Kolombia 5: Did Your Wife Hit You?

Tiba di hotel, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari semacam Indomaret di Bogota. Awalnya hanya ingin beli air putih, tapi kemudian beli kopi dan nongkrong bersama om-om. Lanjutan cerita dari Bogota yang sebelumnya bisa dibaca di sini

“Do you married?” Tanya bapak itu
“Yes, I do” jawab saya
“Did your wife hit you?” Tanyanya
Saya berpikir sejenak, mencari tahu maksud orang ini bertanya. Lalu saya menjawab,
“No, of course she’s not”

Adegan di atas adalah sepenggal percakapan saya dengan seorang warga lokal Bogota di malam pertama setelah saya menginjakkan kaki di kota itu.

Saya tiba di Hoteles B3 Virrey sekitar pukul 11 malam. Hotel ini terletak di wilayah Chico yang bisa dibilang cukup eksklusif, kalau saya lihat seperti SCBD di Jakarta. Di sekitarnya ada banyak kantor dan pusat perbelanjaan. Tidak jauh dari hotel, sekitar 40 meter ada sebuah taman yang luas. Sebuah lingkungan yang cukup menyenangkan menurut saya, hanya saja memang tidak menggambarkan Bogota secara keseluruhan.

Bagian depan Hoteles B3 Virrey

“This is not Bogota,” kata Haitam, seorang keturunan Palestina yang juga jadi peserta. Kami bertemu keesokan harinya di depan hotel. “You should go to the downton at south side of these city,” ujarnya lagi. Dia menyarankan saya ke arah selatan kota, tempat sebenar-benarnya kehidupan di Bogota. Haitam sudah datang berhari-hari sebelumnya, dia anak muda yang senang traveling jadi kesempatan ini sekaligus dimanfaatkannya untuk jalan melihat Bogota dari selatan ke utara.

Mencari Indomaret.

Setelah check in, saya diantar ke kamar di lantai 9. Hotelnya biasa saja sebenarnya, mirip seperti layaknya hotel bintang 3 di Indonesia. Kamarnya tidak terlalu luas dengan kamar mandi yang juga tidak luas. Bedanya, harganya lebih mahal. Kalau dirupiahkan, harga semalamnya sama dengan harga satu kamar bintang 5 di Indonesia.

Hal pertama yang ingin saya lakukan adalah mencari toko 24 jam untuk membeli air putih. Di kamar hanya ada satu botol kecil air putih sementara tumbler saya sudah kosong. Jadi setelah menaruh barang, mengecek seluruh bagian kamar, saya turun ke lantai 1.

“Is there any convenience store around here mbak?” Tanya saya ke resepsionis hotel. Seorang perempuan muda yang wajahnya mengingatkan saya pada tokoh-tokoh di telenovela. Cantik.

Dia seperti kebingungan, melihat ke rekannya seorang pria yang berjaket hitam, sang teman juga terlihat bingung sampai mengangkat bahu.

“Un momento, un momento,” katanya. Kebetulan saat itu ada tamu yang juga mau check in. Kebetulan lainnya, si mbak ini tidak terlalu lancar berbahasa Inggris.

Sementara dia melayani tamu yang datang, saya membuka Google Maps dan menemukan kalau dekat situ ada satu toko yang buka 24 jam.

“Oh, it’s okay mbak. I sudah get it nih,” kata saya ke si mbak. Saya pamit, dan dia tersenyum manis.

Keluar dari hotel udara dingin langsung menyergap, mungkin sekitar 9 derajat celcius. Saya merapatkan jaket, menjaga tubuh tetap hangat. Jalanan sudah sangat sepi, tidak ada siapa-siapa. Mobil pun hanya sesekali melintas. Saya berbelok ke kanan, menyusuri trotoar yang lebar menuju ke arah perempatan lebih kurang 200 meter. Baru jalan sedikit napas rasanya sudah ngos-ngosan, khas daerah ketinggian. Saya biasa merasakannya di Lanny Jaya, Papua.

Tiba perempatan saya belok ke kiri, menyeberang jalan. Tidak jauh dari perempatan sudah nampak satu toko serupa Indomaret bernama Oxxo. Benar-benar seperti Indomaret karena di depannya ada beberapa kursi dan meja. Ketika masuk saya melihat ada beberapa orang yang duduk sambil merokok di sana.

“Ah, pas sekali,” kata saya dalam hati. Mungkin saya bisa membeli minuman ringan dan ikut merokok di sana. Saya belum merokok sejak dari Qatar, mungkin sudah sekitar 25 jam atau lebih dari 2 hari. Ini rekor baru, puasa saja saya hanya tidak merokok lebih kurang 14 jam.

Beginilah penampakan Indomaretnya Bogota

Ketika masuk ke toko itu saya melihat ada mesin kopi, ah makin pas kata saya. Setelah mengambil air minum sebotol dan satu makanan kecil, saya beranjak ke kasir memesan kopi. Kasirnya anak muda dengan perawakan khas Amerika Latin. Dia tidak bisa bahasa Inggris, jadi kami berkomunikasi dengan bahasa Tarzan. Tidak terlalu sulit karena di sana kopi hitam juga disebut americano. Saya hanya menyebut americano dan ketika dia bertanya balik yang saya duga menanyakan ukuran, saya menyebut small sambil memberikan gerakan dengan telunjuk dan ibu jari. Selesai.

Kopi datang, dan saya membayar sesuai angka yang tertera di layar.

Nongkrong Bersama Om-om.

Seperti niat saya sebelumnya, dengan kopi dan kantong kresek berisi air putih dan makanan ringan saya beranjak ke teras Oxxo, mencari tempat kosong dan mengeluarkan rokok. Saya tersenyum ke seorang lelaki yang saya duga usianya sekitar awal 40-an. Dia membalas senyum saya dan bertanya dalam bahasa Spanyol.

“Oh, sorry ini pak. I can’t speak spanish,” jawab saya.

“Oh, you are not from here?” Tanyanya.

“No I am not,”

“Where you from?”

“Indonesia,” jawab saya.

Dan kami kemudian terlibat obrolan ringan. Dia tidak terlalu lancar berbahasa Inggris, tapi sudah cukup bagus. Mungkin sama seperti saya juga. Tapi dua orang dengan kemampuan bahasa Inggris yang tidak terlalu bagus ini bisa mengobrol dengan lancar.

Namanya Franco, dia katanya belum pulang karena menunggu istrinya tidur biar tidak mengganggu sang istri. Setelannya rapi dengan jas dan sweater di dalamnya. Seperti orang pulang kantoran, tapi setelah saya tanya dia malah mengingatkan kalau ini hari Minggu, bukan hari kerja. Jadi menurutnya dia abis pulang nongkrong dan mampir dulu sebelum balik ke rumah.

Obrolan kami cukup lancar. Kami bercerita banyak tentang Kolombia, Indonesia, dan bahkan tentang revolusi Iran. Dia juga banyak bertanya tentang kebiasaan Muslim, karena katanya dia banyak membaca tentang revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini. Menarik berbincang dengan bapak Franco ini. Saya juga sempat memberinya sebatang rokok Gudang Garam Filter yang dipujinya sebagai “Very tasty and rich flavour.”

Beberapa kali juga kami tost. Dia dengan kaleng birnya, saya dengan gelas kopi. Sampai kemudian percakapan seperti yang saya tulis di awal tulisan ini muncul. Entah kenapa dia tiba-tiba curhat kalau dia sering jadi korban KDRT dari istrinya, dan itulah yang membuat dia agak malas pulang. Saya menduga masalahnya memang cukup berat dan dia butuh teman ngobrol, atau jangan-jangan dia sudah mulai mabuk? Entahlah.

Saya menanggapinya sebisa mungkin, karena terus terang saya bingung bagaimana harus bersikap. Orang curhat dalam bahasa Indonesia saja saya bingung, apalagi dalam bahasa Inggris. Bagaimana saya harus menasehatinya, coba?

Untung obrolan soal KDRT-nya tidak lama. Kami beralih ke topik lain. Lagipula malam semakin larut, sudah pukul 12 dan saya butuh merebahkan diri. Jadi saya pamit pada Franco dan saya doakan semoga masalahnya selesai. Tidak lupa saya juga berterima kasih karena sudah jadi orang Kolombia pertama yang mengobrol dengan saya. Dia pun berterima kasih karena sudah ditemani. Kami berpisah, saya kembali ke hotel dan dia masih duduk di Indomaretnya Bogota itu.

Susah Tidur

Setelah berbagi cerita dengan Mamie di tanah air, saya bersih-bersih dan bersiap tidur. Masalahnya, tubuh saya masih merasa ini jam 1 siang. Waktu di Bogota dan di Indonesia Bagian Tengah terpaut 13 jam. WITA lebih cepat. Dan ini tentu jadi masalah pertama. Masalah kedua adalah, tidak ada hand shower di toliet, padahal saya harus buang air besar. Masak cebok pakai tisu? Tidak bersih dong. Jadilah setelah buang air besar, saya masuk ke kamar mandi, menyalakan pancuran dan cebok di sana dengan posisi nungging. Silakan kamu bayangkan sendiri ya.

Kembali ke masalah pertama dulu.

Beginilah penampakan kamar hotel saya di Bogota

Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari tanggal 24 Juni waktu Bogota, tapi mata saya masih sulit terpejam. Padahal saya baru saja menyelesaikan perjalanan jauh, minimal penerbangan 10 jam dari Madrid. Tapi tetap saja rasa kantuk itu tidak hadir. Sudah bolak-balik, ganti posisi, ganti bantal, tetap saja tidak ngantuk. Saya juga tidak mau minum antimo lagi supaya bisa tidur, sudah terlalu sering dalam rentang 24 jam ini. Takut ketagihan juga.

Mungkin sekitar pukul 2 dini hari saya akhirnya tertidur, tapi tidak nyenyak rasanya. Sekitar pukul 4 dini hari saya terbangun dan setelahnya itu tidak bisa tidur sama sekali. Jadilah saya menonton YouTube di televisi, buka-buka media sosial, main game, pokoknya melakukan apa saja sambil berharap bisa tidur lagi. Tapi sampai waktu subuh tiba saya tidak bisa tidur.

Saya sempat solat subuh dengan arah kiblat ke timur sebelum kembali ke ranjang mencoba tidur. Tapi gagal. Sampai matahari mulai terang di luar saya tetap tidak bisa tidur. Akhirnya saya pasrah, mungkin hari itu tidur saya cukup 2 jam saja dan semoga saya kuat mengikuti hari pertama kegiatan yang untungnya baru dimulai pukul 12 siang nanti.

Tapi terselip juga kekuatiran kalau ini akan jadi masalah besar di keesokan harinya. Saya juga baru tahu kalau air minum botol besar yang saya beli semalam isinya sparkling water, bukan air minum biasa. Aduh, bagaimana ini? [dG]