk ke telinga kami. Hanya suara air yang menghempas tiang dan menjilati daratan sambil sesekali ditimpali suara binatang dari hutan di kejauhan. Sawai tenggelam dalam kesepian. Kesepian yang syahdu. [dG]