Kolombia 4: Bienvenidos a Bogota

Setelah perjalanan lebih dari 40 jam dari rumah, saya akhirnya menyentuhkan kaki di Bogota, ibukota Kolombia. Lanjutan cerita perjalanan ke Kolombia. Cerita sebelumnya bisa dibaca di sini.

Seorang petugas perempuan melambaikan tangan ke arah saya. Saya bergerak ke arah konternya, menyerahkan paspor dan berusaha sesantai mungkin. Perempuan petugas imigrasi dengan seragam biru tua itu meneliti paspor saya dengan seksama. Usianya mungkin sudah 30an menjelang 40an, tapi masih sangat cantik dengan hidung mancung dan kulit yang tidak terlalu putih. Khas wanita Amerika Latin.

“How long you will be in Bogota mas?” Tanyanya.

“Five days mbak, untill 28th June,” jawab saya

“What are you doing in Bogota nih kalau leh tahu?”

“Attending an event aja,”

“You have your return ticket?”

“Yes mbak,”

“Ciyus?

“Suwer”

Dia mengangguk lalu menekan stempel imigrasi di satu halaman paspor saya. Ceklek!

“Welcome to Bogota,” katanya dibarengi senyum ramah dan menyerahkan paspor saya.

Sesederhana itu. Dia bahkan tidak perlu mengecek semua dokumen yang sudah saya siapkan. Padahal tadinya saya sudah cukup kuatir akan menjalani pemeriksaan yang cukup detail. Makanya semua dokumen saya siapkan. Tapi nyatanya tidak, bahkan petugas Iberia Airline di Madrid masih lebih detail memeriksa semua dokumen saya.

“Kami memang memberi ruang sebesar-besarnya kepada orang yang mau datang ke Kolombia,” kata Andres, kawan asal Kolombia yang sama-sama jadi peserta. “Come, come, spend your money here,” katanya sambil tertawa.

Mendarat di Bogota

Saya mendarat di Bogota sekitar pukul 8 malam waktu setempat. Perjalanan 10 jam dengan Iberia tidak senyaman perjalanan dengan Qatar Airways. Untungnya saya bisa tidur cukup di pesawat. Ketika akhirnya pesawat berhenti, beragam rasa berkecamuk di dada. Alhamdulillah, saya akhirnya mendarat di Bogota. Tapi masih ada rasa kuatir karena saya masih harus melewati pemeriksaan imigrasi. Bagaimana kalau saya tertahan? Bagaimana kalau ternyata ada yang salah? Bagaimana kalau saya harus dideportasi? Bagaimana kalau begini? Bagaimana kalau begitu? Bagaimana kalau aku ingin begitu? Bagaimana kalau aku ingin begitu? Ingin itu, ingin ini, banyak sekali.

Biasalah, saya yang overthinking ini kembali berpikir macam-macam.

Bersama ratusan penumpang lain, saya berjalan keluar dari pesawat menuju terminal kedatangan bandara Eldorado, Bogota. Cukup jauh juga kami berjalan, dan sepanjang jalan itu beragam perasaan terus berkecamuk dalam hati. Tidak lupa saya mengaktifkan handphone, menyambungkan dengan wifi bandara, sekadar agar bisa mengirim pesan ke rumah kalau saya sudah mendarat di Bogota.

Di bagian imigrasi, penumpang dibagi dua. Satu jalur untuk warga Kolombia, satu jalur untuk warga asing. Ruang kedatangan dan pos imigrasinya tidak sebesar bandara Cengkareng. Langit-langitnya pun rendah dan membuat kesan ruangan yang sempit. Apalagi ada ratusan penumpang yang antre di sana.

Antrean cukup panjang, sepertinya selain Iberia yang saya tumpangi ada juga pesawat lain dari luar negeri yang baru mendarat. Saya hitung-hitung mungkin ada 30 menit saya mengantre sampai akhirnya melewati pos imigrasi.

Ucapan “welcome to Bogota” dan paspor saya yang dikembalikan membuat saya berucap alhamdulillah. Saya benar-benar sudah mendarat di Bogota, sudah bisa masuk ke ibukota Kolombia itu. Tiba-tiba rasa senang menyelinap ke dada, meminggirkan rasa kuatir dan capek yang tadi sempat terasa. Saya segar kembali dan berjalan penuh semangat ke ruang pengambilan bagasi. Perjalanan berpuluh-puluh jam ini sebentar lagi akan berakhir, kata saya dalam hati.

Alhamdulillah.

Suasana bandara El Dorado, Bogota

Dipeluk Dinginnya Bogota

Tiba di pengambilan barang saya langsung bisa merasakan dinginnya Bogota. Saya tidak lama menunggu sebelum koper hitam dengan tempelan stiker band-band rock itu kelihatan. Itu koper saya. Kami akhirnya bertemu lagi setelah berpisah di Cengkareng sekitar 37 jam yang lalu.

Setelah koper di tangan, saya minggir sebentar dan mengeluarkan jaket tebal dari dalam tas ransel. Saya mengganti sweater yang saya pakai dengan jaket tebal yang memang sudah saya siapkan. Jaket yang sebenarnya saya beli untuk persiapan ke Jepang, tapi ternyata terpakai duluan untuk perjalanan ke Kolombia ini. Jaket yang banyak berguna selama saya di Bogota.

Setelah jaket terpasang, dua hal yang saya lakukan pertama adalah; menukar uang dan membeli SIM card lokal.

Nilai mata uang Colombian Pesos atau COP tidak terlalu jauh dibandingkan nilai mata uang Rupiah. Satu COP setara Rp.3,9. Sedikit lebih besar. Saya menukar uang di penukaran uang resmi dalam bandara, lalu beranjak ke toko SIM card. Pengeluaran pertama saya dalam COP adalah sebuah SIM card lokal beserta paket internet sebesar 45GB. Harganya COP100.000 atau hampir sama dengan Rp.400.000,-. Mahal sih menurutku, tapi mau bagaimana lagi namanya butuh ya.

Keluar dari bandara – tapi masih dalam kawasan kedatangan – saya benar-benar merasakan dingin. Jarum jam sudah menunjukkan lebih dari pukul 10 malam, tapi bandara masih lumayan ramai. Berarti urusan mulai dari mendarat, antre imigrasi, menunggu barang, tukar uang, dan beli SIM card memakan waktu total sekitar 2 jam. Saya lihat di papan informasi, masih ada penerbangan yang akan berangkat dan datang ke bandara Eldorado.

Saya tidak buru-buru mencari transportasi ke hotel, saya ingin menikmati bandara Eldorado dulu. Jadilah saya berjalan menuju satu titik bandara, ingin melihat suasana bandara internasional itu. Beberapa orang pria membawa kertas bertuliskan bahasa Spanyol berdiri di pintu keluar. Mereka sepertinya menawarkan taksi, tapi tidak agresif. Tidak seperti supir taksi di bandara Sultan Hasanuddin. Saya melewati mereka, berjalan ke ujung terminal, sekadar ingin melihat suasana bandara secara penuh.

Bandara Eldorado Bogota
Bandara Eldorado Bogota
Suasana di bagian depan terminal kedatangan bandara Eldorado, Bogota

Tapi ternyata terminal tempat saya tiba tidak terlalu besar, baru berjalan sedikit saya sudah tiba di ujung. Jadi ya sudahlah, saya mampir ke toilet saja membuang hajat, lalu beranjak ke konter taksi. Sempat muncul keinginan merokok setelah lebih dari 20 jam tidak merokok, tapi karena tidak ada tanda smoking room saya pendam lagi keinginan itu. Mari kita pesan taksi saja.

Kesulitan komunikasi pertama langsung terjadi. Saya memesan taksi menuju hotel yang saya tempati. Saya perlihatkan nama hotelnya, dan si petugas yang masih muda dan tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali itu mengangguk.

“Blanca? Roja?” Tanyanya sambil menunjuk gambar di dinding. Dia lalu melanjutkan dengan kata-kata dalam bahasa Spanyol yang entah apa artinya. Saya hanya membalas dengan “Si, si senor. Terserah elu aja dah.”

Saya tahu kalau blanca artinya putih, dan roja artinya merah. Di dinding juga ada gambar taksi warna merah dan putih. Tapi saya tidak tahu maksudnya apa. Karena saya suka putih jadi saya pilih blanca. Belakangan saya baru sadar kalau putih itu maksudnya taksi putih yang besar alias van. Sementara roja ya taksi sedan biasa berwarna merah. Pantas saja saya harus bayar cukup mahal, COP93.000,- atau sekitar Rp370an ribu untuk jarak sekitar 10 km.

Ya sudahlah.

Setelah urusan bayar membayar selesai, saya diminta menunggu di dekat konter. Meski saya tidak tahu si mas-mas itu ngomong apa, tapi saya tahu dia akan memanggil supir yang akan membawa saya ke hotel. Tidak lama kemudian seorang om-om berjaket hitam dengan tulisan nama operator taksi menjemput saya.

“Can you speak English?” Tanya saya. Harapannya si om-om bisa bahasa Inggris biar saya bisa tanya-tanya seputar Bogota. Sayangnya dia menggeleng sambil tersenyum.

“Ah, payah lu om,” kata saya. Tidak, itu bercanda saja.

Dia mengantar saya ke sebuah van putih yang lebih pas untuk satu rombongan 6-8 orang, hasil kesalahan komunikasi dengan mas-mas petugas konter taksi. Ketika saya sudah di atas dan barang saya juga sudah diletakkan, van putih itu bergerak meninggalkan bandara Eldorado.

Taksi bandara Eldorado Bogota
Meninggalkan bandara menuju hotel

Di luar sudah sepi. Jalanan sepi, toko-toko tutup. Tidak banyak kendaraan yang berseliweran. Saya menatap keluar sepanjang jalan, menikmati kota Bogota di malam hari. Kesan pertama adalah, kota ini sangat rapih dan teratur. Bangunan dibangun dalam blok-blok yang teratur dan menjulang. Sebagian besar dengan dinding dari batu bata ekspos yang membuatnya enak dilihat. Jalanannya lebar, trotoarnya lebar. Sepertinya menyenangkan.

Dalam hati saya berucap, “Alhamdulillah saya sudah di Bogota.” [dG]

Cerita selanjutnya bisa dibaca di sini